A Rainbow Missing One Color

Melia
Chapter #8

Fakta Kedua

Rara menerima sesuatu berupa bingkisan yang diikat rapi. Tentu saja untuknya. Melalui tangan seorang manusia asing yang menjadi perantara. Ia tersenyum ketika si driver membacakan note tertulis di aplikasi ponsel.

“Selamat makan, Rara. Harus habis ya. Dari Akarilalang Sanjaya. Nomorku 083405923283, tolong kabari aku jika makanannya sudah di tanganmu.” Begitu kata si driver saat membaca ulang tiga kali sesuai permintaan Rara. Dia tidak salah dengar, memang Aka yang sengaja mengirimkan makanan itu.

“Bapak sudah berapa lama menunggu di sini?” Ia buru-buru menerima satu kantong paperbag yang isinya terlihat penuh dan menyembul.

“Sekitar sejam yang lalu, Mbak. Tapi si pengirim mau kasih tip banyak-banyak buat saya sampai mbak datang,” jelas driver yakin.

Rara menghela napas panjang, bersandar pada pintu toko. Ia memang datang terlambat dan kebetulan belum sarapan. Jadi, ketika ada kurir makanan tengah menunggunya, Rara benar-benar dibuat shock bukan main. Uang dari mana untuk mengganti jika ada paket kesasar dan tokonya menjadi alat percobaan orang asing, namun ketika si driver membacakan siapa pengirimnya, barulah gadis itu bisa tenang.

“Aka…” Ia terpejam sembari merogoh kunci dari balik tas.

“Ya sudah, Pak. Ini saya terima ya. Terima kasih banyak dan maaf membuat bapak kepanasan.” Rara sedikit menunduk untuk mewakili ketidaksopanan Aka.

“Ah, tidak papa, Mbak. Itu namanya sayang sama pacar lho. Saya sudah sering mengantar paket makanan, bunga, cokelat dan lain-lain.” Jarinya seakan menghitung berapa kali mengirim pesanan yang sama.

“Oke-oke, Pak. Mohon maaf ya,” ucap Rara setelah berada di dalam toko dan menahan pintunya.

Dua bubur ayam, satu batagor khas Bandung, dua ayam goreng dan ikan bandeng asap. Rara berkedip beberapa kali, ada banyak menu yang dibawakan Aka. Rara melupakan satu hal, ia berlari ke pintu dan membalikkan papan akrilik menjadi open. Dia mengetik pesan, menekan tombol send. Hingga sampai jam dinding menunjukkan pukul lima sore, belum ada jawaban dari lawan jenis. Jadi, semua makanan itu tersisa masing-masing satu. Entah mengapa Aka memesankan dirinya 2 bungkus setiap menu. Saat itu, Rara hanya menyimpulkan bahwa Aka akan datang ke toko dan melahap habis semuanya seperti pizza waktu itu. Namun hingga pukul delapan malam, ia belum datang juga. Sudah banyak pengunjung yang lalu lalang dan tidak muncul sosoknya. Hingga ia menerima pesan dari nomor yang belum disimpan.

Makan saja semuanya, Ra. Maaf jika hari ini adalah pertama kalinya aku nggak bisa mengunjungimu. Aku ada urusan. Good night, Rara. Take care.

Apa maksudnya dia mengirimkan kalimat seperti itu. Seakan-akan dia takkan mengunjungi Toko Buku Pelangi selamanya. Perasaan takut dan kalut menjadi satu, semacam mengulang kehilangan orang tuanya lagi dan lagi. Jadi, Rara mengetik pesan sembari bibirnya bergerak, “Apakah kamu ada liputan malam ini? Kalau boleh tau di mana?”

Tetapi enggan, Rara menghapusnya lagi. Tidak membalas pesan itu. Padahal besok tokonya akan tutup. Jadi, Aka takkan bisa datang ke sini. Entah apa Rara harus memberitahu perihal kepergiannya atau membiarkannya. Jadi, hari ini ia memutuskan untuk tutup lebih awal saja dan membawa semua makanan pulang ke rumah. Gadis itu berjalan pelan hingga belok ke tikungan, menghilang meninggalkan jejak kaki yang mungkin saja tergantikan kotoran tikus dan kucing.

