Dentang jam sebanyak sembilan kali berdentang di penjuru Tranquility Institute. Chava hanya melirik pada jam tangannya, masih tetap duduk di lantai sudut perpustakaan seraya mengerjakan essay Biologi. Ia tidak berbohong saat meminta Ezio mencarikannya buku The Living Cell beberapa jam yang lalu. Baginya mengerjakan essay dan tugas lain tepat waktu menjadi setali tiga uang untuk dirinya sendiri. Selain ia bisa mendapatkan ilmu juga mendisiplinkan diri, ia juga punya lebih banyak kesempatan untuk bertemu dengan Ezio.
Beberapa menit setelah jam berdentang, Chava mendengar suara langkah yang dihasilkan pegleg dan juga sepatu Ezio. Sang pustakawan muncul, menemukan Chava yang hendak beranjak dari lantai sudut pepustakaan. Namun Ezio menyuruh Chava untuk tetap di sana. Ezio dengan langkah tertatih dan sedikit kepayahan, ikut duduk di lantai di samping Chava.
Ezio merogoh saku jasnya, mengeluarkan puntung rokok dan menyalakannya dengan pemantik. Pria itu menyandarkan kepalanya pada rak buku sambil mengembuskan asap rokok, sementara Chava hanya memperhatikan dan kemudian merebut rokok yang masih terselip di bibir Ezio, menghirup ntuk dirinya sendiri.
Selama beberapa menit mereka tidak bicara, hanya bertukar rokok satu sama lain. Padahal rencana awal mereka adalah berbicara.
Sampai akhirnya Ezio memutuskan untuk berbicara, “Selesaikan saja dulu essay-mu, lalu kita bisa berbicara.”
Chava menggeleng, meletakkan pena di atas essay-nya yang sudah setengah jalan. “Jadi… apa yang perlu kita bicarakan?”
Ezio selalu saja tidak tahu darimana ia harus memulai. Maka ia membuka dengan pertanyaan klise, “What are we?”
Chava menahan jawaban dari pertanyaan itu. Karena ia tidak tahu apa yang harus ia jawab. Seharusnya tidak sulit, pikir Chava. Ia masih ingat saat pertama kali berciuman dengan Euan, di saat berikutnya mereka langsung menobatkan diri mereka sebagai sepasang kekasih. Tetapi dengan Ezio?
Berbeda dengan Ezio, Euan adalah teman baiknya semenjak kelas satu. Ia sudah mengenal banyak sifat Euan, apa yang pria itu sukai, hewan peliharaannya, musik favoritnya, nama kakaknya, dan banyak hal lainnya. Begitu pula dengan Euan, ia benar-benar mengenal Chava sebelum mereka jatuh satu sama lain. Dengan Ezio, semua berbeda. Mereka belum mengenal satu sama lain. Masih banyak misteri yang belum terungkap di antara keduanya.
“Apakah cukup aku menjawabnya dengan jawaban bahwa aku benar-benar menyukaimu? Dan tidak ada pria lain yang teramat kusukai selain dirimu. Kuharap… kuharap kau pun begitu tentangku.”
Ezio tertawa pelan, “Tentu saja. Tidak ada perempuan dengan sukarela menyukaiku selain dirimu. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti alasanmu bisa tertarik dengan lelaki menyedihkan sepertiku.”
“Hey!” Chava menyentaknya, “Berhenti menyebut dirimu sendiri menyedihkan. Asal kau tahu, kau jauh lebih menarik dan tampan dibandingkan Humphrey Bogart di film The Big Sleep. Aku benar-benar serius soal itu.”
Ezio kembali tertawa. Ditatapnya Chava lekat-lekat. Ia tidak bisa mengontrol debaran jantungnya betapa gadis itu benar-benar mampu menyihirnya dengan sepasang mata biru samudranya yang begitu cantik. Mengetahui bahwa mata itu benar-benar memandangnya dengan cara yang tidak biasa membuat dirinya merasa istimewa. Di sisi lain, ia tahu di balik samudra biru sepasang mata itu, apa yang gadis itu lihat tentangnya hanyalah rasa penasaran seperti kebanyakan gadis seusianya. Ezio khawatir, jika gadis itu membuka tabir dirinya semakin dalam, gadis itu akan semakin tidak menyukainya. Dan ia sudah terjebak begitu jauh untuk menjaga dirinya dari rasa sakit jika suatu hari Chava memutuskan untuk meninggalkannya.
“Aku pernah berkata padamu, bahwa kau akan menjadi lelaki paling beruntung di dunia ini jika kau memilikiku,” Chava berbicara, balas menatap lekat pada Ezio, “Sekarang kutanya, apakah kau merasa beruntung karena kau telah memilikiku?”
Ezio berdeham, memiliki Chava. Gadis itu miliknya. Mengulang-ngulang kata bahwa Chavalah Liebgott adalah miliknya membuatnya merasa seperti di atas awan.
“Hey, jawab pertanyaanku!” desak Chava sedikit cemberut.
Ezio tersenyum, “Kau milikku.”
“Nah,” Chava tersenyum lebar, pipinya memerah mendengar pernyataan itu. “Kau sudah mendapat jawaban dari pertanyaanmu. Tentang kita. Aku milikmu. Dan kau—Ezio Russo—kau milikku!”
Ezio kembali berdeham, menahan tawa gugupnya saat menyadari hubungannya dengan Chava adalah seperti itu. Memiliki satu sama lain.