A Rainbow Missing One Color

Melia
Chapter #10

Fakta Keempat

Mobil menjemput Rara di depan Toko Buku Pelangi dan Bu Erina keluar menyambut Rara yang berdandan cantik nan rapi. Beliau menyuruhnya masuk dan mengobrol lebih seru. Selain lusa, nyatanya hari itu tokonya tutup juga. Jadi, ia siap siaga menempel sebuah memo di depan pintu kaca jika dua hari ini ada urusan mendadak yang membuat Toko Buku Pelangi tutup sementara. Rara juga belum menginformasikan perihal ini pada Aka. Jadi, dia mengirim pesan pendek agar tak bersusah payah berlari mencarinya.

Bu Erina memang orang kaya. Tepatnya kaum berada yang memiliki adab dan integritas tinggi. Satu lagi, sopan santun yang jarang dipertunjukkan orang tua terhadap orang muda. Berkali-kali ia mencubit pipi Rara gemas, memujinya dengan gadis cantik.

"Kamu sangat cocok dengan putraku, Ra. Kapan-kapan akan kupertemukan kalian berdua. Oke?" Dalam kondisi tersebut, anggukan kepala sudah memuaskan pertanyaan Bu Erina. Rara akan sangat kurang ajar jika dia menggeleng.

"Kita akan pergi ke mana, Bu?" tanyanya penasaran.

"Ah, ya. Aku kelupaan. Hari ini tidak papa kan jika sampai malam? Atau kau keberatan?" Beliau bernegosiasi agar mencapai kesepakatan.

"Oh, tidak papa, Bu. Saya terserah ibu saja."

"Oke kalau gitu. Hari ini, kita akan pergi ke Restoran Gongs lalu mampir ke pusat perbelanjaan untuk manicure pedicure, belanja baju, sepatu dan banyak hal jika saya mau." Tangannya melambung tinggi, senyumnya sumringah hingga Rara tertular positive vibes tersebut.

Restoran Gongs adalah restoran yang menyajikan masakan Cina dan Bu Erina memesan banyak menu seperti Suckling Pig with Shrimp Paste, Mapo Tofu, Shark Fin Soup dan Lindung Cah Fumak. Rara bebas bisa ambil yang mana saja, selain itu ia lama tidak memanjakan lidahnya. Untuk minuman beliau memesan masing-masing teh krisan dan air putih. Sepatah kata yang diucapkan Rara, lama-kelamaan berubah jadi kalimat panjang. Ia mulai bercerita tentang bagaimana orang tuanya meninggal, kegagalannya mengikuti tes kedokteran serta alasan utamanya. Ia juga memberikan kabar baik bahwa Toko Buku Pelangi akan direnovasi besok. Jadi, Rara bercerita sedikit mengenai seseorang yang membantunya tanpa menyebut nama.

"Wah, baik sekali pemuda itu. Pasti kau tidak mau kujodohkan dengan putraku kalau begitu." Beliau nampak menunduk, memainkan mimik muka melankolis.

"Hehehe, tidak seperti itu maksudnya, Bu."

"Ya, ya, ya. Aku sudah tau akan seperti ini maksudnya. Tapi, dicoba-coba aja dulu. Jangan terlalu berharap dengan seseorang yang belum pasti. Nah, kalau dengan putraku, dijamin pasti."

Rara hanya meringis kecil.

Setelah hampir dua jam berkutat dengan menu-menu yang belum disentuh lidah Rara, mereka melanjutkan perjalanan ke salah satu mal terkenal di Jakarta. Beliau mencarikan sebuah dress yang cocok di badan Rara. Gadis itu bolak-balik keluar fitting room dan mengambil dress polos berwarna merah muda dengan renda di lengan kanan kirinya. Bu Erina juga membelikan heels dengan merk terkenal yang terpajang di etalase depan. Katanya, barang itu keluaran terbaru. Jadi, beliau takkan keberatan jika membelikannya untuk Rara.

“Kalau duniamu akhir-akhir ini berubah. Diam saja, semesta sedang memberimu kejutan, Ra.”

Rara tertegun dengan kalimat barusan.

