Kugandeng Ayahku masuk ke dalam restoran favorit Ayahku. Dihari Minggu ini kukatakan pada Ayahku kalau aku ingin menghabiskan waktu berdua dengan beliau. Ibu sempat merajuk, meminta untuk ikut. Ayah tertawa bahagia, mengejek istrrinya sendiri.
Menuju tempat yang sudah kureservasi sebelumnya, kami dituntun oleh salah satu pelayan di sana. serbet diletakkan di atas pangkuan kami, sesaat setelah kami menemukan meja kami. Kami mendapatkan tempat yang berisikan empat kursi, dan kami duduk berhadapan. Aku duduk menghadap pintu masuk restoran ini, dan sebaliknya untuk posisi Ayahku.
Kudongakkan kepalaku, melihat Liam yang baru saja masuk kemari, bersama dengan Ayahnya. Ya, Ayahnya. Segera aku berdiri, agar Liam bisa melihatku.
Ayahku yang bingung melihatku, segera membalikkan badannya, penasaran dengan apa yang kulihat. Beliau menghela napas ketika melihat sosok Ayah Liam, sedangkan Ayah Liam segera membalikkan badannya, berniat untuk keluar dari tempat ini.
Dengan cekatan Liam menarik tangan Ayahnya, menahan langkah beliau agar tidak pergi kemana-mana. Liam tampak berbicara menenangkan Ayahnya, lalu mendorong punggung beliau. Diarahkan Ayahnya menuju ke meja yang kami tempati. Mereka saling acuh, memalingkan muka ke arah yang berbeda.
Dengan sedikit paksaan, Akhirnya Ayah Liam bersedia duduk di kursi sebelah Ayah, sedangkan Liam menempati kursi di sebelahku. Kami saling menatap, bersiap-siap dengan apa yang akan kami utarakan saat ini.
“Ada yang ingin kami bicarakan.” Liam membuka suara setelah ia mempersiapkan mentalnya sekitar lima menit.
“Ayah?” panggilku, meminta beliau menanggapi Liam.
Lagi-lagi beliau menghela napasnya, dengan sangat berat. Entah sudah berapa kali, tidak bisa kuhitung. “Ya, bicara saja.” Kata beliau. Sedangkan Ayah Liam masih menutup mulutnya.
“Kami saling mencintai. Bahkan setelah kami berusaha untuk saling menjauh, melupakan, dan membenci, kami masih tetap bisa merasakan cinta di dalam hati kami.” Liam mengatakannya dengan penuh percaya diri, tapi aku bisa merasakan tangan gemetarannya yang memegang tanganku di bawah meja. Sejujurnya ia sangat gugup.
“Dasar tidak berguna!” umpat Ayah Liam, sambil berdiri dan berjalan menjauhi kami.
Liam melepas tanganku, mengejar Ayahnya. Ia kembali berusaha menahan Ayahnya agar tidak pergi.
“Sampai kapan anda harus terjebak pada masa lalu? Menutupi kesalahan anda dengan membenci keluarga kami. Bahkan hingga mengabaikan kebahagiaan anak untuk membalaskan dendam, yang seharusnya tidak perlu terjadi.” Aku berdiri, ikut menimpal ketika melihat Liam kewalahan menghentikan Ayahnya.
“Berani kamu bicara seperti itu? Ayahmu membuat istriku mati! Jadi sangat pantas kalau aku membenci kalian!”
“Ayah pikir aku tidak tahu Ibu bunuh diri karena apa? Hentikan menyalahkan orang lain!” Liam menyela Ayahnya.
“Apa maksudmu?”
“Aku masih kecil saat itu, mungkin Ayah pikir aku tidak tahu apa-apa. Tapi aku mengerti perasaan Ibu, Ibu selalu menangis setiap Ayah menghardiknya, membentaknya seolah Ibu tidak berarti di kehidupan Ayah. Ayah selalu memulai pertengkaran setiap berbicara dengannya.”
“Ibumu tahu, Ayah melakukan itu untuk kebaikan kalian berdua.”
“Ibu mengajakku untuk bunuh diri saat itu.” Pengakuan Liam membuat Ayahnya terkejut, terlihat dari matanya yang kini membelalak lebar. “Ibu sudah tidak tahan dengan sikap Ayah! Itu yang Ibu katakan, ia mengajakku agar aku tidak perlu menderita di tangan Ayah.”