Suara coretan pena dan juga kisikan buku saat mengganti halaman terdengar di kesunyian perpustakaan Tranquility Institute malam itu. Chava tidak pernah menyangka ia akan menyukai kesunyian mengingat ia jauh lebih senang berada di antara keramaian. Dengan Ezio yang ikut duduk berselonjor dan membaca buku sambil sesekali merokok di sampingnya, rupanya membuat gadis itu merasakan kenyamanan. Chava benar-benar menyukai semua hal bersama Ezio. Obrolan mereka, kemesraan mereka dalam ciuman dan juga pelukan, juga kedamaian yang ada saat mereka melakukan kegiatan masing-masing dalam diam. Hal ini membuatnya tersenyum di tengah-tengah essay dan juga form universitas yang harus dipilihnya, sementara Ezio tetap fokus dengan bukunya.
Sampai Ezio terdengar menguap karena ia telah sampai pada bab yang membuatnya bosan. Chava kemudian menoleh, “Jika kau mengantuk, kau boleh tidur saja. Aku akan di sini—“
“Tidak, tidak,” Ezio terkekeh menutup mulutnya setelah menguap, kemudian mengecup kening Chava, “aku akan di sini. Menunggumu sampai selesai.”
Chava tersenyum pelan, wajahnya terasa hangat. Ezio balas tersenyum, kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Chava sambil tetap membaca. Tak lama Chava bisa merasakan napas Ezio yang berubah menjadi dengkur pelan. Gadis itu tersenyum, mencoba untuk menoleh pada Ezio yang tertidur sementara di bahunya.
Hanya sesaat, Ezio kembali mencoba menjaga dirinya dari kantuk.
“Sudah kubilang, kau tidur saja.” Chava merasa tidak enak.
“Tidak, aku akan menemanimu sampai selesai. Aku tidak boleh tertidur. Bukankah itu rencana kita?”
Ezio menggosok-gosok wajahnya kemudian mencoba fokus untuk membaca. Chava merasa tersentuh oleh niat yang ia Ezio lakukan. Maka ia melakukan sebuah upaya kecil agar Ezio tidak mengantuk. Gadis itu menyimpan pena di atas essay, kemudian mengambil buku yang Ezio baca, duduk pada kaki Ezio yang masih berselonjor, dan serta merta langsung mencium Ezio yang tidak menyangka kejutan berupa ciuman Chava yang tiba-tiba. Kantuknya seketika sirna, digantikah oleh ciuman Chava yang membuat jantungnya berpacu cepat saat tangan-tangannya merengkuh Chava dalam pelukan. Gadis itu benar-benar tahu cara membuat Ezio kehilangan napasnya dalam setiap pagutan yang disambut langsung olehnya. Mereka tidak tahu berapa detik yang habis untuk saling menumpahruahkan perasaan mereka dalam ciuman. Yang jelas, kepala Ezio terasa berkabut dan berkunang-kunang saat Chava memutuskan untuk menyelesaikan ciuman mereka yang Ezio harap tidak pernah berakhir.
“W—wow,” Ezio bisa mendengar suaranya sendiri terdengar serak dan merasa konyol mendengar ucapannya barusan.
Chava hanya tertawa seperti pixie kecil yang nakal sambil mengatur napasnya. “Kau masih mengantuk? Kalau masih, aku akan membuatmu semakin terjaga sepanjang malam.”
Jujur, Ezio ingin menyambut tawaran Chava. Yang hanya ia lakukan adalah balas tertawa gugup, memberikan ciuman dalam terakhir sebagai penutup ciuman mereka yang semakin lama terasa semakin memabukkan untuknya. “Essay-mu. Dan pilihan universitasmu,” Ezio berujar setelah mereka selesai, “Kau sudah menentukannya?”
Chava bangkit dari pelukan Ezio, menatap pada form universitasnya yang dibaca oleh Ezio. Bush Davies School of Theatre Arts dan Bristol Old Vic Theatre School yang dibaca oleh Ezio membuat perasaannya tidak enak.
“Sekolah teater?” Ezio membuka percakapan.