“Kamu tidak apa-apa, Lilly?” Suara cemas Ibuku menyadarkanku dari kenangan masa lalu. Rasa sakit pada kepalaku perlahan menghilang.
Lengkap sudah ingatanku sekarang. Bagaikan sebuah puzzle yang baru saja terangkai sempurna, baru saja aku meletakkan kepingan puzzle terakhir dalam ingatan masa laluku.
“Kita pulang sekarang.” Kataku, sambil bangkit berdiri dan membersihkan dengkul serta pahaku dari debu yang menempel. Kulihat Liam yang terus mematung di ambang pintu kerjanya. Wajahnya terlihat khawatir, tapi ia tidak berani mendekatiku.
“Lilly,” Ia memanggil namaku dengan sangat pelan, seperti berbisik. Tidak terdengar oleh telingaku, tapi gerak bibirnya bisa kubaca.
Teringat kembali dengan alasan mengapa kami bertengkar saat itu, mengembalikan perasaan kecewa dan marahku. Aku seperti tertipu dua kali olehnya.
“Bagaimana bisa, kamu yang membuatku merasakan dunia yang begitu indah berputar-putar seolah hanya untukku, lalu kamu juga yang membuat duniaku serasa runtuh hingga tidak lagi berbentuk? Bagaimana bisa ini dilakukan oleh orang yang kucintai sepenuh hati? Apakah aku yang terlalu bodoh, atau kamu yang terlalu kejam?” kutahan tangisku. Separah apapun luka yang kutanggung di dalam hatiku., tak akan kuteteskan air mataku yang berharga ini untuknya lagi.
“Hatimu sudah penuh dengan rasa benci untukku. Kujelaskanpun kamu tidak mungkin mau dengar.” Ia berkata seperti sudah tahu ini akan terjadi, bila aku kembali mengingat hal ini.
“Kamu pantas mendapatkannya.” Berjalan keluar dari ruangan ini, kuterobos badan besarnya dengan bahuku. Badanku jauh lebih kecil darinya, badannya tidak akan merasa sakit. Tapi hatinya, bisa kupastikan jauh lebih pedih dari yang kurasakan. Ya, aku mau dia hidup dalam perasaan bersalah dan penyesalannya seumur hidup.
Bersikeras untuk segera kembali ke rumah orang tuaku, kupaksakan Ayah untuk mencari penerbangan paling malam sekalipun untuk keluar dari kota itu. Menangis. Aku hanya bisa menangis. Sambil menatap langit yang tak lagi nampak indah, seperti ketika dulu kita memandangnya bersama. Aku tidak akan menjadi orang yang sama setelah tersakiti dan terkhianati. Begitupun dirinya, yang selalu mengingatku dengan perasaan bersalahnya.
Setelah itu kuhabiskan waktuku kembali dengan melamun. Selama berhari-hari, yang kupikirkan adalah bagaimana bisa Liam mengkhianatiku?
Tersadar, betapa rapuhnya sebuah kepercayaan, yang bisa rusak begitu cepat karena satu kebohongan. Betapa tipisnya jarak antara cinta dan benci, yang bisa berubah begitu saja dalam hitungan detik. Betapa egoisnya manusia yang selalu memikirkan kepentingannya sendiri diatas perasaan orang lain.
***
Setelah sekitar satu minggu aku merenung, hari ini kuberanikan diriku untuk masuk ke ruang kerja Ayahku, tanpa perintah darinya. Kubongkar-bongkar dokumen penting Ayah, hal yang biasanya selama ini tidak pernah kulakukan. Kupelajari apa yang tertulis di dalamnya. Terlalu berat untukku, banyak istilah-istilah yang tidak pernah kudengar.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Tanya Ayah, yang tiba-tiba membuka pintu ruangan kerjanya. Biasanya Ayah jarang pulang di saat siang seperti ini, entah ada urusan apa yang membuat Ayah kemari.
Kuletakkan dokumen Ayah yang kubaca-baca sedari tadi. “Apakah Ayah tidak pernah berpikir? Semua yang terjadi hingga saat ini karena aku tidak pernah tahu apa-apa tentang bisnis Ayah. Seandainya aku mempelajari semua ini dari awal, mungkin aku tidak akan semudah ini dibohongi. Aku tidak mau lagi menjadi satu-satunya orang bodoh yang tidak mengerti apa-apa.”
“Ayah hanya ingin melindungimu dari jahatnya dunia bisnis. Kamu tidak tahu bagaimana kejamnya orang demi mendapatkan pundi-pundi uang.”