Memang benar, kedatangan beliau dan Pak Alexander membawanya keberuntungan termasuk Akarilalang Sanjaya. Ah, pria itu berhasil meluluhlantakkan hati Rara. Dia menjawab oke dan akan datang ke rumahnya jika Rara sudah pulang. Rezeki tidak pernah salah memilih orang. Mungkin sudah waktunya Tuhan memberi kesempatan pada Rara untuk terbuka pada orang lain, terlebih yang datang bukan sembarang orang.

Mereka tiba di Every Glow Pacific Place Jakarta, salon kecantikan yang melengkapi kebutuhan wanita. Mulai dari spa, perawatan kulit, kesehatan, vitamin bahkan perawatan rambut juga tersedia. Rara mengedarkan pandang pada interior bernuansa biru muda, warna yang kalem dan memanjakan mata. Ia hampir tertabrak kaca jika Bu Erina tidak menghadang tangannya, membuat Rara sadar.

"Ayo, Ra. Kita bersihkan badanmu. Dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kita atur pertemuannya Minggu depan, mau?"

Di ruang tunggu, berita itu benar-benar mengagetkan untuknya. Jika memang pertemuannya masih Minggu depan, mengapa ia harus berbenah diri mulai hari ini? Dijamin, wewangian di tubuh Rara akan menghilang, bahkan ketika ia ikut mengangkat batu-bata untuk renovasi toko, pasti ketiaknya akan berkeringat dan berbau. Diam-diam Rara mendengus lengan bajunya. "Jangan pusingkan hal yang aneh-aneh. Sudahlah, nanti kau akan membawa satu paket skincare dan bodycare dariku."

Rara mengangguk, beliau telah mengusir ketidaktenangan hatinya dari pikiran-pikiran yang belum terjadi. Sekarang otaknya malah khawatir tentang Aka, apakah ia harus bercerita terkait perjodohan itu atau tidak. Entah kenapa ia merasa mengkhianati Aka, padahal belum pasti juga lelaki yang dipilih Bu Erina akan suka dengannya.

"Ra, melamun apa? Ayo masuk ruang spa. Kamu harus melewati rangkaian panjang, supaya kulitmu tetap mulus." Bu Erina menuntun lembut gadis itu.

"Iya, Bu."

Bu Erina sebagai penyedia dana, duduk anteng di sofa sambil membaca majalah. Terhitung dari dua hingga tiga ia membuka lembarannya, tiba-tiba beliau mengambil ponsel untuk menelepon seseorang.

"Halo? Kau sedang di mana? Apa? Kau harus datang ke tempat yang kukirim tadi. Minggu sore, pukul empat sore. Jangan tanya kenapa. Aku dan Alexander hanya ingin menemuimu. Ya, tentang perjodohan lagi!"

Beliau segera mematikan telepon begitu saja dan meminum suplemen yang ia siapkan di tas. Seteguk air di botol telah tergerus habis, ia melanjutkan berkutat dengan majalahnya. Dua jam berakhir, Rara muncul di hadapan dengan wajah yang segar bukan pucat pasi seperti awal kedatangannya di sana. Ia tersenyum manis dan berucap terima kasih. Bu Erina beringsut mengajak Rara ke restoran yang masih satu kawasan. Ia menunjuk restoran dengan menu Indonesia yang membuat Rara menelan ludah. Sudah sejak lama ia sangat ingin makan sate ayam dan ia memilih menu tersebut.

Malam itu, Bu Erina memberikan foto masa kecil putranya dari ponsel. Rara tertawa terbahak-bahak ketika beliau menceritakan bahwa saat kecil, putranya pernah tertidur di tong sampah besar saat ia tidak boleh keluar malam bermain petasan. Beliau juga bercerita tentang kisah sedih ketika putranya dan teman putranya pernah diculik dan ia masih sempat melarikan diri namun teman kecilnya tak terselamatkan.

"Ah, tapi sudah lapor polisi soal penculikan itu?"

"Sudah. Tapi temannya meninggal. Organ tubuhnya diambil untuk dijualbelikan. Aku sangat bersyukur dia bisa melarikan diri. Ah, anak itu! Apa jadinya hidupku tanpa dia jika dulu tidak membebaskan diri," ucapnya lega sambil memegang dada.

"Sekarang pun dia masih melarikan diri dariku, Ra," lanjutnya.

"Oh, kenapa?" tanya Rara penasaran.

"Karena dia muak dengan perjodohan ini. Jadi, kalau besok dia tidak datang. Tolong jangan marah padanya ya, Ra. Kita masih bisa makan bertiga dengan Alexander."

