Fox and Pixie

Davian Mel
Chapter #3

The Great Pretender

Siang itu, The Hound Pub sesak oleh beberapa pelanggan, dari kaum manusia dan juga peri. Di tempat ini, transaksi jual beli ilegal dilakukan, dan Ezio Russo—si pustakawan Tranquillity Institute—tidak akan menjadi munafik karena ia salah satu pelaku transaksi jual beli ilegal yang terjadi.

Di salah satu meja bar, sesosok peri memberikannya satu vial berisi ramuan dengan cairan bewarna kuning pisang. Satu titik hitam seperti tahi lalat pada vialnya menjadi penanda ramuan apa yang diperjualbelikan si peri. Ezio mengeluarkan satu kantung berisikan uang emas kepada sang peri yang segera menghilang dari pandangannya setelah botol vial itu jatuh di tangannya. Ia mengusap gugup pada dahinya yang berkeringat, lalu berangkat untuk menemui client-nya yang akan membeli ramuan yang baru saja ia beli dari si peri.

Pria itu memiliki perut tambun, Ezio tidak menyukainya.

“Mana barangnya?” si pria tambun itu meminta Ezio memperlihatkan ramuan yang tidak akan lepas dari genggamannya sampai si pria tambun menyerahkan uangnya. “Apa kau yakin ramuan itu akan mengubah si peminumnya menjadi persis seperti Marilyn Monroe?”

“Aku tidak tahu, bagaimana kalau kau coba sendiri?” ejekannya terdengar subtil.

“Kau tahu apa yang akan terjadi padamu jika kau berbohong, kan?”

Ezio tidak mengabaikan ancaman kosong itu. Kaum manusia adalah kaum serakah dan ia bisa berkelit mudah dengan berubah menjadi rubah atau meminta tolong para peri untuk menjaganya. 

“Aku ingin uangnya,” pinta Ezio pada si pria tambun yang melemparkan sekantung uang emas dan merebut cepat ramuan dari genggaman Ezio. Sama seperti si peri, Ezio segera melangkah keluar dari The Hound Pub karena ia tidak menyukai transaksi yang ia lakukan. Ezio menarik udara segar sambil menghitung pundi-pundi uangnya.

“Bollocks!” serunya marah saat ia sadar si pria tambun kurang memberikannya satu keping.

Ya, hanya satu keping. Tapi cukup membuatnya kesal bukan kepalang.

Tetap saja, ia sebenarnya mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut, walaupun kali itu ia mempertanyakan moralnya sendiri. Hal-hal ilegal berbau kriminal memang lekat dengannya. Terkadang ia bertanya-tanya, apakah karena darah Italia mengalir kental sehingga ia tidak bisa jauh-jauh dari hal-hal ilegal seperti ini? Ezio kadang merasa bersalah walaupun lebih banyak ia tidak ambil pusing mengingat peristiwa hidupnya diisi oleh kemalangan demi kemalangan, dan tidak jarang hal yang tidak sepenuhnya legal adalah penyelamat hidupnya.

Dengan langkah yang terpincang, Ezio berjalan menelusuri Desa Moonbright untuk kembali ke kastel Tranquillity Institute. Selama perjalanan, ia melihat beberapa toko masih buka dan menjual beberapa hal seperti pakaian, aksesoris, makanan kecil, dan juga bunga. Langkahnya terhenti di depan toko bunga yang menjual berbagai jenis bunga dan juga benih. Benaknya tertuju pada Patricia Proust, salah satu tukang kebun Tranquillity Institute. Sudah beberapa kali ia membelikan wanita itu benih bunga, tetapi Ezio belum berani mengajak wanita itu untuk sekadar minum teh bersama.

Charlie sang pemilik toko bunga menghampiri Ezio. “Coba kutebak, kau pasti ingin benih bunga untuk Madam Proust, huh?” goda Charlie pada si pustakawan.

Lihat selengkapnya