Fox and Pixie

Davian Mel
Chapter #1

The Librarian and the Pupil

Musim Semi, 1961

Perpustakaan bukan bagian teramai dari Tranquillity Institute, kecuali di hari Jumat saat para murid berjejalan mengantre untuk peminjaman buku atau sekadar melakukan pengembalian.

Sang pustakawan yang merupakan pria Italia berharap kesibukannya cepat selesai, tanpa perlu menghitung jumlah antrean murid yang hendak bertransaksi, karena biasanya hitungannya selalu tidak tepat. Semakin ia menghitung, jumlah antrean malah semakin panjang, jadi ia berhenti menghitung dan memilih menikmati pekerjaannya. Setelah pekerjaannya minggu ini selesai, sang pustakawan sudah memiliki rencana untuk bersantai. Ia sudah menyiapkan sebotol wine dan album The Platters terbaru yang dibelinya kemarin, serta beberapa pilihan pasokan buku dari yayasan yang harus ia baca terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam buku yang dapat dipinjam.

Atau tidak perlu masuk daftar buku yang boleh dipinjam, dia bisa menjadi posesif pada buku dengan cerita yang bagus sehingga ia menjadi enggan jika para murid-murid ini mengetahui kisahnya.

“Next!” ucapnya saat seorang anak laki-laki kelas lima selesai bertransaksi. Ia menghela napas saat sadar antrean masih panjang.

Di baris antrean kedua, seorang gadis kelas enam sudah tidak sabar menunggu kapan gilirannya. Buku Revolutionary Road karya Richard Yates menjadi salah satu incarannya semenjak buku itu masuk ke dalam daftar buku yang dapat dipinjam. Padahal tumpukan tugasnya begitu banyak, tetapi alih-alih meminjam buku Sejarah sebagai pegangannya dalam mengerjakan tugas, ia malah memilih novel yang memanjakan imajinasinya.

“Next!”

Tiba giliran si gadis dengan buku Revolutionary Road yang ia serahkan pada meja sirkulasi. Tanpa kartu identitas, sang pustakawan harus mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang meminjam. Pandangannya berhenti sejenak saat melihat gadis di hadapannya. Batinnya langsung merespon betapa cantiknya gadis tersebut, sehingga respon pandangannya harus bertambah sekitar dua detik lebih lama. Sampai sang pustakawan sadar, tidak sopan memandang siapapun lama-lama. Ia sadar betul bahwa kakinya yang buntung adalah alasan mengapa orang-orang berlama-lama memandangnya, dan ia tidak nyaman akan tatapan itu. Gadis itu pun pastinya tidak nyaman jika ia ditatap lama-lama. Walaupun dengan alasan berbeda, orang memandang si pustakawan karena ia cacat, sedangkan ia memandang gadis itu karena ia berparas rupawan.

Lihat selengkapnya