A Rainbow Missing One Color

Melia
Chapter #5

Akarilalang Sanjaya

Semenjak pertemuannya dengan Rara di tepi jalan, ia merasa takdir baru saja berjalan. Apa yang dilihatnya memang tidak sefrekuensi dengan gadis itu. Buruk-baik. Tercela-terpuji. Di usia yang menginjak 25 tahun, ia baru menapaki dunia kerja setelah lulus S2 di Jerman. RWTH Aachen University tempatnya menempuh pendidikan, dengan jurusan yang tak kalah populer yaitu Ilmu Politik. Kemahiran dalam berbicara bahasa Jerman tak terlalu mulus meski sang ibu tidak berputus asa mencekoki bahasa aslinya. Aka terjun ke Indonesia demi menghilangkan perjodohan ala kadarnya. Sayembara selalu dilakukan untuk memuaskan hati sang ibu yang berakhir penjara asmara. Penjara hati. Susahnya Aka sama dengan susahnya sang ayah yang tidak bisa menghentikan aktivitas sang istri untuk menjodohkan anak gadis temannya pada putranya sendiri.

Satu-satunya cara yang dilakukan Aka adalah pulang ke Indonesia. Tempat dilahirkannya sang ayah di Jakarta. Penyesalan Aka ketika datang ke tanah air, dengan tujuan bekerja, ia malah menemukan fakta yang jarang sekali perusahaan bisa menerima karyawan dengan portofolio dan pencapaian maksimal. Alih-alih bisa menaklukkan dunia, mereka malah meneror Aka dengan gaji sedikit dan berpikir ulang untuk melamar di perusahaan milik kantong pelit. Tidak ada jaminan ketenagakerjaan, tidak ada jaminan kesehatan, bahkan asuransi jiwa. Dari semua CV dan lamaran pekerjaan yang di submit, mulai dari dosen, anggota partai, wartawan, penerjemah bahasa Jerman-Indonesia, Aka mengambil posisi reporter sebagai investasi masa depan. Kelihatannya keren, setidaknya ia akan menaiki tangga satu-persatu meski belum tau apa yang diinginkan. Dan di sanalah lelaki itu, dengan posisi magang, ia tidak berpikir jauh digaji berapa. Yang ia mau hanyalah jeda sejenak dari kencan-kencan yang direncanakan orang tuanya. Aka diterima magang selama tiga bulan di ARTV sebagai reporter. Jika evaluasinya berjalan baik, ia akan menjadi karyawan tetap. Sejujurnya bukan itu tujuan utama Aka, namun saat berhasil menyelamatkan seorang gadis di ujung trotoar, keputusannya berubah. Ia menapaki perjalanan seru sekaligus melupakan tragedi tahun lalu. Meninggalkan passion-nya sendiri pada dunia baru.

“Halo, Ma?”

“Ya, halo. Kau di mana? Sudah makan? Jangan lupa menggosok gigi. Mencukur jenggot, mencukur ketiak dan mencukur bulu kemal…”

“Ya ya ya! Jangan disebut. Aka sedang di dalam bis.” Potongnya cepat-cepat. Tombol loudspeaker telah dinonaktifkan.

“Bis? Kenapa kau tidak naik mobil saja? Jangan macam-macam ya Ilalang! Mama nggak mau kau sakit. Carilah istri secepat mungkin! Paling cepat tahun depan!” Panggilan itu putus begitu saja. Aka melongo sambil memandang jalan melalui kaca. Ilalang. Nama tengah yang tidak pernah disukainya meski ibu dan ayah memanggilnya sedari kecil. Dia selalu mengenalkan diri dengan Aka Sanjaya. Nama besar ayahnya berada di akhir. Sesuai marga lokal yang disematkan untuknya. Tatapan Aka terarah pada anak kecil yang hampir terserempet dan diselamatkan pedagang asongan. Ia memekik kasar dan seorang perempuan paruh baya di sisinya menoleh kuat-kuat. Aka menunduk sopan sebagai pertanda maaf jika telah membangunkannya dari tidur pulas.

