Hujan tiba-tiba turun begitu deras. Rara mengambil payung yang terbungkus di pinggir selokan kecil. Hari ini ia absen tidak mengunjungi rumah ayah bundanya sesuai janji semalam. Dia akan menghabiskan waktu di toko buku dan berteduh di tempat kerja. Hampir ketinggalan bekal jika Rara tidak melihat siswi sekolah dasar membawa tempat makan di pelukan. Sebelum menutup pintu, dia memastikan tidak ada kabel listrik yang tertancap. Tidak peduli pulang petang, lampu pun harus dalam keadaan mati. Dia tidak mau traumanya bangkit kembali.
Setelah payung terbuka, Rara menyingkap sedikit ujung roknya dan melompat-lompat. Menghindari batu agar tak terperosok. Genangan air di jalan berlubang membuatnya khawatir terpeleset. Begitu yakin hingga ia sampai di jalan utama dan matanya menyapu seorang lelaki yang pernah… pernah ditemuinya tiga hari lalu! Lelaki itu sadar Rara sedang menatap ke arahnya, sejenak ia melambaikan tangan. Rara tidak membalas, ia berdiri di tepi jalan menunggu lampu berhenti di urutan paling atas. Setelahnya baru bisa menyeberang ke Toko Buku Pelangi.
Seperti biasa, Rara mengambil kunci dalam tas, mencocokkan lubang, menarik pintunya lalu menutup rapat. Papan akrilik yang bertuliskan closed diubahnya menjadi open. Sebentar ia menilik lelaki di seberang. “Apa yang dia lakukan?” ucapnya lirih. Namun Rara seperti bisa menerima jawaban yang dilempar sang lelaki melalui telepati. “Aku sedang menunggu hujan berhenti.” Buru-buru Rara mengasingkan diri ke tempat kasir dan membersihkan meja dengan kemoceng. Tanpa dia tau, lelaki itu tersenyum hangat. Melalui percakapan pendek barusan, lelaki itu seperti magnet yang membawanya berlari menembus hujan yang berakhir di toko milik Amara Sylvia.
Rara kaget bukan main ketika lelaki asing sudah berada di sekitar. Di hadapan gadis itu dengan buku-buku sebagai saksinya. Bukannya menyapa pada pelanggan, Rara malah menaruh curiga. “Iya? Ada apa?” Pancing Rara.
“Oh, aku… cari buku. Di luar hujan. Jadi sekaligus berteduh sebentar. Tapi lima menit lagi harus sampai kantor dan… kantorku dari sini sekitar satu jam. Bisa dipastikan akan telat,” terangnya sambil menggaruk kuping. Tanda-tanda itu adalah bagian dari kebohongan. Rara memicing. Jawaban darinya mengingatkan Rara pada customer kemarin. Pasangan sesepuh yang berdebat di tokonya.
“Mau cari buku apa, ya?” sahut Rara sopan. Bagaimana pun juga, lelaki ini akan membeli buku di tokonya. Berarti ada pemasukan baru. Sama dengan uang.
“Hm, sebentar. Aku lihat-lihat dulu.” Ia berkeliling, berputar dua kali pada rak yang sama. Menyempatkan diri untuk melirik Rara di meja kasir. Ketika berpapasan, ia melempar pertanyaan.
“Buku-buku ini range harga berapa?”
“Buku yang mana dulu? Kalau buku fiksi antara 20 ribu sampai 50 ribu. Kalau non fiksi bisa 30 ribu sampai 80 ribu. Kalau majalah 5 ribu aja.” Tutur Rara dengan suara tinggi sebab lelaki itu mulai berjalan ke rak paling jauh. Jadi, sebisa mungkin suaranya didengar lelaki itu.
Bibirnya tersungging, ia mengambil satu buku semacam tutorial yang mungkin merubah nasibnya dalam waktu dekat. Jam tangan sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Ini hari kelimanya bekerja sebagai reporter di ARTV. Meski belum terjun ke lapangan, semoga title sebagai anak baru bisa merontokkan para senior dan atasan yang memaklumi dirinya terlambat. Rara menerima buku berjudul ‘Tips dan Trik Menjadi Reporter Handal’ lalu memasukkan ke kantong plastik. Sejenak ia mengamati kemeja hijau sage yang pas di badan lelaki tersebut. Rara juga menunggu lelaki itu mengeluarkan uang.
“Harganya lima puluh ribu? Apa nggak terlalu murah untuk buku berkualitas seperti ini? Kamu yakin?” Ia menaikkan alis dengan heran ketika Rara melayangkan nominalnya. Tanpa sadar lelaki itu jalan mendekat hingga menabrak meja kasir yang terbuat dari kayu jati. Rara tersenyum kecil dengan pertanyaan itu. Emang iya terlalu murah? Sudah dua orang berkata sama.
“Ya, harganya lima puluh ribu.”
Lelaki itu mengeluarkan dompet dan memilih lembaran uang dari yang paling kusut sampai paling licin. Dia memilih lembaran yang masih mulus seperti uang baru.
“Terima kasih. Jangan lupa datang lagi dilain waktu…” Begitu katanya. Rara tidak merespons seceria biasanya. Antara gugup dan juga tak tau harus bersikap apa karena kejadian penyeberangan tempo hari.
