A Rainbow Missing One Color

Melia
Chapter #7

Fakta Pertama

Aka menatap makam Alamanda, mantan kekasihnya yang sama-sama pernah berkuliah S2 di Jerman. Aka tidak berjongkok untuk membelai tulisan di nisan. Juga tidak mencabut rumput liar di sekitar gundukan. Bahkan ia membiarkan dirinya tertimpa hujan lagi. Pasrah. Namun dia malah menemukan seseorang yang mirip secara fisik dan rupa seperti Alamanda. Bahkan keduanya sama-sama menderita buta warna parsial. Merah dan hijau yang terlihat asing bagi mereka. Tetapi kesempatan telah dulu dirasakan Alamanda sebelum pergi, sedangkan gadis yang dengannya sekarang belum mengetahui keaslian warnanya. Benar, materi yang menjadi pembeda.

“Manda, aku tidak pernah meninggalkanmu sejak dulu.”

“Bahkan ketika kamu keluar dari kamar bersama Reza, aku tetap menunggu. Sampai hari ini.”

“Berharap kamu kembali. Dan ya, kamu memang kembali dalam wujud orang lain.”

Sang juru kunci berdiri di depan pagar melihat laki-laki bujang dan perempuan perawan menyibukkan diri bersama nisan di depannya. Jika yang satu berdiri sambil komat-kamit dan tangan dimasukkan ke saku celana, yang satunya tengah memangkas rumput liar dengan arit. Entah darimana ia mendapatkan arit, padahal sejak masuk, gadis itu tak nampak membawa pisau bergagang melengkung.

Rara meletakkan payung dengan sembarangan dan terbuka, hampir terbalik. Ia fokus mengarit rumput-rumput liar dan mengumpulkannya jadi satu di sak untuk dibawa pulang.

“Semoga aku besok nggak flu lagi,” gumamnya pelan. Rembulan yang menjadi sinar dan saksi kebisuan, tidak membuat Rara mencari keberadaan Aka. Sebaliknya, lelaki itu mendatangi Rara dan menyuruhnya berdiri namun dia enggan. Lama sekali supaya dia tau bahwa keduanya sekarang tanpa atap, membiarkan air dari langit menembus pakaian hingga basah kuyup. Aka mengambil payung yang tergeletak di tanah dan ganti melindungi Rara. Gadis itu sudah cukup menggigil kedinginan.

Sekali lagi Aka berteriak padanya untuk bertukar tempat. Biar Rara yang membawa payung dan Aka mengarit rumput. Bahkan suaranya diabaikan. Aka membuang payung itu dan mencabut rumput tanpa alat, membiarkan kelima jari tangannya tercabik-cabik tusukan duri liar. Rara menoleh, merasa bersalah. Ia menyerahkan arit pada Aka, namun diacuhkan.

“Aka, pakailah ini. Jangan begitu, nanti tanganmu berdarah,” ujarnya. Aka diam saja. Rara marah. Aka seolah membenci siapa pun di dekatnya. Benar saja, tangannya tergores duri yang tersembunyi di balik celah daun, membelah kulit kecokelatan Aka. Bahkan ada yang mengalir darah begitu segar. Rara menarik pergelangan tangan Aka sambil memekik.

“Aka!”

“Berhenti!”

Rara sudah menangis kala itu. Bercampur dengan hujan yang semakin lebat. Bahkan ia tak tau air matanya telah berbaur dengan jenis rintikan seperti apa. Sudah dua hari Rara tidak membersihkan nisan ayah bunda hingga rumput berkembang tak beraturan, sorong ke kanan dan kiri, menjulang bahkan di gundukan ada bekas jejak sepatu besar. Mungkin peziarah tidak melihat ada kuburan di sana dan hal itu membuatnya sedih. Rara membuang arit sembarangan lantas berdiri. Melamun sampai Aka mendongak untuk melihat apa yang akan dilakukannya.

“Ra?”

Tatapan Rara kosong. Ia seperti orang kesurupan. Jika benar, Aka takut tidak bisa menghadapi. Lelaki itu mengguncang tubuhnya pelan. “Ra. Sadar…”

Mata mereka bertemu, ada permintaan penuh yang ia kirim melalui telepati. Tapi Aka tidak mengerti apa yang dikehendakinya. “Kamu boleh bicara, Ra. Kita hanya berdua di sini.” Aka sedikit membungkuk agar sejajar dengan wajah gadis itu.

“Rara. Kalau kamu diam begini aku justru bingung. Kamu mau apa?” ucapnya pelan. Aka mengusap wajahnya dengan telapak tangan, meninggalkan guratan darah di kening dan menghilang terkena guyuran hujan. Rara menunduk, ia menangis. Di tengah tangisannya, gadis itu mencoba bicara.