Ingatan Aka kembali saat menemui Rara di trotoar untuk pertama kali. Dia bekerja sebagai pegawai toko buku bekas yang terapit dua restoran. Kalau transportasi umum yang digunakannya sekarang melewati toko buku itu, ia pasti turun di sana setiap hari. Dia memiliki rencana tinggal di Indonesia yang awalnya hanya tiga bulan namun sepertinya akan berubah menjadi tiga tahun atau selamanya, tergantung bagaimana nanti etika percintaan itu memudar. Bersama gadis bernama Amara Sylvia.

Saat itu, ketika durasi bekerjanya masih lima hari, tatapan Aka terhunjam pada Rara. Sosoknya yang membawa payung di antara pejalan kaki membuat Aka tercengang. Payung itu berwarna putih paling terang. Saat yang lain menutup kepala dengan tangan, gadis itu terlanjur nyaman. Benda yang melindungi tubuh tidak membuatnya khawatir akan hujan. Langkahnya sigap, meski membawa payung, satu tangannya tetap terletak di dahi, menginginkan perlindungan dua kali lipat. Dia tak sadar bahwa payung di tangan telah menjaganya dari air langit. Apakah dia seorang introvert? Berbeda dengan Aka, ia mewarisi gen orang tuanya yakni ekstrovert. Gadis itu menyeberang jalan, masih zebra cross yang sama ketika ia berhasil menariknya dari raungan klakson. Untuk pertama kali, Aka menemukan kelegaan yang mendasar dan melabeli diri bahwa ia bertemu jodoh sehidup semati. Wajah serta sorot matanya mengingatkan lelaki itu pada gadis setahun lalu. Dia bertemu lagi keesokan harinya saat Aka menjawab pertanyaan Rara melalui telepati.

Keluar dari Toko Buku Pelangi seusai hujan, Aka berlari kencang menuju jalan utama. Ralat, gerimis masih menderu kencang. Rapat dan bahkan muncul kabut. Ia mencari bis fasilitas kota dan berdiri di halte bersama para manusia berbeda usia. Lima menit berlalu, bis yang dinanti-nanti akhirnya datang. Pintu otomatis terbuka, canggih juga transportasi di sini, tak kalah dengan Jerman, pikirnya. Setelah ia membaca pesan dari senior, Aka memilih keluar dari bis dan mengambil ojek online yang berkeliaran di halte.

Ia tau dirinya telat hampir satu jam setengah belum dihitung dari kemacetan Jakarta. Hingga ketika seniornya berkata, “Lo bangun siang? Atau macet?” Seolah-olah hal semacam itu pernah terjadi di kehidupan sang senior. Aka menjawab, “Rumah saya terkena banjir, Bang.”

“Banjir? Serius lo? Nggak mungkin rumah lo kena banjir. Tampang kayak lo kalau nggak apartemen ya mansion. Berhenti buat pura-pura. Gue pernah ada di posisi lo,” ucapnya sembari melempar kliping ke dada Aka.

“Kita ada liputan ke mana, Bang?” Aka membuntuti Bang Rudi yang berjalan lebih dulu, keluar dari ruang divisi berita.

“Ke Ancol. Satu hal lagi Aka. Lo harus belajar pakai lo gue. Kuping gue sakit dengar saya-saya mulu. Paham?” Bang Rudi tetap berjalan lurus mencapai lift, sedang Aka masih mengekori seniornya tanpa amarah.

“Siap, Bang.”

Aka belum memulai debutnya sebagai presenter hari ini. Ia masih melihat cara Bang Rudi memulai cerita, berpindah ke konflik hingga mengakhiri berita. Semua dipangkas dengan gaya yang simple, to the point tanpa kalimat kiasan yang membingungkan. Gerakan bibir Bang Rudi dihafalkan Aka baik-baik. Berusaha profesional jika gilirannya. Ia tidak mengerti jika profesi presenter semenyenangkan itu dari pada berdiam diri di Jerman. Tidak ada penyesalan tertunda ketika ia ketat memilih pulang ke Indonesia. Tanah kelahiran ayahnya.