“Pasti. Aku akan datang lagi. Siapa yang nggak mau beli buku semurah ini?” Dia berjalan menjauhi Rara lalu memegang gagang pintu. Tak lama, dia berhenti. Bertahan di tempat seakan ada yang tertinggal. Rara jadi takut, tiba-tiba lututnya kaku.
“Nggak ada yang mau kamu sampaikan?” sahutnya dengan mata melebar. Rara refleks menggeleng. Dia tau maksud lelaki itu. Dia tau. Tapi dia malu.
“Namaku Aka. Kamu bakal kasih diskon kalau aku sering mampir ke sini kan?”
Rara menelan ludah. Anggukan kepalanya membuat Aka tersenyum hangat.
“Saya boleh pinjam payungmu? Nanti sepulang kerja aku mampir lagi ke sini.” Dagunya terarah pada payung yang berdiri terbalik di samping pintu.
“Oh, boleh. Toko ini tutup jam sembilan malam.” Rara berhasil buka suara setelah bungkam beberapa saat.
“Oke.” Tanpa sungkan, seperti kawan lama yang baru saja berjumpa setelah berpisah sepekan, ia mengambil benda tersebut.
“Hm… namamu?” tambahnya. Aka sudah separuh membuka pintu dan angin hujan begitu kuat menghantam tubuhnya. Menyajikan hawa dingin pada anggota tubuh yang telanjang. Ia menggenggam payung kuat-kuat.
“Amara. Panggil saja Rara.”
“Oke, Rara.”
Aka pergi dari Toko Buku Pelangi sembari memakan roti sobek yang diambilnya dari saku celana. Ia berjalan tenang meski seribu rintikan hujan menerangi dia sendirian. Percikan air langit seakan mendukung postur tubuhnya. Lambat laun, kepekatan kabut membawanya hilang. Rara tak sadar telah tersenyum sejak lama ketika suara pelanggan lain mengagetkan dirinya. Siapa berani-beraninya yang masuk ke toko di kala hujan begini?
Ibu itu lagi.
Entah Rara harus menyebutnya tetap ibu atau justru nenek saja. Tapi yang dilihat sekarang, ibu itu menggigil tak karuan. Ubannya basah hingga melekat berantakan di dahi. Rara cepat-cepat memberi segelas air dari dispenser. Diteguknya beberapa kali sampai tandas. Rara sempat menawari lagi namun gelengan kepalanya membuat gadis itu berhenti tanya.
“Apakah kau mempunyai lap? Handuk? Baju ganti?” Bibirnya berubah biru keunguan. Rara berlari ke laci penyimpanan, mengacak-acak barang yang ada demi menemukan sebuah kain. Ketemu. Benda menjuntai persegi empat yang dilipat rapi dibukanya lebar-lebar. Kerudung bunda. Awalnya ia ragu memberikan benda itu. Ditolehnya, sang ibu sedang meringkuk di kursi kayu dengan kedua kaki dirapatkan ke atas. Tidak tega adalah alasan satu-satunya. Demi ibu itu. Demi tokonya. Dia tidak mau tempat pencari upahnya ditutup hanya karena menemukan orang tua mati penasaran di toko bukunya. Konyol. Cepat-cepat Rara melingkarkan beberapa kerudung di badan ibu. Berharap beliau menemukan kehangatan meski tidak setebal selimut.
“Apakah sudah sedikit hangat, Bu?” tanyanya meski Rara sendiri bisa mendapat jawaban dari sorot mata yang sungguh-sungguh menyuguhkan hawa dingin yang hebat.
“Kipas itu…” Tunjuknya dengan jari manis.
“Kipas itu matikan sebentar.” Perintahnya.
Cepat-cepat Rara berlari ke ujung dan menekan tombol paling bawah lalu berlari lagi ke kursi kayu. Rara berjongkok dan memegang tangan ibu yang pucat. Menggosok-gosokkan dengan tangannya sendiri agar hangat. Entah dari mana ibu itu berasal. Entah hendak ke mana sampai memilih tokonya sebagai peristirahatan sementara.
“Ibu butuh air hangat? Biar saya belikan di kedai sebelah.” Rara mulai berdiri namun langkahnya dicegat.
“Tidak usah. Di luar sangat deras. Jangan sampai kau sama sepertiku ketika kembali. Bukannya sembuh, malah menambah penyakit. Lantas siapa yang akan mengurus kita berdua?” cerewetnya.
“Temani saja aku. Suamiku akan sampai sekitar setengah jam lagi,” ucapnya dengan menunjukkan ponsel.
“Duduk saja di sampingku. Wah, untung saja bajuku tidak basah kuyup. Dan untung saja ini kursi kayu. Kalau sofa pasti kau kewalahan memeras dan menjemurnya. Benar begitu?” Rara mengangguk pelan, merasa bahwa ucapan barusan sangat benar. Genggaman tangan Rara terbuka lalu menutup kembali, merasakan dingin yang tertular dari badan sang ibu.
Ibu siapa ini? Ke mana anakmu hei, para orang tua? Tentu saja hanya berlaku di dalam hati. Beliau nampak mengeluarkan roti bertabur cokelat dan menyerahkannya pada Rara.
“Tidak usah, Bu. Ibu makan saja.” Rara melambai, tanda penolakan.
“Sudahlah, makan. Temani aku sarapan.”