Setelah Liburan Natal dan Tahun Baru, 1962
Ezio menumpuk buku-buku pada troli yang hendak ia simpan pada salah satu lorong di perpustakaan setelah ia selesai mengurus antrean transaksi siswa yang mengembalikan buku. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, jam para siswa selesai menyantap makan malam mereka dan kembali ke perpustakaan untuk lanjut mengerjakan tugas. Didorongnya troli menuju salah satu lorong, dan sang pustakawan menyimpan buku sesuai dengan rak yang sudah ia hapal di luar kepala. Sampai ia mendengar suara sepatu yang terasa akrab, yang membuat Ezio menoleh melihat siapa yang datang.
Ezio terpana melihat sosok Chava dengan seragam dan tas selempang tergantung di sisi kiri bahunya. Gadis itu tersenyum, melangkah pelan-pelan pada Ezio yang terbagi antara kerinduannya pada Chava, dan juga kenyataan bahwa mereka di perpustakaan saat para siswa kembali meramaikan tempat itu. Bahkan Ezio dapat melihat beberapa siswa berlalu-lalang di belakang Chava, menuju lorong untuk memilih buku yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan essay dan tugas. Chava tentu saja tahu diri dengan kadaan itu, senyumnya yang simpul berubah menjadi senyum nakal saat ia mencoba menatap Ezio dengan tatapan serius yang dibuat-buat.
“Mr. Russo,” Ezio tertegun mendengar Chava memanggilnya dengan panggilan yang sudah lama tidak ia dengar. Sejak kapan? Gadis itu selalu berani memanggilnya dengan nama depan tanpa panggilan Tuan atau semacamnya, “aku—aku sedang mengerjakan tugas Biologi-ku. Aku butuh buku The Living Cell karya W.D. Miall. Bisa kau antarkan aku ke tempat di mana bukunya berada?”
Ezio masih menatap Chava heran, tetapi ia tetap menjawab, “Di bagian belakang. Sudut perpustakaan.”
Chava merenggut sesaat, tetapi tetap menjaga ketenangan yang dibuat-buat. “Antarkan aku ke sana?”
“Mengapa? Kau bisa sendiri ke sana.”
“Ayolah! Kau sudah selesai membereskan buku-buku ini, kan?”
Nyatanya tidak, masih ada sekitar lima buku yang belum disimpan pada raknya. Tetapi menatap pada sepasang mata Chava yang memiliki banyak arti, membuat Ezio menyerah dan mengantarkan Chava pada sudut perpustakaan, tempat buku The Living Cell tersimpan. Perpustakaan memiliki seluk beluk tempat, dan tempat yang ia antarkan merupakan tempat paling jarang dijamah oleh para siswa.
“Di sini, Miss Liebgott,” ucap Ezio setelah selesai mengantarkan Chava yang semakin mendekat pada Ezio yang berdiri pada seluk beluk yang tersembunyi, “Itu bukunya di sana—“
Ucapannya terpotong karena Chava semakin mendekat. Ketenangan gadis itu berubah menjadi sorot nakal yang menghilang saat bibir mereka kembali bertemu. Ezio terkesiap. Kepalanya masih berpikir, belum sempat ia merespon ciuman Chava, mengingat ia butuh untuk tetap dapat menyangga tubuhnya sendiri dan tubuh Chava yang memeluknya. Keduanya bisa mendengar suara tas selempang Chava terjatuh di sisi tubuh gadis itu. Rak buku di belakang punggung Ezio menjadi sandaran tubuh mereka. Chava sama sekali tidak peduli, ia tetap mencoba mencium Ezio yang masih meyakinkan dirinya bahwa mereka tidak akan terjatuh. Saat Ezio yakin rak bukunya cukup solid untuk menyanggah tubuh mereka, Ezio balas memeluk Chava dan balas menciumnya.
Konyol, tentu saja. Ezio sering kali memergoki para siswa berciuman di tempat ini. Sekarang justru dirinya lah dan Chava yang melakukannya.
Namun Ezio sudah tenggelam. Karena seperti biasa, Chava bisa begitu memabukkan. Gadis itu benar-benar merindukan segalanya tentang Ezio. Mereka tidak sempat bertemu selama liburan. Tidak ada kontak sama sekali. Baik keduanya hanya menunggu waktu yang tepat untuk saling bertemu kembali di Tranquility Institute. Seperti sekarang.
Selama beberapa detik lamanya mereka saling menumpahkan rindu mereka dalam ciuman yang terasa manis dan hangat. Sampai tiba waktunya mereka untuk berhenti, agar Ezio dapat menatap sepasang mata biru milik Chava.