Benar kata Bang Rudi, ia tinggal di mansion. Ayah ibunya seorang pengusaha furnitur yang bekerja sama dengan melibatkan perusahaan Indonesia sebagai ajang promosi terbesar di Hamburg. Furnitur berbahan dasar arang batok kelapa atau briket yang kokoh telah memiliki sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan diakui Uni Eropa. Orang tuanya juga memiliki kemitraan dengan pengrajin Indonesia yaitu Siswono & Dewi Catur di bidang perhiasan emas dan perak. Jadi, kalau ada yang mengaku bahwa Aka seorang lelaki miskin, bahkan pemulung pun tau dari tangannya yang kekar, jika ia berlangganan member premium di gymnasium mewah dengan menyewa trainer. Hingga ia tak berkelit ketika Bang Rudi melemparnya telak dengan pernyataan spesifik.

“Gimana kehidupan lo sebelum ada di sini?” Selepas meliput berita, ia memberikan mic dan headsheat pada Aka, asistennya sementara.

“Hm… begitulah, Bang.”

“Nggak menarik?”

Aka hanya tersenyum membuat dua cuping hidunya mengembang. Selain itu Bang Rudi merespons datar dengan mengayunkan ibu jarinya, tanda untuk pergi ke tempat lain. Mereka sampai di Restoran U&ME untuk memesan makanan khas korea. Bibimbap pilihan Aka dan Bulgogi pilihan seniornya. Restoran yang berada tepat di mulut jalan membuat restoran dua langkah dari restoran U&ME memilih inovasi baru. Bahwa restoran itu menyajikan masakan nusantara setelah bangkrut melahirkan masakan Jepang yaitu Restoran Fishcake. Tentu saja di tengahnya ada toko buku bekas yang kusam dengan tembok mulai mengelupas di sana-sini. Kalau ada donasi yang membuat toko itu jadi dibedah seluruh bangunannya, Aka menjadi orang pertama yang membuat kesepakatan dengan donatur.

“Bang. Saya boleh langsung pulang dari sini?” tanya Aka di sela-sela seniornya melahap makanan dengan rakus.

“Lo kira ARTV milik nenek moyang lo?”

“Bisa jadi. Kan Abang sudah mengira saya punya mansion,” ucapnya polos.

“Eh, asal lo tau. Mau lo anak konglomerat, mau lo anak menteri, bahkan presiden. Itu gedung berdiri di tanah negeri. Lo nggak absen kehadiran emang? Lo nggak bayar pajak?” Bang Rudi mulai menunjuk-nunjuk Aka dengan sumpit.

“Siap, Bang.”

Aka hendak mengiyakan kalau dia memang anak konglomerat. Tapi lebih baik tidak diperlihatkan sisi kemewahannya, agar setara dengan senior. Selebihnya, ia hanya mengisi air sesuai dengan gelas, menyesuaikan porsi kepada siapa dia berbicara.

“Satu lagi, belajar ngomong lo gue. Kuping gue masih panas.” Bang Rudi hampir mencolokkan sumpit ke telinganya sebelum dicegah Aka dengan tangannya sendiri.

Seusai membayar dengan debit card, mereka menuju kantor ditemani supir yang tadi ikut makan bersama keduanya. Hari ini hujan akan diprediksi sedikit berawan dan kesepian. Lebih deras dari sebelumnya. Kendati begitu Aka tak mungkin menyendiri di dalam ruangan, berteman dengan AC apalagi mengganggu kedamaian lembur Bang Rudi yang bolak-balik mendengkur di meja kerja. CCTV di tempat itu tidak bekerja semestinya, mengapa manusia seperti Bang Rudi tidak ditegur atasan. Apa karena sudah mengabdi selama 20 tahun, jadi manajer membiarkan itu semua. Membuat kebanyakan orang merasa iri karena privilege tersebut.

Lihat selengkapnya