A Rainbow Missing One Color

Melia
Chapter #6

Terpesona Kenyataan

Hari ini dia flu berat, pilek yang tiada henti menetes dari cuping hidungnya yang merah. Ini semua gara-gara semalam. Ketika gembok itu dikunci rapat, sekuat tenaga Rara berusaha merusaknya. Tapi tak berhasil, hingga beberapa orang melihat dirinya dengan ekspresi sedih, dan raut wajah seolah-olah berduka paling dalam. Rara meninggalkan pemakaman dengan hati kalut. Kalau bukan karena lelaki itu, dia pasti tidak terlambat. Kalau bukan karena lelaki itu, dia pasti menyebarkan bunga tujuh rupa ke nisan ayah bunda. Rara menghela napas berat dan berjalan di gelapnya malam. Tidak berteduh untuk memeras ujung baju, ia biarkan sekujur tubuhnya terkena hujan tanpa membuka payung lipat abu-abu.

Saat membuka pintu rumah, seperti biasa lampu baru dinyalakan. Sebelumnya Rara mengusap-usap punggung tangan ke lap kering agar tidak memancing arus listrik. Makan malam hanya tersaji dengan ikan klotok, jenis ikan laut yang biasa dijual dalam bentuk ikan asin kering. Ditambah sambal kecap. Malam ini ia menikmati dengan lahap situasi sederhana yang dibuatnya. Setelah mengulum jari tangan sisa nasi yang menempel, ia membawa piringnya ke dapur. Ada ember kecil tempat piring kotor yang direndam dulu sebelum dicuci bersih. Agar kerak nasi lebih mudah dibersihkan, menurutnya.

Paginya, Rara baru membilas piring kotor tersebut. Setelahnya ia mengulangi sarapan dengan ikan klotok dan sambal merah ulekan. Rasanya nikmat ketika disajikan dengan nasi panas. Kursi sejumlah tiga biasanya juga diduduki oleh tiga orang. Kini, Rara sendirian meluangkan waktu bersama sepi.

Gadis itu siap berangkat ke Toko Buku Pelangi tanpa membawa bekal. Semoga saja penjualan hari ini meningkat, supaya Rara bisa membeli sup daging sapi di Restoran Fishcake. Namun, ketika hendak menyeberang bersama para pengguna jalan, ia terpaku dengan keuletan Aka di dua gang jauh dari tempatnya berdiri. Aka sedang bekerja. Meliput berita sebagai reporter. Entah kenapa hatinya yakin bahwa sosok itu benar Aka. Padahal jaraknya sekitar sepuluh meter. Jika Aka sibuk membawa berita dengan note di tangan, Rara sibuk membawa payung lipat abu-abunya. Sebentar. Note?

“Dia menggunakan note dariku.” Senyumnya merekah. Rara tak sadar bahwa lampu lalu lintas berwarna merah, orang-orang mulai menyeberang jalan sedang dia masih melamun di tepi. Ketika menapaki trotoar, raungan klakson memekik kasar. Rara mundur lagi selangkah untuk menyeberang giliran, menunggu lampunya berada di urutan paling atas lagi. Terlihat Aka melambai, menyempatkan diri untuk menyapa Rara. Padahal ini masih pagi dan Rara tidak mengajaknya berbicara lewat telepati. Kenapa masih nyambung juga?

“Memangnya apa yang dia liput di sana?” gumamnya pelan. Rara segera berlari mencapai Toko Buku Pelangi. Mengacak-acak tas untuk menemukan kunci, mencocokkan lubang dan membuka pintu. Rara menyalakan televisi usang dengan antena kabel yang semoga saja bukan banyak semut menghinggapi layarnya. Cepat-cepat ia menekan remot tv dan mengganti siaran demi siaran. Duduk di tengah dengan menyilangkan kakinya santai. Rara melupakan satu hal, ia belum membalikkan papan akrilik.

“Aku kan tidak tau dia bekerja di stasiun mana…” Gumamnya pelan.

“Pagi, Ra.” Diam-diam Aka menembus pintu toko begitu saja, membuat Rara menoleh keras, menimbulkan efek sakit luar biasa di leher. Ia mengaduh sebentar.

“Aka? Kok di sini?” Tunjuknya curiga. Rara mematikan televisi dengan cepat. Beruntung layarnya belum menampilkan berita apa pun.

Aka menjadi tersangka yang membalikkan papan akrilik Toko Buku Pelangi menjadi open.

