Baik Chava dan Ezio memiliki skenario masing-masing jika suatu hari mereka diberi kesempatan untuk berbicara setelah beberapa bulan lamanya mereka tidak melakukan kontak satu sama lain. Ezio membayangkan ia akan minta maaf pada Chava atas apa yang telah ia perbuat, sedangkan Chava membayangkan ia meminta Ezio untuk tidak mengingat apa yang terjadi di musim panas.
Justru yang terjadi di luar bayangan masing-masing. Waktu yang selalu menemani mereka seakan diangkat dari dimensi tempat mereka berdiri. Ciuman keduanya terasa lebih nyata daripada kejadian yang telah lalu. Keduanya saling menumpahruahkan rasa rindu yang terpendam. Setiap detik yang hendak diakhiri akan bertambah lagi, lagi, dan lagi.
Sampai keduanya harus mengakhiri waktu dua puluh detik mereka dengan saling membuka mata dan menatap satu sama lain. Sudah lama Ezio tidak tenggelam dalam sepasang mata Chava yang begitu dekat, sementara ia mencoba mengatur debaran jantung dan juga napasnya sendiri. Lagu Blossom Dearie yang berputar masih menemani kedekatan keduanya yang terasa begitu lekat malam itu.
Setelahnya, Ezio tersadar dari beberapa detik magis yang baru saja terjadi. Ia tidak punya rencana apapun soal mencium Chava, tetapi hal itu haru saja ia lakukan. Matanya bekerjapan, ada rasa bersalah yang merayap di dalam dirinya. Sang pustakawan seolah lupa bahwa ciumannya tidak terjadi satu arah, Chava bahkan membalas ciumannya.
“Aku minta maaf, aku…” namun sang pustakawan kehilangan kata-katanya.
Chava menatap geli pada Ezio, “Tidak sadarkah kau terlalu sering minta maaf, hmm?”
Ezio sadar akan hal itu. Ia pun teringat bahwa rencana awal jika ia bertemu dengan Chava adalah minta maaf. “Waktu itu pun, saat kau berada di flat-ku, aku melakukan kesalahan. Aku benar-benar minta maaf. Tidak seharusnya aku berbicara sesuatu yang menyakitkan sehingga kau pergi. Aku seharusnya—”
Ucapannya terpotong oleh ciuman Chava yang membuat Ezio bungkam. Ia bisa merasakan tangan Chava memeluk lehernya, dan yang Ezio lakukan adalah kembali larut dalam ciuman kedua mereka sementara tangannya memeluk Chava.
Chava melepaskan ciumannya sesaat dan berbisik, “Aku memaafkanmu.” Selanjutnya Chava memberikan ciuman- ciuman kecil, “Oh, sebaiknya kita cari tempat lain. Kudengar penjaga perpustakaan akan memberi hukuman jika mendapati ada yang berciuman di sini.”
Ezio tertawa pelan mendengar gurauan Chava, dan keduanya berpindah. Tidak sedikit pun Ezio melepaskan Chava dari rangkulannya selama mereka berjalan menuju kantornya. Karena ia khawatir jika gadis itu lepas, Ezio akan terbangun dari mimpinya dan Chava akan kembali pergi meninggalkannya.
Kenyataannya tidak demikian, semua ini bukan mimpi. Saat mereka duduk di sofa kantor miliknya, Chava kembali mengambil kesempatan untuk mencium Ezio. Sang pustakawan kehilangan hitungan berapa kali mereka berciuman untuk malam ini. Ezio sampai harus berhenti, mengatur semua indranya untuk mencerna bahwa semua nyata. Ia menatap lekat pada sosok Chava yang benar-benar nyata. Pada rambut eboni dengan potongan khas, sepasang matanya yang sedalam samudra, aroma parfum yang memabukkan, tubuhnya yang pas dalam pelukannya, semua benar-benar nyata.
Setelah beberapa tahun lamanya, ia kembali memiliki seseorang dalam pelukannya.
Sementara Chava membiarkan Ezio menatapnya dalam. Jantungnya berdetak dalam tempo yang tidak biasa saat Ezio membenarkan rambutnya dan memberikan kecupan lembut pada keningnya, turun pada kelopak matanya yang tertutup, perlahan-lahan turun pada pipinya, ditutup oleh ciuman lembut pada bibirnya. Seumur hidup ia mengenal banyak lelaki, baru kali ini ia merasakan perasaan yang membuat jantungnya meledak-ledak.
“I think I’m falling,” bisik Chava setelah Ezio selesai menciumnya.
Ezio tersenyum, karena ia pun merasakan hal yang sama.
***
Selelap apapun tidurnya, Ezio selalu mendapatkan dirinya terbangun oleh mimpi. Kali ini mimpinya berupa sosok Constanza yang tersenyum, menjauhinya perlahan-lahan, dan menghilang di balik kabut. Di mimpi sebelumnya, Ezio akan berlari terpincang mencari Constanza di balik kabut, mengharapkan Constanza kembali. Namun tidak untuk mimpinya kali ini, Ezio berdiri mematung di tengah kabut, merelakan Constanza yang tidak kembali.
Seketika Ezio terjaga dari mimpinya. Ia mencari tahu di tempat mana ia terbangun. Bukan ranjang tempatnya tidur, melainkan sofa tempatnya biasa membaca buku yang membuatnya sering kali ketiduran. Bukan pula buku yang membuatnya terlelap, melainkan sosok lain dengan rambut eboni yang tertidur di atas dadanya dan mendengkur pelan.
Semua ini sama sekali bukan mimpi. Ia tertidur dengan Chava dalam dekapannya. Mereka menghabiskan malam dengan bercengkrama satu sama lain, mendengarkan album Blossom Dearie sampai selesai, dan Chava merajuk padanya untuk dibiarkan tinggal di perpustakaan sebagai pengganti malam Sabbath yang telah lalu.
Pada awalnya dia enggan. Sedalam apapun ia tenggelam dalam pesona Chava dan juga perasaannya sendiri, logika dan juga fakta bahwa hubungannya dengan Chava tidak bisa dibiarkan lolos tanpa pertahanan diri. Bagaimana pun ia seorang pustakawan, sedangkan Chava masih seorang murid Tranquility Institute. Mereka tidak bisa gegabah menjalani hubungan di balik dinding Tranquility Institute yang menyembunyikan misterinya tersendiri.
Bukan hanya itu saja, Chava tidak mengetahui siapa dirinya sesungguhnya. Sosok shapeshifter rubah yang cacat dan mengerikan.
Ezio akan mulai membicarakannya besok. Sang pustakawan mencoba kembali memejamkan mata. Malam ini, ia membiarkan dirinya mendekap Chava dalam pelukannya. Berharap besok tidak cepat datang, dan juga berharap masa depan serta kekhawatirannya tidak serta merta mengancam kebahagiannya malam ini.