Sudah siap di tempat dudukku, aku datang setengah jam lebih awal pada rapat pertamaku. Bahkan Ayahku belum tiba di kantor saat ini. Aku berangkat lebih dulu, diantar oleh Sammy. Kutengok jam dinding yang terpasang pada dinding ruang rapat, masih pukul setengah delapan.
Kutarik lalu kuhembuskan napas panjangku secara perlahan, berulang kali, mencoba untuk menenangkan diri. Wajar kalau aku gugup, karena di hari ini tepat satu tahun dari pertama kali aku belajar tentang perusahaan Ayah. Yang berarti, hari ini juga adalah penentuan tentang janjiku pada Ayah, tentang persentase kenaikan profit perusahaan.
Di sepuluh menit terakhir sebelum rapat dimulai, orang-orang mulai berdatangan, duduk di kursi mereka masing-masing. Sedangkan Ayah datang tepat pada waktu rapat dimulai. Pukul delapan, tidak kurang juga tidak lebih.
Ayah duduk di kursi utama, yang terletak pada ujung meja, sedangkan aku duduk di kursi sisi kanan sebelah meja, di sebelah kursi Ayahku. Termasuk aku dan Ayahku, rapat ini dihadiri oleh sebelas orang, yang sudah mengisi kursi pada sisi kanan dan kiri meja, berjejer saling berhadapan. Lima orang di sebelah kanan meja, dan lima orang lagi di sebelah kiri meja.
James, leader yang di tunjuk oleh Ayahku, berdiri dari posisi duduknya saat semua sudah hadir. Pria berumur tiga puluh tujuh tahun itu berada tepat di sebelahku, mulai membuka rapat kali ini. Sementara yang lainnya, sibuk melihat dokumen yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Termasuk aku, yang sibuk membolak-balikkan dokumen berisi laporan peningkatan perusahaan selama satu bulan terakhir ini.
“Kita mendapatkan peningkatan profit yang cukup memuaskan bulan ini.” Kata James, sambil tersenyum padaku. Beliau memberi semangat padaku, yang baru bergabung di satu tahun terakhir ini.
Oh, mungkin aku juga patut bangga, karena tentunya aku juga berpengaruh dalam peningkatan ini. Walaupun pengaruhku tidak banyak. Setidaknya perusahaan Ayah yang tidak sedang dalam kondisi baik, kini meningkat sedikit demi sedikit.
“Bagaimana dengan perkembangan satu tahun terakhir? Menyentuh angka dua puluh lima persen?” tanya Ayahku.
Membuka-buka kembali dokumen yang ada pada laptopnya, James mengecek data yang sudah ia kumpulkan dari tahun lalu. “Yah, memang jauh dari target. Tapi setidaknya kita sudah membuat kemajuan. Kita mencapai peningkatan lima belas persen tahun ini.” Katanya.
Ayah melihatku, tapi aku tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Beliau memandangku sejenak, tanpa memperlihatkan ekspresi apapun. Hanya wajah yang datar.
Kuhela napasku, sedikit terdengar berat. Tidak bisa kupungkiri, aku sangat kecewa. Kupersiapkan diriku, pasrah karena aku sudah berjanji akan melakukan apapun yang Ayahku minta, karena hasil peningkatan tahun ini tidak mencapai apa yang kujanjikan.
Rapat berlangsung kurang lebih selama dua jam, hingga akhirnya James menutup rapat hari ini. Aku memilih untuk tetap berada di ruangan ini sementara waktu, ketika satu persatu orang yang berada di sini keluar. Termasuk Ayah, yang juga keluar, setelah akhirnya menawarkanku untuk ikut dengan beliau. Kemana lagi kalau bukan ke ruang kerjanya. Aku belum punya ruangan khusus untukku hingga sekarang.
Kubolak-balikkan kembali berkas yang kubawa dengan perasaan kecewa. Lembar demi lembar kucermati, memastikan apa yang salah. Aku yang sudah berbicara besar pada Ayah di awal, kini merasa gagal dan malu melihat hasil yang jauh dari pencapaian. Benar kata Ayah, aku terlalu meremehkan. Yang perusahaan kami capai jauh dari ekspektasiku. Padahal kupikir hari ini aku bisa menyombongkan diri, membuktikan bahwa aku tidak bisa diremehkan oleh beliau. Tapi tidak pada kenyataannya.
Sekali lagi kuhembuskan napasku, menatap keluar jendela dari gedung berlantai lima belas ini. Aku sedang berada di lantai empat belas, sedangkan lantai tertinggi dari gedung ini adalah rooftop yang sering digunakan untuk istirahat oleh para karyawan di sini.
Diantar oleh Sammy, aku tiba di rumah tepat pukul tujuh malam, sedangkan Ayahku masih tetap berada di kantornya untuk mengurus beberapa pekerjaan yang masih tersisa. Walaupun banyak yang menyarankan pada beliau agar menyerahkan sebagian pekerjaan pada tangan kanan beliau, Tapi Ayahku. Yah, beliau adalah orang yang sangat teliti dan kurang bisa mempercayai siapapun sepenuhnya.
Mungkin karena itu juga perusahaan Ayah hampir bangkrut saat aku lari dari rumah. Ayah biasa menguruh banyak pekerjaan, menjadi kurang berkonsentrasi. Oh, aku merasa bersalah sekarang.
“Hai, bu.” Sapaku, ketika melihat Ibu sedang duduk santai dengan bukunya di ruang keluarga. Kuhampiri sebentar, sambil mengecup kening beliau. Setidaknya hubungan keluarga kami membaik begitu aku memutuskan untuk ikut campur dalam perusahaan Ayah.
“Bagaimana?” tanya Ibuku, yang berhasil menghentikan niatku untuk segera ke kamarku.
“Sesuai janjiku. Aku tidak akan membangkang lagi.” Sambil duduk, kutundukkan kepalaku, melihat jemari yang sedang kumainkan di pangkuanku.