Eddie my love, I love you so
Eddie my love, I love you so
Eddie my love, I love you so
How I've wanted for you, you'll never know
Please, Eddie, don't make me wait too long
Turntable pada kamar bernuansa pink memutar lagu The Chordettes berulang-ulang. Miriam Freud, wanita dewasa di rumah tersebut menaiki tangga dan menemukan putrinya tengkurap di atas lantai kamarnya, kakinya bergerak-gerak mengikuti irama doo woop dan ikut menyanyikan lagu yang sama nyaris seharian.
“Chava, tidak sadarkah kau sudah memutar lagu ini seharian penuh?” Miriam Freud, yang biasa dipanggil Mama oleh Chava menegur putrinya yang langsung tersadar dan segera duduk lalu mematikan turntable. “Eddie, hmm…” Mama ikut duduk di samping putrinya, tatapannya menyelidik, “kau pasti tengah menyembunyikan sesuatu dariku.”
“Tidak,” Chava berkilah, walaupun bibirnya mencoba senyum.
Mama merangkul Chava dengan harapan putrinya akan bercerita, sampai ia teringat sesuatu, “Bukankah nama pacarmu Euan, bukan Eddie?”
Senyumnya pudar sesaat. Euan, ya, Chava nyaris melupakan Euan semenjak ia tidak jadi naik kereta api yang sama. Bahkan selama sebulan lebih berada di Devon, tidak ada lagi kontak antara dirinya dengan Euan. Ada rasa bersalah yang ia rasakan, tetapi selebihnya ia tidak tahu bagaimana cara menghubungi Euan selama musim panas. Mereka tidak saling bertukar nomor telepon, ia bahkan tidak tahu di mana rumah Euan.
“Jadi…” Mama berucap lagi, “kau tidak akan menceritakan padaku siapa itu Eddie?”