“Sudah buka kan? Aku mampir aja sebentar.” Aka mulai berjalan dari satu rak ke rak lain. Mencari buku baru meski minatnya memang bukan membaca. Rara memicing namun tetap membiarkan manusia aneh itu.

“Lagi lihat acara apa? Aku baru tau kalau tv itu bisa menyala.” Satu pilihan buku telah berada di genggaman, ia hendak memilih lagi tapi lebih tertarik pada sosok gadis yang kini menyapu lantai toko.

“Oh ya. Berita hari ini kacau sekali. Ada maling nekat yang merampok toko perhiasan di gang seberang. Satu etalase penuh diambilnya tanpa ketahuan karyawan. Satu tertembak mati di dalam karena mencoba melawan. Sekarang pemiliknya dan tersangka masih di kantor polisi. Tugasku hari ini meliput berita di depan tokonya. Miris sekali kriminal di Indonesia,” jelasnya seakan-akan negara lain memiliki peluang tindak kriminal paling sedikit.

“Toko perhiasan?” Rara mulai tertarik dengan penuturan tersebut.

“Toko milik Koh Albert bukan?” tebaknya.

“Ah, ya. Namanya Albert. Kamu kenal?”

Sekilas Rara mengangguk dan terduduk lemas. Koh Albert seorang etnis Tionghoa yang dermawan dan sering membagikan makanan pada pengemis, pedagang asongan bahkan orang gila yang tersebar di jalan-jalan. Ketika ayah bunda meninggal pun, sumbangan yang diberikan Koh Albert melampaui batas. Cukup banyak hingga Rara berterima kasih dengan sujud syukur.

“Hari ini liputan pertamaku. Aku tadi melihatmu menyeberang, aku senang bukan main. Ketika kuikuti kamu sampai sini, kamu fokus memencet-mencet banyak saluran. Padahal kalau kamu tau, liputanku tadi tidak ekslusif. Masih akan disunting siang ini.”

Rara merasakan dia sedang ditebak-tebak oleh Aka. Namun lelaki ini juga bisa menyimpulkan dengan tepat. Ia jadi kikuk sendiri. Lalu dari dekat terdengar suara gemerisik merdu, anak-anak tertawa satu sama lain saling mengejek mendekat ke tokonya. Mereka menyapa Rara selayaknya kakak senior yang sudah lama kenal. Aka tersenyum dibuatnya, seperti bangga dengan pencapaian si gadis. Ia berjalan mendekat ke meja kasir.

“Ra. Nanti malam aku mau ajak kamu makan malam di restoran sebelah. Mau kan?” tanya Aka tanpa sungkan sedang lawan bicaranya terdiam kaku, mengedipkan mata berkali-kali.

“Nan… ti ma… lam?” ucapnya gagap.

Aka mengangguk, samar-samar suara anak SMA bergemuruh lagi, mendorong satu sama lain hingga menabrak rak kayu, menunjukkan bacaan novel yang klise dan berakhir di meja kasir. Sejenak mereka saling pandang. Entah momen apa yang akan mereka lihat dengan Rara dan Aka sebagai pemeran utamanya.

“Ra? Gimana?” tanya Aka sekali lagi.

“Ha?”

“Oke, nanti aku jemput jam 7 ya.” Aka melambai sekaligus mengerling pada sekumpulan bocah menengah atas yang bersuit-suit ramai. Rara melamun dengan tangan memegang pena, ujungnya berjalan liar, mencoret-coret buku rekapan kas. Ia tidak membalas sapaan Aka yang melongos pergi dari tokonya secepat kilat. Lelaki itu nampak berjalan santai meski di balik kerumunan orang berlalu-lalang.

“KAK RARA!” Teriak anak-anak dengan suara lantang. Rara lupa bahwa dia pemilik Toko Buku Pelangi yang diwajibkan fokus segala hal.

Setelah Aka keluar dari toko termasuk siswa-siswi itu, Rara termenung sendiri. Seorang lelaki hendak mengajaknya makan malam. Kencan berdua. Kata ayah dulu, jika ada seseorang yang berniat mendekat, maka lelaki itu wajib pamit. Maka hari ini Aka mempunyai keuntungan lebih dalam hal tersebut. Apakah dia harus menyeretnya ke pemakaman ayah? Tapi tidak ada bedanya. Ayah tidak akan menjawab pertanyaan lelaki itu. Maka ketika tepat jam tujuh malam dan keringat timbul berbintik-bintik di dahi, Rara tak sengaja melongok ke pintu. Keberadaan Aka yang belum muncul membuatnya gugup. Ia lalu membalik papan akrilik yang semula open menjadi closed, padahal jam tutup masih pukul sembilan. Entahlah. Di pikiran Rara, cara ini lebih efisien untuk langsung pulang ke rumah. Tepat ketika berbalik badan, ia mendengar ketukan cepat dari pintu kaca. Rara mengutuk dirinya, ia ketahuan telah menunggu seseorang. Rasanya ingin menghilang dengan bantuan mesin waktu di tahun ketika dirinya balita atau tidak lahir sekali pun. Beruntung, Rara telah mengunci pintunya dari dalam. Jika tidak, ia akan tetap menunggunya seperti orang gila.

