Hari ini, tanggal lima mei, waktu acara perkumpulan pebisnis yang sering kami datangi tiba. Dengan menggunakan pakaian pilihanku, make up dengan keinginanku sendiri, perhiasan yang kubeli sendiri. Aku tiba di acara tersebut, turun dengan anggun. Tanganku tergandeng erat oleh tangan Ayahku, hal yang tidak pernah kami lakukan selama ini. Setidaknya sejak aku menginjak usia dua belas tahun.
Pandangan mata setiap orang menusuk tajam padaku. Semua orang sudah tahu kisahku. Menyebar begitu cepat di kalangan para elit, entah siapa yang membuka suara pertama kali. Kutundukkan kepalaku, rasa takut seketika menyelimutiku. Dikenal sebagai orang yang buruk, sungguh bukan hal yang menyenangkan.
“It’s okay, honey.” Digenggamnya tanganku lebih erat. Ayah berusaha mengembalikan rasa percaya diriku.
Kutarik satu tarikan napas panjang, dan menghembuskannya setenang mungkin. Perlahan kembali kutegakkan kepalaku. Melihat beberapa diantara mereka yang menggunjingku, atau sekadar membicarakanku.
Kualihkan pandanganku, ketika bertatapan dengan Chris dan keluarganya. Sudah pasti image keluarga kami paling jelek di mata mereka. Aku tidak menyalahkan hal itu, karena aku memang telah menyakiti hati Chris.
Pada saat acara dansa dimulai, aku tidak lagi dipaksa oleh Ayahku untuk mengikutinya. Berdiri di pojokan hall sambil memegang sebuah gelas sampanye, aku lebih memilih untuk menyendiri. Melamun sambil melihat suasana luar, dari jendela besar yang ada di sebelah kiriku. Aku bisa melihat taman belakang dari sini. Kenangan indah menjadi pahit ketika kuingat dengan hati yang terluka.
Kutolehkan wajahku ke kanan, melihat pada kerumunan tamu undangan yang sedang bergembira. Kutemukan sosok Liam yang berjarak sekitar dua atau tiga meter dari tempatku berdiri. Kami sambil memandangi dengan tubuh yang mematung. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Entah perasaan apa yang kurasakan saat ini. Benci? Cinta? Rindu? Bahkan aku sendiri tidak tahu pasti.
Aku tetap mematung, dengan mata yang sedikit membelalak saat Liam mulai melangkah, semakin mendekat padaku. Detak jantungku masih tidak terkontrol, aku takut ia akan mendengarnya bila terlalu dekat denganku.
“Hai.” Ia menyapaku dengan senyum kecutnya yang penuh luka. Kini jaraknya bahkan kurang dari setengah meter dariku.
Kembali kualihkan pandanganku, melihat ke arah luar melalui jendela tadi. Aku memilih untuk tidak menjawab sapaannya itu.
“Mungkin bagiku, lebih baik jika kita tidak saling mengenal. Daripada aku harus menanggung rasa benci darimu.” Ujar Liam.
“Ya, seharusnya kamu tidak mengajakku bicara saat itu. Tidak memintaku untuk menemuiku di taman belakang, dan…” bibirku bergetar, aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku takut akan menangis di sini, di depannya.
“Pada saat kita berkenalan, aku tidak pernah menduga akan menjadi seperti ini akhirnya.”