Panjatan doa Sabbath yang keluar dari bibir Chava terdengar hikmat, sementara lilin menerangi wajah gadis itu. Ezio membiarkan gadis itu melaksanakan ritual Sabbath-nya sambil ikut duduk tepat di samping Chava, dan kehadirannya tidak membuat gadis itu lepas dari khusyuknya doa yang tetap ia panjatkan. Ezio bukan orang Yahudi, dia seorang Katholik yang sama sekali tidak religius, tetapi menatap Chava yang tampak seperti sesosok malaikat bergaun putih dengan wajah bercahaya, mau tidak mau membuat Ezio tenggelam dalam suasana. Di luar sana hujan, kebalikan dengan kehangatan flat sendiri. Chava kemudian memutar lilin-lilin di atas lantai sebagai penutup doa. Setelah selesai ia terdiam sesaat, menoleh menatap Ezio yang tepat di sampingnya, sepasang matanya masih menatap Chava.
“That was… beautiful,” puji Ezio tulus.
“Oh, kau suka pembacaan doa-doa tadi?” Chava membalas dengan tersenyum, “Aku mengalami beberapa kesialan hari ini. Kehujanan dan mendengar tembakkan yang sangat mengagetkanku. Aku hanya butuh doa agar kesialan tersebut berhenti dengan mengucapkan doa Sabbath.”
“Ah, ya, terdengar masuk akal. Berdoa agar terhindar dari kesialan.”
“Bicaramu sarkastik sekali,” cekal Chava, “Tidak ada salahnya berdoa, kan?"
Ezio sedikit terhibur dengan ucapan Chava. “Aku hanya tidak menyangka kalau ternyata kau cukup religius.”
“Tidak begitu, aku hanya berdoa di saat benar-benar butuh.”
Ezio terkekeh, “Well, memiliki keyakinan kuanggap sebagai sebuah keistimewaan tersendiri. Menurutku, keyakinan merupakan sebuah anugrah. Sebaiknya kau terus menjaga keyakinan yang kau miliki.”
“Bagaimana denganmu? Apa kau memiliki keyakinan?”
“Dulu, aku pernah memiliki keyakinan,” Ezio menjawab seadanya, senyumnya pudar. Karena dulu ia pernah memiliki keyakinan yang kuat dan juga harapan, sampai akhirnya ia ditimpa banyak musibah dan kehilangan orang-orang yang dicintainya. Terakhir saat ia mengurus Constanza dari penyakit yang diserangnya, setiap hari Ezio berdoa akan kesembuhan kekasihnya dahulu. Tetapi sekali lagi, doanya tidak didengar. Semenjak hari itu, keyakinannya semakin menipis. Setiap ajakan Sarah untuk ke gereja selalu ditolaknya dengan seribu alasan.
Cahaya temaram masih meliputi ruangan, tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara. Jari-jari mereka terasa bersentuhan sama lain. Serta merta jarak keduanya semakin dekat. Terutama saat lengan Chava bersentuhan dengan lengan Ezio.
“Tetapi setidaknya,” Chava berbicara pelan, nyaris berbisik, “kau memiliki sebuah harapan, kan?”
Harapan. Ezio pernah memutuskan untuk tidak menyimpan harapan lagi. Barangkali semua harapannya telah sirna. Kecuali saat sepasang mata biru Chava yang tampak lebih gelap menatapnya lurus, menembus pada pertahanan diri. Chava berani sumpah untuk kali ini sepasang mata Ezio tidak tepat menatap pada sepasang matanya, melainkan bergulir pelan untuk menatap pada bibirnya. Jantungnya terasa kembali berdebar cepat, sebuah perasaan familiar yang ia rasakan setiap kali ia berada di dekat Ezio.
Mereka terlalu dekat.
Sampai Chava merasakan gaunnya merembes pada lengan jas Ezio yang basah.
“Jasmu basah,” Chava memecah keheningan yang membuat Ezio kembali dari lamunan apapun yang sempat merasuki pikirannya tadi, “Sebaiknya kau mengganti pakaianmu.”
Seketika Ezio diserang rasa panik saat merasakan tangan gadis itu mencoba melepaskan jasnya sendiri. Ezio menepis tangan Chava, mencoba berdiri, “Aku bisa sendiri.” Lalu ia tertatih menuju pada saklar untuk menyalakan lampu untuk menerangi ruangan. Jantungnya berdetak tak karuan. Sambil menggosok pangkal hidungnya, Ezio menuju pada kamarnya untuk berganti baju.
Ezio dengan cepat mengganti baju, memilih kemeja yang kering. Di dalam kamarnya, ia melihat pantulan dirinya pada cermin yang sebelumnya ditutup oleh kain. Sosoknya yang mengerikan tampak di depan cermin, dengan bulu rubah kemerahan yang kembali tumbuh. Sadar diri, ia terlalu mengerikan, tidak mungkin ada satu pun orang yang tertarik padanya. Termasuk Chavalah Liebgott, ia yakin gadis itu akan melarikan diri saat melihat sosoknya yang mengerikan seperti ini.