Taxi langganan Mama dan Chava telah bersiap sedia pada pukul enam sore, hendak mengantarkan mereka ke Bevis Marks Synagogue, salah satu sinagog tertua di Inggris. Sekali pun mereka tidak benar-benar religius, Mama tetap mengenalkan Chava tradisi Yahudi dan juga kebiasaan mereka. Alasan yang lain, karena pada akhirnya Mama diterima kembali di komunitas Yahudi setelah sebelumnya kehadirannya sebagai seorang single mother yang tidak memiliki suami dianggap sebagai sebuah aib.
Mama—Miriam Freud—adalah wanita di luar zamannya. Ia mengasuh Chava seorang diri, melarikan diri dari Devon pindah ke London untuk memulai hidup baru. Di London, Mama bertemu dengan seorang wanita kulit hitam yang menjadi pengasuh Chava saat masih kecil. Clara Gatwa nama pengasuhnya saat itu, sampai sekarang Clara masih menjadi kawan dekat Mama dan juga Chava.
Di usia Chava yang ke-11, kakek nenek dari Mama mencari Mama ke penjuru London, dan mereka kembali berekonsiliasi sebagai keluarga. Walaupun tentu saja masih sering terjadi percekcokan terutama antara Mama dan sang nenek. Beberapa kali kakek dan nenek hendak mengulurkan bantuan pada Mama, yang selalu ditolak Mama mentah-mentah karena Mama masih bisa menghidupi dirinya dan juga Chava. Tetapi melalui nama besar keluarga mereka, Mama kembali diterima sebagai jemaat sinagog di London.
“Miriam…” Alfred sang cabbie mengajak Mama berbicara saat mengemudikan taxi menuju sinagog, “bukankah perayaan malam Sabbath baru dimulai nanti jam 8? Matahari tidak tampak akan tenggelam dalam waktu sejam ke depan.”
“Tidak masalah, aku dan Chava akan berjalan-jalan terlebih dahulu di sekitar sinagog. Terimakasih telah mengingatkanku, Alfred,” ujar Mama.
Chava tahu betul bahwa Mama benar-benar lupa bahwa malam Sabbath baru akan dimulai saat matahari terbenam. Gadis itu menahan tawa, “Yang jelas, aku tidak akan menemanimu berjalan-jalan di sekitaran sinagog, Mama. Kau saja dengan perkumpulan ibu-ibu sinagog yang sering kali ingin menjodohkanku dengan anak-anak mereka.”
Komunitas Yahudi memang seperti itu. Selalu ada seorang wanita seusia Mama yang menjadi matchmaker. Chava—sekali pun ia tidak memiliki seorang ayah—menjadi salah satu gadis yang paling digemari oleh para ibu-ibu untuk dijodohkan dengan putra mereka. Atau, ibu-ibu yang lebih tua, sering mencari laki-laki yang cocok untuk dinikahkan dengan Mama. Beberapa kali Mama dan Chava merasa kebiasaan itu terasa konyol, tetapi lama kelamaan keduanya terbiasa dan melarikan diri dari perjodohan konyol tersebut.
Karena ngomong-ngomong melarikan diri, sepasang mata Chava membesar saat melihat salah satu plang jalan Saffron Hill dan ia langsung berseru, “Alfred, berhenti di sini!”
Hal itu membuat baik Alfred dan Mama bingung, tetapi Alfred memutuskan meminggirkan taxi untuk berhenti.
“Chava, apa yang kau lakukan?”
“Mmm—aku…” Chava mencari akal, “aku akan berjalan-jalan dulu. Nanti jam 8 aku akan menemui Mama di sinagog, ok?”