Langkah Ezio terhenti di depan toko sepatu Anello & Davide. Jendela etalase menampakkan sepatu dengan ujung lancip bewarna pink cerah, berbahan satin dengan dekorasi pita manis berbahan yang sama. Selama beberapa saat ia membayangkan Chava mengenakan sepatu tersebut dan berdansa dengannya. Bibirnya bergerak tipis membentuk senyum pada imajinasi yang ia bayangkan, sampai suara beberapa wanita yang keluar dari toko sepatu dengan gaya glamour membuyarkan lamunannya. Ezio dapat menebak dari dandanan para wanita dan mobil Bentley yang menjemput mereka, ia tidak akan dapat membeli sepatu tersebut dan menghadiahkannya pada Chava sebagai hadiah Natal.
“Sudah cukup.” Lamunan Ezio yang kedua dibuyarkan oleh Sarah yang menatap Ezio kesal. “Kau tidak akan mendapatkan panettone sebagai hidangan Natal yang kubuat, jatahnya akan kuberikan pada Guiseppe atau Tony saja. Tidak untukmu.”
“A-apa?” Ezio melebarkan matanya tidak mengertI.
“Kau tiba-tiba berhenti di depan toko sepatu dan memandang sepatu tersebut. Tidak mungkin kau berniat membelikan sepatu itu untukku karena kau tahu aku benci sepatu berhak tinggi. Kau sedang menjalin hubungan dengan seorang perempuan, kan?”
Ezio tidak serta merta menjawab. Karena tuduhan Sarah tidak bisa dibilang tepat. Ia tidak tahu jenis hubungan apa yang ia jalin dengan Chava.
“Berhenti merahasiakan hal itu padaku, Eddie. Tapi jika kau bersikeras, seperti yang tadi sudah kukatakan, aku tidak akan memberikanmu panettone selama Natal ini.”
Ezio menghela napas, lalu tersenyum canggung. “Aku tidak tahu harus mulai darimana.”
Sarah hanya menjalin lengannya dengan lengan Ezio, mengajak sepupu suaminya berjalan bersama untuk menuju flat mereka. “Aku akan mencoba menuntunmu pelan-pelan untuk menceritakannya kalau begitu. Hmm, apakah itu gadis yang sama yang pernah datang ke tempatmu di musim panas?”
Ezio mengangguk sambil melangkah bersama Sarah, dan ia tertawa gugup. Sarah menoleh dan melihat wajah Ezio sedikit memerah, dan Sarah yakin semburat kemerahan itu bukan karena mereka berjalan di tengah suasana Natal yang dingin.
“Siapa namanya?” tanya Sarah penasaran.
“Mmm, C—kava. Hava? Cava?”
Kemudian Ezio sadar, ia tidak pernah benar-benar bisa mengucap nama Chava dengan benar.
“Kava?”
“Aku tidak yakin. Ejaannya C-H-A-V-A. Bagaimana cara mengucapnya?”
“Hava?”
“Tidak. Kurasa tidak seperti itu cara menyebutnya.”
“Eddie…” Sarah tertawa geli, “kau tidak tahu bagaimana cara mengucap nama gadis yang mencuri hatimu? Kau dengar aku, kan? Konyol sekali.”
Ezio kemudian merasa benar-benar konyol. Ia sadar setiap kali ia berbicara dengan Chava, ia tidak pernah mengucap namanya. Dulu ia akan memanggilnya dengan Miss Liebgott. Namun setelah bibir gadis itu sering kali mendarat pada bibirnya, terasa aneh menyebut nama gadis itu dengan nama belakangnya saja.
“Lupakan cara menyebut namanya, tetapi aku senang melihatmu akhir-akhir ini. Raut wajahmu terasa seperti orang yang telah melepas beban berat yang kau emban sendirian selama Musim Panas, dan aku bisa melihat beberapa kali wajahmu merona merah.”
Ezio menggosok pangkal hidungnya sendiri agar Sarah tidak sebegitunya memperhatikannya.
“Dan kau berniat memberinya sepatu tadi sebagai hadiah Natal pada Nona Ka—maksudku Hava yang manis itu?”