"Iya, Bu. Saya terserah ibu saja," ucapnya pasrah namun tetap sopan.

"Baru-baru ini dia sepertinya mendapat kebahagiaan baru. Jadi, aku takkan mengusiknya. Kalau memang pilihan dia tepat, aku akan mendukung." Beliau nampak memandang jauh ke depan. Seolah putranya benar-benar di tempat itu.

"Kau tak ingin memberikan pesan untuk anakku, Ra?"

"Ah, oh. Hm... ya, siapa pun nanti orangnya, semoga putra ibu menyayanginya. Ibu juga harus mencintainya seperti anak sendiri." Rara gugup disuruh memberi pesan-pesan terbaik untuk putranya yang belum ia kenal. Bahkan namanya saja tidak disebutkan Bu Erina.

...

Aka tertidur di Toko Buku Pelangi setelah semalam Rara mempercayakan kunci padanya. Hari ini ia izin cuti meski belum genap tiga bulan. Gajinya akan dipotong sesuai absensi dan ia nampak kelelahan telah mengeluarkan semua buku Rara dan memindahkannya dengan truk pengangkut ke sebuah indekos. Dia menyewa sekitar lima hari agar tidak kebingungan meletakkan semua bukunya. Barulah jam sembilan malam, seseorang membangunkannya dengan kasar. Berteriak melalui kaca dengan suara yang sebentar-sebentar hilang diterpa angin. Rara menelepon Aka melalui ponsel dan tak lama, diangkatnya panggilan tersebut.

Bu Erina sempat salah fokus tentang tokonya, kenapa ia tidak melihat satu pun buku yang bertengger di sana. Ia hendak keluar dari mobil, namun tangan Rara lebih sigap menahannya, "Oh, mungkin buku-bukunya telah dipindahkan ke tempat kosong," ujar Rara yang dia sendiri pun tidak tau semua perlengkapannya di kemanakan oleh Aka.

"Apakah kau perlu bantuan, Ra? Ingin kubantu? Bagaimana? Aku belum mengantuk," ujarnya sembari menahan mulutnya yang tak menguap. "Sial. Kenapa aku jadi mengantuk?" Keduanya tertawa melihat aksi Bu Erina yang pada dasarnya telah mengantuk.

"Sudah, ibu pulang saja. Terima kasih banyak ya untuk hari ini. Saya senang sekali." Ia tertawa ramah dan mengangguk sopan. Rara juga menutup pelan pintu mobil beliau.

"Bye anak cantikku!" Lambaian tangannya menular, Rara ikut mengiringi lambaian tersebut.

Aka sudah berada di depan Rara ketika gadis itu masih melamun. Ia memegang pundaknya pelan, untung saja reaksi Rara bukan seperti kebanyakan perempuan yang kaget lalu menampar wajah sang lawan. Ia hanya terkejut dan bahunya terangkat sedikit. Rara lalu melewati Aka begitu saja dan menatap ruangan yang tidak seberapa. Kalau tidak ada buku sama sekali seperti ini, rasanya benar-benar luas.

"Aku semuanya yang mengerjakan ini." Senyum manis nampak tersungging di bibir Aka. Rara jadi terharu, ia juga tidak membawakan makanan apa pun untuknya. Diam-diam, Rara merutuki diri sendiri.

"Kamu di sini dari jam berapa?"

"Oh, tentu saja setelah pulang kerja." Aka berbohong. Padahal ia izin mendadak pada Bang Rudi dan berakhir dicaci maki. Ia meringis membayangkan jika Bang Rudi memarahinya langsung.

"By the way. Bukunya ke mana semua ya?" Telunjuknya memutar ke segala arah.

"Oh, aku letakkan di kos seberang selama lima hari. Kamu sudah bilang ke semua pelangganmu kan?" Aka menuntun Rara keluar dari toko dan mengunci pintunya, seolah dialah pemilik asli Toko Buku Pelangi.

"Hah? Lima hari? Kok selama itu? Kamu bilang pembangunannya sehari aja kan?" Rara shock dengan penuturan tersebut.

"Lho bukannya aku bilang lima hari?" ucapnya dengan wajah polos.

"Mana ada? Kamu bilangnya renovasi cuma sehari kok," sungutnya kesal.

Lihat selengkapnya