A Rainbow Missing One Color

Melia
Chapter #9

Fakta Ketiga

Hari ini Aka ditugaskan untuk membaca rubrik dan menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan pada perjalanan dinas besok. Hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-78. Serentak diliburkan secara massal kecuali restoran, mal, toko buku dan... Ah ya! Toko Buku Pelangi milik Rara. Setelah ia mengirim pesan pada gadis itu, Aka dihadapkan pada kenyataan pekerjaan yang membuatnya lembur. Bang Rudi sudah bersepakat agar Aka tak ke mana-mana dulu. Meski begitu, ia tetap bandel. Tepat pukul 11.50 ia sudah menghilang dengan taksi online ketika Bang Rudi pamit ke toilet sebentar. Perutnya mulas tanpa ampun setelah makan batagor dengan banyak sambal. Aka membawa beberapa rubik untuk dibacanya saat perjalanan menuju Restoran Fishcake. Lokasi di mana dia akan bertemu seorang gadis yang sudah lama menghilang setahun lalu.

Aka terlambat lima belas menit meski jalanan lengang luar biasa. Aka sengaja tidak membalas nomor itu kemarin malam. Namun ia tetap datang sesuai janji dan lokasi yang diberikan. Dan di sinilah lelaki itu, ragu-ragu membuka pintu Restoran Fishcake yang berakhir dengan gerombolan ibu-ibu berebut masuk. Tangan Aka jadi terjepit kaku, ia mundur beberapa langkah supaya tidak terseret ke dalam. Sekitar dua puluh detik barulah keadaan tenang kembali. Pesan Bang Rudi membuatnya bergidik, ia sudah tau akan begini akhirnya. Maka Aka hanya membalas 'oke'.

Aka mengedarkan pandangan, bau aroma masakan nusantara memenuhi lubang hidung. Sejumput kemudian, ia mencari sosok gadis bernama Alamanda. Ada yang menarik perhatiannya. Di ujung jendela bersebelahan dengan pintu masuk tempatnya dua hari lalu saat bersama Rara, sosok yang sangat ia kenal telah duduk di sana, memelototinya tajam. Aka merubah air mukanya sedatar mungkin. Matanya melebar sembari jalan menghampiri. Aka sungguh geram tak tertahan. Jadi, ia duduk di depan Reza dengan tenang.

"Apa kabar, Ka?" Reza mengulurkan tangan.

Aka tidak menjawab dan tidak menjabat, ia beralih melihat kaca jendela yang berlalu lalang manusia membawa kantong plastik.

"Kenapa bukan Manda yang di sini?" ucapnya bodoh.

"Gimana? Manda? Apa kamu belum pergi ke kuburannya, Akarilalang?" tawanya sinis dengan menyerahkan segelas air lemon ke sisi Aka.

"Kalau Manda belum mati, kenapa dua pegawai kemarin memberi pernyataan bahwa dia akan ke tempat itu satu jam lagi?"

"Hahaha. Aku hanya mempermainkanmu. Dua pegawai itu memang tau siapa Manda, tapi mereka tidak tau jika Manda telah mati." Ia menyeruput santai es cokelat dengan taburan roti di atasnya.

"Sekaligus pesan busuk itu?"

"Hahahaha." Reza menggoyangkan jari beberapa kali, seolah cemoohan itu lebih baik daripada dibicarakan.

"Brengsek!" Umpat Aka pelan.

Satu pesan pendek muncul di notifikasi ponsel Aka.

Aka. Aku gagal. Tidak seharusnya aku mengikuti tes kedokteran itu.

Lelaki itu menunduk, merayakan kekalahan yang sedang ditulis gadis di seberang dan momen itu diketahui Reza, seakan-akan ia menyerah di hadapannya. Aka ingin sekali membalas pesan tersebut namun cekikikan Reza membuatnya tersinggung.

"Apakah kau ingin mendengar sebuah rahasia, Ka?"

"Ini tentang Alamanda. Mantan kekasihmu dulu," lanjutnya dengan memberi penekanan pada kata mantan dan tersenyum palsu.

"Katakan apa yang ingin kau katakan. Waktumu sisa lima belas menit." Ia bersedekap tangan. Sejujurnya bukan romansa manis yang ingin Aka dengar seperti yang dipamerkan Reza sekarang. Tapi lebih kepada, kenapa semua lukisan yang ia serahkan ke Alamanda dijual di pameran dengan harga di bawah standar. Seperti lukisan seorang gadis yang membawa bunga amarilis merah dibandrol dengan harga lima juta rupiah. Padahal lukisan itu sangat spesial untuknya dan bernilai lebih dari itu. Sebelum ia berdiri, satu pesan dari supir membuatnya tertolong dari basa-basi Reza. Di sanalah momen Rara melihat Aka bersama seorang lelaki. Gadis itu akhirnya pergi ke Toko Buku Pelangi dan menunggu pelanggan seperti biasa.

"Omong kosongmu hari ini tidak berguna apa-apa." Aka sudah berbalik badan, namun sepatah kalimat itu membiusnya sesaat, "Manda sakit setelah hari itu. Dia meninggal ketika pulang ke apartemennya. Dia terkena Pneumonia Aspirasi, infeksi paru-paru akibat asam lambung naik ke tenggorokan dan terhirup ke dalam paru-paru." Reza menghela napas panjang.

Aka mundur selangkah dan memutar badannya, "Dia sakit setelah kalian tidur berdua bukan? Setelah momen itu, aku tidak menjalin hubungan dengan Manda."

"Harusnya kau tau, Manda punya penyakit dengan lambungnya. Dia mati karenamu!"