“Aku mau menyusul ayah bunda saja. Aku nggak mau hidup sendiri.” Pundaknya berguncang hebat, Aka berkaca-kaca dan memeluk raga gadis itu. Mereka saling memahami meski gelapnya malam membuat sosok keduanya tak terlihat. Juru kunci yang mengamati momen tersebut, memutuskan pulang tak lama kemudian. Mengambil jalan keluar untuk tidak mengganggu.

“Sudahlah. Untuk hari ini tidak akan kugembok pagarnya.”

Langkah kaki saksi dari sejoli itu sungguh gamang. Ragu-ragu apakah ingin kembali dan mengusirnya atau membiarkan kali ini. Namun perjalanan itu berubah menjadi bayang-bayang hitam, digantikan oleh sepasang calon kekasih yang berpelukan di antara banyaknya nisan.

Aka mengantar Rara pulang dengan berjalan kaki. Sebelumnya ia telah menghubungi si supir yang betah menunggu di halte. Ia meminta maaf dan memberikan tip lebih. Rara tak ingin menaiki mobil siapa pun meski Aka menawarinya terus-terusan. Dengan kondisi basah kuyup, ia tak mau membuat mobil seseorang jadi kotor. Rara juga tak menjawab meski Aka bolak-balik memberi rentetan pertanyaan. Tibalah mereka di depan rumah kecil yang gelap, lokasinya cukup jauh dari keramaian jalan raya. Pantas saja Rara selalu membawa tempat makan, itu ketika Aka melihat tumpukan rantang di bawah meja kasir. Jadi, daripada bolak-balik pulang, bekal menjadi solusi terbaik. Rumahnya sederhana, banyak kucing berkeliaran mencari makan. Kalau sudah begitu, dia akan mengambil ikan asin di dapur untuk diberikan pada kucing. Aka hanya memperhatikan dari dekat. “Kamu seperti mamaku yang selalu merawat kucing jalanan.”

“Bagus dong,” ujar Rara singkat.

“Iya aku tau. Hanya saja beliau nggak ingin mengadopsi kucing. Takut sedih jika nanti ada yang mati.” Lelaki itu bersedekap tangan. Ujung bajunya mulai menetes, merembes ke tanah.

“Mamamu sedang mengajarkan proses kehidupan yang bermanfaat bagi makhluk hidup. Bersyukurlah atas hidupmu, Aka. Dengan pekerjaanmu sekarang, kamu bahkan bisa membeli makanan kucing selama setahun penuh.” Rara berjongkok dan mengusap-usap kepala kucing satu persatu.

“Memangnya apa pekerjaanku?”

“Reporter kan?” Ragu-ragu Rara mendongak. Jarinya dijilat-jilat kucing, meminta makan lagi saat badannya mulai merambat ke kaki Rara. Aka mengangguk pasti.

“Ya, aku reporter ARTV.”

“Tadi pagi kamu sedang mencari liputanku di televisi kan? Aku membacakan berita di stasiun ARTV.”

Rara melotot tajam, ketahuan sekali bahwasanya dia mengubek-ubek chanel tv tempat lelaki itu bekerja. Ia memang hendak melihat Aka dari layar, tapi semut-semut kecil menaungi seluruh permukaan alat elektronik itu. Ternyata momen pagi tadi diketahui Aka. Rara meringis dibuatnya.

“Ah… oh. Bukan. Anu. Puss… puss…” Rara mengalihkan fokus dengan sibuk sendiri. Tak ayal, kucing lain malah berdatangan dari selokan-selokan, gang kecil, termasuk melompat dari atap. Para kucing bukannya tertarik dengan Rara malah mendatangi Aka, seakan-akan ia mengganggu kehidupan gadis itu tanpa izin. Membuat nyawa tuannya terancam jika Aka berani mendekat.

“Aduh. Aduh. Ra, tolong!” Aka melompat-lompat ketakutan, ia berdiri di belakang Rara memegang pundaknya. Tangannya mengusir-usir lembut, berharap segera hilang dari sepatunya yang kini sedang dijilat-jilat.

“Aka! Aduh jangan teriak deh. Cuma kucing doang kok nggak berani sih. Payah!” Rara berlari menghindar, membuatnya takut sendiri. Tapi kucing itu malah mengeong panjang, lebih berat dan terus-terusan. Aka mundur selangkah, lalu dua langkah kemudian berlari tunggang langgang meninggalkan Rara.

“RARA! AKU PULANG!!” Teriaknya terbirit-birit. Rara tak bisa tertawa banyak, ia menyerah sambil memegang perutnya yang sakit antara terbahak-bahak atau memang lapar lagi. Padahal hari itu ia sehabis makan malam dengan Aka. Gadis itu berdoa supaya Aka selamat tanpa gangguan kucing lagi.

Lihat selengkapnya