Hampir setengah jam keberadaannya tidak diharapkan, Aka muncul dengan keringat dingin di depan Toko Buku Pelangi. Ia menggedor-gedor pintunya hingga berguncang hebat. Kebetulan pelayan Restoran U&ME yang hendak membuang sampah, melihat keagresifan Aka lalu menegurnya, “Mas, sudah closed tokonya.” Tunjuk pelayan dengan kantong masih menempel di tangan.

Aka baru sadar jika papan akrilik berubah arti, biasanya Rara pulang jam sembilan tepat sedangkan ini masih jam setengah sembilan. Ada apa dengan gadis itu? Mengapa ia menutup tokonya lebih cepat? “Oke, makasih,” ujarnya seperti orang linglung. Dagu si pelayan bergerak naik lantas meninggalkan Aka yang mulai duduk di emperan. Ia memberi kode pada supir agar pergi dari kawasan itu.

Aka menyusuri gang demi gang sembari mengingat warna cat rumah Rara. Langkahnya terhenti saat menemui banyak kucing di salah satu rumah. Ia menemukan rumah Rara. Peluhnya bercucuran, napasnya naik turun tak tentu arah, namun Aka tetap mengetuk keras pintu rumah yang kayunya lapuk hingga bunyinya tak nyaring lagi. Rintihan demi rintihan untuk memanggil nama Rara tetap berdengung hingga tangan seseorang melewati pergelangan Aka. Lelaki itu telah berjongkok lantas mendongak menatap Rara. Ia seperti anak kecil yang hendak mengadu pada induknya. Lirihan kalimat itu tersambung, “Dia masih hidup, Ra.”

Rara kebingungan bukan karena apa yang dikatakan Aka, namun sikapnya yang merayu Rara agar mendekat. Laki-laki itu menangis. Di hadapannya, Aka menangis. Rara refleks mengelus pundaknya pelan sampai tak terdengar lagi isak tangis. Di situlah untuk pertama kalinya, Rara menerima tamu kembali. Mengajaknya melewati ruang tamu yang temaram. Memberinya air putih untuk disajikan di atas meja. Aka sudah membaik tentu saja, bahkan dia berani-beraninya memandang sekeliling setiap sudut rumahnya. Rara jadi berkacak pinggang.

“Lihat apa? Rumahku emang buruk. Jadi, kalau kamu datang ke sini hanya untuk mengatai rumahku, silakan keluar!” Rara menarik kursi cukup jauh dari tempat Aka duduk. Sayangnya lelaki itu tak menanggapi, matanya mengarah pada makanan yang masih utuh, seperti tak terjamah yang terletak di dapur. Dapur terbuka yang bisa dilihat siapa pun ketika membuka pintu utama.

“Bubur ayam, ikan asap sama ayam goreng yang kubelikan tadi belum habis, Ra?” Aka berdiri hendak mengambil makanan-makanan tersebut. Rara melotot, ia berjalan lebih dulu melewati Aka. “Mau apa kamu?” Rara jadi agresif ketika berada di rumah sendiri, terlebih sudah malam. Gadis itu hanya takut Aka berbuat macam-macam padanya.

“Aku boleh makan kan? Kulihat, semua makanan yang aku kirim pagi tadi belum kamu pegang.” Aka menggeser tubuh Rara sopan dan berjalan mengambil makanan yang dimaksud. Rara melongok, Aka dengan kedua tangannya sigap membawa piring dan juga gelas dari dapur ke ruang tengah. Lelaki itu benar-benar makan sangat lahap, Rara jadi sungkan mengganggunya.

“Bocah ini…” gerutunya sambil memalingkan muka. Aka meletakkan sendok, ia ganti menatap Rara yang sekarang memeluk kedua kaki.

“Kenapa tokomu tutup lebih awal? Padahal belum jam sembilan.”

Rara mengedikkan bahu sebentar, “Ya… karena nggak ada lagi pelanggan datang. Aku mengantuk, jadi aku pulang saja.”

“Bukan karena baru mendapat pesanku? Kamu juga nggak terlihat mengantuk,” ucapnya tersenyum simpul.

Lihat selengkapnya