"Jangan bicara sembarangan! Dia mati bukan karenaku!" Aka menarik kerah baju Reza dan melayangkan satu pukulan. Gelas-gelas di meja jatuh terbanting ke lantai, membuat pengunjung berteriak dan anak kecil menangis keras.

"Dia merengek padaku, mengapa bukan kau yang mengingatkannya minum obat seperti biasa. Aku hanya patung di apartemennya, bodoh!"

"Kamu yang membuatnya mati, Akarilalang Sanjaya!" Teriak Reza keras-keras.

"BANGSAT!" Aka sudah hilang kesabaran.

Para pegawai restoran tidak berhasil melerainya, mereka hanya bisa menyeret kedua lelaki itu pergi dari sana. Membuatnya dilempar kasar di tepi jalan. Sang supir yang melihat tuannya babak belur segera menghampiri. Keadaan sudah kacau balau, meski tidak ada pertempuran selanjutnya Reza masih memancing lawan bicara.

"Ketika aku tau kau pergi ke Indonesia, aku memikirkan satu rencana. Membuat pameran di Taman Menteng dan bodohnya lagi kau cepat masuk perangkap. Semua lukisan itu memang milikmu yang telah disamarkan oleh dua pegawaiku. Ketika mereka bertanya, kenapa. Aku menyuruhnya tutup mulut. Mereka bahkan tidak tau bahwa semalam, si pemilik aslinya mendatangi booth Stage of Hopelessness." Senyum yang licik itu diperlihatkan Reza di akhir kalimat.

Mereka berjarak tiga meter, saling berdiri menahan amarah. Kubu tangan Aka memutih. Sang supir yang merasakan tuannya akan bertindak nekat lagi, menekan dadanya erat-erat, "Waktu kita sudah habis, Mas."

Aka berjalan lenggang ke mobil, ia melirik Toko Buku Pelangi sejenak. Nampak Rara sedang sibuk dengan beberapa customer. Syukur, dia tidak mendengar keributan restoran di sisi tokonya. Ketika sang supir membukakan pintu untuk Aka. Reza berucap sepatah kalimat lagi.

"Sampai jumpa Pak Reporter!"

Aka menoleh keras, Reza berjalan melewatinya dengan senyum samar. Ia telah menjelajahi kehidupan Aka sampai hari itu dan merasakan ketegangan jika Reza akan mengetahui sosok gadis yang didekatinya. Aka hendak menyapa sebentar ke Toko Buku Pelangi namun dering telepon dari Bang Rudi menderu kencang.

"Pak, kita ke kantor sekarang."

Di gedung ARTV, Bang Rudi menduduki meja kerja Aka dengan berkacak pinggang. Meneliti setiap bagian wajahnya yang memar dan darah terlihat mengering di pelipis. Seniornya menoyor pelan kepala Aka, "Sejujurnya, lo dari mana aja sih?"

"Saya kan cuma telat lima menit doang, Bang."

"Gue nggak mempermasalahkan lo datang telat. Tapi kalau lo ke kantor dengan muka babak belur gini, gimana reaksi pemirsa ketika lo siaran besok?"

Aka masih diam saja, ia memutar-mutar ponselnya, menampilkan sebuah rekaman baru paling atas. Tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu, jika Aka sudah mengetahui rahasia lama Rara. Tak ada salahnya jika Rara mengetahui rahasia Aka juga. Bang Rudi yang dihiraukan menekan erat pelipis juniornya. Tak ayal, Aka mengaduh keras, refleks Bang Rudi menampar pelan pipinya. Aka jadi serba salah di hadapan beliau.

"Selesaikan segera luka lo itu! Gue nggak mau dipanggil atasan gara-gara mempekerjakan karyawan berandal!"

"Siap, Bang."

Aka mengeluarkan rubrik dari tas dan membaca ulang, memberi highlight warna kuning. Serta merta mencetak yang lebih ringkas untuk pembelajaran di rumah. Ia mengutak-atik file komputer dan menemukan sebuah video hasil liputan behind the scene. Ketika diputar, seorang pemuda mirip Bang Rudi nampak berdiri tegap meski atasan memarahinya mati-matian. Headshet itu terdengar jelas, makian dan hinaan menjadi kata pengantar saat ia selesai live report.

Aka menoleh kepada seniornya, Bang Rudi sedang bolak-balik dari ruangan atasan ke mejanya sendiri. Entah apa yang dibicarakan, tapi selama bekerja dua Minggu ini ia tidak satu pun mendengar kata-kata kotor yang muncul dari mulut Bang Rudi. Ia tidak balas dendam kepada juniornya.

Aka akan berbuat yang terbaik untuk liputan esok dan mengesampingkan semua urusan pribadinya. Sepulang bekerja, ia menyeka bekas luka dengan air hangat. Berharap luka ini tak berbekas sampai Aka menyelesaikan tugasnya dari awal hingga akhir.

...

Pagi ini, jalan raya sangat sepi. Rara bahkan menyeberang tanpa menunggu lampu lalu lintas berada di urutan paling atas. Berlari dengan membawa rantang kecil di tangan lalu merogoh sesuatu. Bendera merah putih pasti sudah dikibarkan di lapangan-lapangan, rumah-rumah, kantor bahkan transportasi umum. Seperti ketika bis fasilitas Jakarta melewati tokonya, bendera merah putih nampak tertempel jelas di atas tulisan bis kota. Rara tersenyum mengetahui keakraban negaranya menyambut kemerdekaan Indonesia.

Lihat selengkapnya