A Rainbow Missing One Color

Melia
Chapter #3

Amara Sylvia

“Selamat pagi! Mau cari buku apa ya?” Nada ramah yang terlontar dari mulut Rara memanjakan telinga. Pantas saja pelanggan tetap selalu datang setiap Minggu dan pelanggan pertama kali, datang memosisikan dirinya menjadi bagian dari ‘Toko Buku Pelangi’.

“Pagi, Kak. Mau cari novel sih.” Dua siswi SMA langsung melihat ke rak bagian fiksi.

“Silakan, hari ini ada diskon lho.” Tatapan Rara tertuju pada badge pramuka di lengan kiri mereka termasuk logo sekolah tersohor. Rara tersenyum hangat, ia merupakan alumnus sekolah mereka. Sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumah dan jalan kaki merupakan pilihan terbaik saat itu.

“Oh ya? Berapa persen, Kak?”

Rara menghampiri keduanya sambil menimang-nimang diskon yang cocok bagi kantong siswi menengah atas.

“Lima ribu rupiah per buku, minimal pembelian dua buku ya.” Jentikan jarinya membuat kedua siswi itu sigap memilih tiap sampul.

“Eh, lo harus beli juga deh. Biar kita dapat potongan. Gimana? Lo mau kan?” Siswi yang mengenakan kacamata frame abu-abu menyikut lengan siswi satunya.

Di luar kebiasaan Rara yang suka menonton pelangi dari depan toko, ia juga suka membaca. Toko buku bekas peninggalan orang tua Rara merupakan harta satu-satunya yang sudah ditekuni selama satu tahun. Tidak ada warisan. Tidak ada pegangan. Dia juga tidak berasal dari keluarga berada. Keseharian penghasilannya bergantung dari berapa buku yang dijualnya per hari.

Pandangan Rara tersapu pada laba-laba yang nyaman berada di atap. Sawang yang melekat di langit-langit toko menjadikan hewan suka bersarang. Membuat pekerjaan Rara semakin banyak saja, gumamnya. Di meja kasir, dua siswi telah meletakkan masing-masing lima buku. Rara terperangah menyaksikan keuletan mereka. Matanya melebar ketika judul buku favoritnya akan diangkut sekalian oleh siswi itu.

“Kamu yakin mau ambil buku ini?” tanyanya ragu-ragu.

“Memangnya kenapa, Kak? Apa ceritanya buruk? Sad or happy ending?” katanya bak orang cerdas. Siswi itu mengambil buku berjudul ‘A Rainbow Missing One Color’ dan membaca ulang sinopsisnya.

Sad ending. Bagian akhir ceritanya menggantung, lalu tidak ada kesinambungan antara tokoh satu dengan tokoh lain. Apa mau tukar saja?” Alasan Rara cukup meyakinkan siswi tersebut untuk meletakkan ulang novelnya ke rak fiksi.

“Tukar aja deh, Kak. Aku lagi nggak mau baca novel sedih. Nanti nggak bisa move on.”

Yes! Incaranku tidak jadi pergi hari ini.

Dari balik kasir, Rara melihat siswi yang seragamnya sedikit kucel tengah memilih judul-judul novel dibantu siswi yang seragamnya putih bersih. Berani taruhan, siswi itu mungkin anak pindahan yang sedang diajak jalan-jalan dan bercengkerama di sekitar sekolah lalu mampir ke toko Rara untuk mengenalkan pada temannya. Tak ayal, meski pada judulnya bernama Toko Buku Pelangi, kadangkala mereka menganggapnya sebagai perpustakaan. Tidak semua yang masuk akan keluar dengan bukunya. Kebanyakan mereka hanya membolak-balikkan kertas untuk mengusir kegusaran. Kalau begitu, Rara bisa apa? Biarkan saja. Agar orang luar tertarik berkunjung karena ramai.

“Kak, yang ini saja. Gimana menurut Kakak?” Siswi itu meletakkan novel berjudul ‘Pulang’ di meja kasir. Rara mengangguk-angguk ramah sembari mengambil kantong plastik.

“Boleh, lagi best seller lho itu. Toko bekas yang lain lagi kosong, sisa satu stok aja di sini,” ucapnya sambil menyunggingkan senyum.

“Oke deh, Kak. Totalnya berapa semua?”

Rara sibuk menekan angka kalkulator, menambah harga normal, mengurangi harga diskon bak cici-cici di pasar atom. Sayang tidak dibingkai dengan kacamata atau gelang emas keroncong menggulung tangannya.

“Totalnya Rp 110.000 semua ya, sudah dapat harga setelah diskon.” Ia memberikan masing-masing satu kantong sendiri pada siswi di hadapan.

“Terima kasih, Kak.”

“Sama-sama. Silakan berkunjung kembali dilain waktu!” ucap Rara dengan nada seceria mungkin. Setelah perginya dua siswi dari toko, Rara menaiki tangga lipat yang terletak di ujung untuk membersihkan sarang laba-laba. Kakinya berjinjit hingga tubuhnya menjulang ke depan. Dengan begitu Rara sigap merusak rumah laba-laba dengan kemoceng. Jam dinding menampilkan pukul empat sore, seorang kakek dan nenek mendatangi toko bukunya dengan mata berbinar. Tepat ketika Rara masih di atas tangga dan tak sengaja menjatuhkan kemoceng di rak buku paling atas, orang tua itu memberi tatapan satu sama lain.

“Hei, Nak. Apakah kau bisa turun dari sana? Apakah kau perlu bantuan kami?” Ibu itu meneriaki Rara dari balik pintu yang jaraknya sekitar dua meter dari tempatnya berdiri.

Lihat selengkapnya