“Jangan menoleh, Ra! Jangan menoleh!” Ia berjalan cepat menjauh dari pintu. Bahkan gadis itu mulai menutup telinga jika sewaktu-waktu teriakan Aka menembus ke dalam toko. Ketukan demi ketukan tetap terdengar, dan Rara membiarkannya dengan menata rak buku. Sayang sekali, saat ia menatap cermin di dinding dan menampilkan seorang perempuan, Rara terkejut sampai melompat.

“Bu Erina?”

Tangan beliau melambai sedang tangan lainnya menggedor-gedor pintu. Rara sigap mempersilakan masuk dan melayangkan permintaan maaf setiap saat.

“Kau ini benar-benar tidak mendengarku atau tuli?” ucapnya geram lantas berjalan ke kursi kayu meletakkan tas rotan secara kasar.

“Maaf, Bu. Saya tadi mendengarkan musik kencang-kencang dari ponsel. Jadi tidak tau kalau ibu di depan.” Rara meringis sedang ibu itu mulai berkacak pinggang.

“Kau ini! Lagi pula kenapa masih sore sudah tutup? Apakah kau mau kencan?” tanyanya ganti. Gelengan kepala Rara membuat Bu Erina memicing.

“Kalau kau ingin kencan buta, silakan saja, Nak. Sebentar lagi aku akan dijemput kekasihku. Tapi jangan sampai larut malam ya, kau gadis yang baik.”

Tatapan itu mengingatkan Rara pada bunda. Belaian tulus yang selalu diantarkan ketika ia berangkat sekolah, mengaji dan juga main bersama teman. Katanya, hati-hati sampai tujuan. Bawa niat kebaikan yang bisa disalurkan pada mereka yang melindungimu. Namun sekarang tidak ada lagi kelembutan itu.

“Boleh aku memelukmu, Ra? Sejak dulu aku ingin sekali memiliki anak perempuan. Bahkan anakku sendiri entah apa yang ada di otaknya itu, sampai sekarang belum menikah.” Pintanya dengan tetap memarahi Rara sebagai pelampiasan. Perlahan, Rara mengangguk. Bulir bening telah berada di pelupuk, siap untuk dijatuhkan seperti bom atom. Ada perasaan senang yang tak terukir dari dekapan beliau. Tapi, ini membuatnya tenang sebelum sang suami ganti menggedor-gedor pintu.

My dear…” panggil Alexander.

“Oh, ada apa ini? Apakah aku mengganggu kemesraan kalian?” Sapa si suami yang kini memegang pundak istrinya.

“Ya, kau sangat mengganggu kita berdua. Biar kulepas dulu pelukan ini.” Sekarang pipi Rara didekap erat oleh Bu Erina. Rara mengusap sisa air mata yang menjelajahi sela-sela jari beliau. Ia malu telah tertangkap basah karena menangis.

“Apa yang membuatmu sedih, hm?” tanya beliau prihatin. Karena Alexander tak ingin dicap sebagai pembuat onar, maka ia izin lebih awal, “My dear… aku menunggumu di mobil.” Tentu saja meletakkan telapak di pundaknya sesaat sebelum pergi.

“Saya kangen bunda, Bu.”

Perempuan paruh baya itu mengenali bagaimana hancurnya hati gadis muda di hadapan. Itu pernah terjadi ketika ibunya sendiri sakit paru-paru dan tak kunjung tertolong. Rasanya, hati menjadi hampa karena ekonomi terbatas di tahun lampau.

“Hm, begini saja. Kalau ada waktu luang, pekan depan bagaimana kita keluar ke mal? Ya mengobati rindu saja. Saya rindu karena tidak mendapat anak perempuan sedangkan kamu rindu dengan bundamu. Bagaimana?” tawarnya jelas.

“Hanya berdua,” tambah Bu Erina.

Lihat selengkapnya