Mendengar permintaan Chava, Ezio hanya menahan gelak. Sedikit banyak ia sudah bisa menebak apa permintaan gadis itu.
“Baiklah,” Ezio mengambil piringan hitam Tony Sheridan and The Beat Brothers yang terletak di sofa, karena baginya percuma menolak permintaan Chava, “walaupun aku masih heran ada apa denganmu dan juga berdansa.”
“Tidak, aku tidak mau berdansa dengan lagu rock ’n roll!” Chavalah merajuk, “Aku ingin berdansa dengan lagu lain. Slow dance.”
Ezio menatap lurus pada Chava keheranan, tetapi Chava sudah meninggalkan kantornya menuju pada perpustakaan. Lagu The Platters yang berputar sebagai background terdengar dalam irama waltz yang cocok dengan lagu dansa. Ezio pun mengikuti Chava dengan langkahnya yang tertatih, sementara Chava membuat dirinya berputar sehingga rok birunya mengembang. Ia sudah pernah berdansa dengan gadis itu, seharusnya tidak ada kecanggungan atau rasa gugup sama sekali. Tetapi Ezio tidak berbohong, untuk kali ini ia merasa gugup, terutama saat Ezio menerima uluran tangan Chava yang tersenyum.
Am I just another
Dancing partner?
Do you smile
At every boy this way?
Ini bukan sebuah kebetulan, tetapi lagu yang dimainkan di atas gramophone benar-benar membuat Ezio semakin gugup. Sang pustakawan punya cara agar Chava tidak bisa menangkap raut wajahnya. Dengan sedikit enggan, Ezio membawa Chava mendekat, membiarkan dagu Chava bersandar pada pundaknya. Jika seperti ini, mereka tidak perlu saling menatap, namun di lain kesempatan keduanya akan terlihat saling berpelukkan sambil berdansa.
Do you hold them all until
They're breathless?
Do you always find