Chava terpana pada pemandangan rembulan sempurna yang tampak di jendela kamar Ezio. Sementara pepohonan yang memisahkan Tranquility Institute dengan Desa Moonbright mengeluarkan cahaya kelap-kelip, dan samar Chava dapat mendengar cekikikan dan celotehan para pixie yang tinggal di antara pepohonan. Kemagisan ini tidak akan didapatkan di tempat lain selain Desa Moonbright dan Tranquility Institute. London, contohnya, sudah mulai tidak didatangi oleh hewan-hewan magis seperti pixie, begitu pula tempat lainnya. Bahkan, Chava yang masih hidup bersinggungan dengan kemagisan tersebut pun mulai pelan-pelan meninggalkannya, membuat mereka menjadi bagian dongeng di masa mendatang.
Ezio menghampiri Chava sambil memasangkan scarf di leher Chava, lalu memeluk gadis itu dari belakang, mengecup pundak Chava dan mulai sama-sama menatap rembulan.
“It’s magic,” tutur Chava memuji bulan, “Ini pertama kalinya aku melihat bulan seindah itu.”
“Sayang sekali, di sini aku dapat melihatnya tiap saat,” lanjut Ezio dan membuat Chava mendengus sebal.
Mereka mendengar suara lolongan serigala di antara celotehan pixie di luar sana. “Kau dengar itu? Ada yang bilang itu bukan suara serigala, melainkan manusia serigala yang tengah bertransformasi. Kau percaya itu?”
Ezio sedikit keheranan dengan ucapan Chava, “Ya, tentu saja. Kau tidak mempercayainya?”
Chava mencoba menatap Ezio yang masih menyimpan dagunya di pundak Chava, “Kau tahu, para murid Tranquility Institute sudah mulai tidak mempercayai kehadiran manusia serigala dan lainnya. Bahkan mereka mulai menjadikan para peri sebagai dongeng semata.”
Ezio sudah tahu soal itu. Gadis seusia Chava dan generasinya mulai meninggalkan itu semua. Para peri sendiri lah yang mulai memberikan mandat kepada manusia agar mereka mulai dilupakan perlahan-lahan. Tidak dengan Ezio yang benar-benar pernah bersinggungan dengan para peri sampai sekarang.
“Scarf yang kukenakan sekarang adalah milik Mama, dan Mama mendapatkannya dari ayahku,” Chava mulai bercerita, “Mama sering kali berkata bahwa ayahku adalah sang peri itu sendiri.”
Ezio merasakan tubuhnya berdesir mendengarnya. Ia tidak pernah tahu soal itu. Selama ini ia selalu tertarik dengan kecantikan Chava. Ditambah dengan kepercayaan dirinya yang membuat sosoknya terasa lain daripada gadis-gadis yang pernah ia temui. Ezio melepaskan pelukannya agar ia bisa menatap sepasang mata biru Chava yang selalu membuatnya tersesat. Sekarang ia paham mengapa sepasang mata itu terlihat tidak biasa.
“So you’re a half fairy,” gumam Ezio.
“Mhmm… entahlah. Seperti yang pernah kubilang, aku tidak pernah benar-benar tahu siapa ayahku.”
***
Chava mulai melangkah pelan dan menggandeng Ezio pada ujung ranjang. Ezio ragu sesaat, kemudian ikut duduk di samping Chava. Sudah teramat lama tidak ada gadis yang berada di ranjang yang sama dengannya. Berbeda dengan Chava yang memainkan kakinya yang menggantung di ujung ranjang.
“Ayahmu, hm?” Ezio mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa gugup yang mendera, “Kau bilang kau tidak pernah mengenalnya?”
Chava mengangguk, “Aku hanya tahu dia sesosok peri. Ia memperkenalkannya dengan nama Adam pada Mama saat pertama kali mereka bertemu. Mereka hanya bertemu sebentar sebelum ia berperang melawan Jerman saat Perang Dunia. Sejak Jerman menyatakan kekalahannya, ia tidak pernah kembali menemui Mama.”
“Liebgott,” Ezio mengucap nama Chava. Pertama kali ia mendengarnya, Ezio mengembara pada sebuah tempat di Jerman sana. “Dari ayahmu?”
“Aku baru mendapati nama itu saat usiaku yang kesebelas. Sebelumnya aku menggunakan nama belakang keluarga Mama—Freud. Namun sebuah surat datang dari lelaki bernama Adam Liebgott, dan dia mengatakan bahwa aku mendapatkan slot bersekolah di Tranquility Institute, dengan nama Chavalah Liebgott,” Chava mengingat hari di mana ia mendapatkan surat itu dengan kebingungan. Setelahnya, ia menyerahkan surat pada Mama yang terpekik kaget. Mama tidak berpikir dua kali untuk mengizinkan Chava bersekolah di Tranquility Institute, dengan harapan ia akan menemukan ayahnya. “Tetapi sampai sekarang, aku masih tetap belum mengenalnya. Tidak ada satu pun berkas di sekolah ini yang menyimpan data Adam Liebgott. Lagi-lagi, kemunculannya seperti sebuah misteri.”
Ezio mendengar seksama kisah itu. “Aku masih sering bertransaksi dengan para peri,” Ezio mencoba membantu, “Barangkali aku bisa menanyakan pada rekan kenalanku, apakah dia mengenal seorang Adam Liebgott…”