Musim Panas, 1961
London
Ezio membuka mata dan merasakan tubuhnya basah karena musim panas. Ia tidak menunggu waktu lama untuk langsung membawa dirinya ke alam sadar seutuhnya, mencoba mengaburkan mimpinya yang semakin hari semakin terasa jelas. Mimpinya bukan lagi peristiwa perang atau pun Constanza yang berulang kali meninggalkannya. Di dalam mimpinya, sesosok pixie yang lincah menjadi bunga tidurnya nyaris selama musim panas. Sosok pixie itu akan berubah menjadi seorang gadis berambut coklat dan bermata biru cerah, dan sosok Chavalah Liebgott akan terwujud sempurna di dalam mimpinya. Padahal ia sudah membuat musim panasnya teramat sibuk, apapun yang tidak membuatnya terjebak dalam lamunan. Setiap kali pikirannya kosong, hanya ada satu sosok yang menghantui pikirannya, yang berusaha ia tepis dengan kesibukan namun tetap saja datang ke dalam mimpinya setiap malam.
Ia segera mencuci muka dan menatap cerminan dirinya sendiri. Wajah Italia-nya begitu khas, tetapi selebihnya ia tidak memiliki kelebihan apapun kecuali bulu rubah merah menjijikkan yang menutupi pundak kirinya. Sesuatu yang tidak sedap untuk dilihat, bahkan ia benci melihat dirinya sendiri.
“Aku menyukaimu, Ezio.”
Masih teringat dengan jelas pernyataan gadis itu. Untuk menjaga kewarasannya, Ezio menjelma pernyataan itu sebagai pernyataan yang kekanakan. Chavalah Liebgott hanyalah seorang murid nakal yang mengganggunya, dan bisa dibilang ia berhasil merasuki pikirannya seperti sekarang.
Sekali lagi ia mencuci muka, mengusir jauh-jauh pikiran tentang Chavalah Liebgott dari pikirannya.
Ezio membersihkan diri, mengenakan pakaiannya seperti biasa, lalu menuju pintu flat-nya untuk menuju flat Mickey di ujung lorong. Sebelum ia memasang sepatunya, pandangannya tertuju pada sebuah kartu pos yang terselip di bagian bawah pintu. Ezio mengambil kartu pos dengan gambar pantai juga orang-orang yang tengah berjemur dan berkaca mata. Tulisan ‘Woolacombe, Devon’ tertera pada ujung kanan kartu pos, dan Ezio membalikkan kartu pos untuk membaca pesan di baliknya.
Happy summer, Ezio!
Seperti biasa, aku akan menghabiskan ritual musim panas mengunjungi rumah kakek nenekku di Devon selama sebulan. Luar biasa, kan? Bagaimana dengan musim panasmu? Kuharap sama menyenangkannya dengan musim panasku. Oh, tidak sepenuhnya menyenangkan sebenarnya. Mama dan nenekku tidak berhenti berdebat. Kadang aku sering kali memilih untuk menghindar, tetapi sering kali kami bertiga malah terjebak dalam perdebatan yang tiada akhir. Kakekku sampai sakit kepala. Katanya, jangan biarkan tiga wanita Yahudi dari tiga generasi untuk berkumpul, atau rumahmu akan pecah oleh perdebatan tiada akhir!
Oh ya aku akan kembali ke London minggu depan.
Aku sangat ingin bertemu denganmu setelah aku tiba!
Chava
Ezio bahkan tidak sadar bahwa sisi bibirnya membuat senyum saat membaca kartu pos yang diterimanya. Sampai ia melihat cap bibir dengan lipstick bewarna merah menyala di ujung kanan kartu pos, Ezio berdeham salah tingkah lalu memasukkan kartu pos tersebut ke dalam saku jasnya.