Perpustakaan Tranquillity Institute sudah biasa mendengar suara tok tok tok khas dari ujung kayu pegleg sang pustakawan saat ia melangkah mengelilingi perpustakaan. Malam ini, suara tok tok tok itu terdengar lebih sunyi daripada biasanya saat Ezio Russo melangkah menuju kamarnya yang terletak di belakang perpustakaan, setelah ia membereskan piringan hitam Tony Sheridan and The Beat Brothers dan mematikan gramofon.
Kamarnya terletak di ujung, di samping kantornya sendiri. Beberapa buku dengan cover yang sudah terpisah dari bukunya tertumpuk pada meja kerjanya. Kepala sekolah—Albert Atkins—menugaskan Ezio untuk membenarkan buku-buku itu, dan Ezio memutuskan untuk membereskan minggu depan, saat ujian akhir sekolah saja. Ada satu sofa lapuk yang terkadang menjadi tempat Ezio beristirahat sekadar tidur siang yang bersisian dengan perapian. Dari kantornya, sebuah jendela mengarah pada pemandangan Desa Moonbright yang bercahayakan lampu-lampu kecil dan juga Stasiun Moonbright
Sedangkan kamarnya hanya ruangan mungil dengan kasur yang tidak begitu empuk, namun cukup nyaman untuk istirahat. Ezio duduk di atas kasur sambil melepaskan pegleg dan menyandarkan kruk pada sisi kiri kasur, ujung lututnya terlihat lebih lecet. Sang pustakawan memoleskan salep dari Madam Anne Harris untuk memudarkan lecet kemarahan. Setelah selesai, ia mengambil kruk dan melangkah menuju lemari untuk mengambil piyama.
Saat melangkah, ia mengabaikan cermin yang terletak di samping lemari, lalu kembali pada ranjangnya sambil melepas rompi dan juga kemeja. Sang pustakawan melepaskan napas panjang, bahkan tanpa melihat pada cermin, ujung matanya tetap saja berkhianat. Membuat sang pustakawan dengan enggan melihat pada cerminannya sendiri saat kemejanya sudah benar-benar terlepas.
Ezio melihat sosoknya sendiri yang mengerikan.
Bulu bewarna merah keabuan menutupi pundak kiri dan menutupi setengah dadanya. Sudah seminggu ia belum sempat mencukur bulu-bulu menjijikkan tersebut ditambah lagi kakinya yang buntung, dan Ezio benci melihat sosoknya sendiri. Kebencian pada cermin dirinya membuat Ezio mengambil sepatunya dan melemparkan pada cermin yang memantulkan kembali sepatu yang dilempar. Hebat, batin Ezio, bahkan cermin tersebut pun ikut mencemoohnya dengan tidak pecah.
Kemudian sang pustakawan memutuskan untuk mengabaikan cerminan dirinya dengan mengenakan piyama. Sudah saatnya ia tidur, bukan mengasihani dirinya sendiri.
Untuk orang biasa, tidur merupakan bentuk penjagaan terhadap rasa lelah, tetapi hal itu tidak terjadi pada Ezio. Berulang kali ia bermimpi buruk, berupa suasana perang dengan komando-komando berbahasa Italia, atau tembakan-tembakan, juga kerusuhan