Malam di mana Aka diusir oleh Rara dari rumahnya, lelaki itu selalu memantau Toko Buku Pelangi dari dekat mau pun jauh. Jika dekat, ia seperti mandor yang selalu berkomentar kurang dan kurang. Padahal ia sudah memercayakan kepada arsitek untuk mengoordinasi anak buahnya. Namun, jika jarak jauh, ia akan menyuruh sang supir datang dan bertugas seperti Aka sebelumnya. Hari sebelum penyerahan kunci dimulai, ia baru memindahkan semua buku ditemani para tukang. Meski begitu, Aka membayar lebih untuk menata buku dari satu rak ke rak lain. Ia juga memberi penanda buku-buku khusus fiksi, non fiksi, majalah dan lainnya.
Nama ‘Toko Buku Pelangi’ yang tertera di depan pintu nampak hidup dengan lampu berwarna putih berkeliling. Pintunya masih tetap kaca tapi diubahnya ke sliding. Lalu dindingnya tetap sama berwarna merah muda. Meja kasir yang awalnya bukan seperti kasir betulan, dibelikannya komputer sepaket dengan CPU dan juga pembukuan dalam format excel. Semua dikerjakan bagian IT Manajemen Akuntansi. Ditambah mereka yang bekerja juga memasukkan satu persatu kode buku agar sesuai dengan stok fisiknya. Upaya ini untuk memudahkan Rara melengkapi buku bekasnya.
Yang Aka tau, hari Jumat adalah hari terakhir ospeknya. Ada kemungkinan Rara akan datang untuk menengok tokonya. Namun hingga tengah malam, gadis itu tak kunjung tiba. Tiba-tiba sebuah telepon mengagetkan Aka, dari nama yang muncul di ponsel, ia enggan menerima. Tapi tetap dilakukan dalam bentuk kesopanan terhadap orang tua.
“Oke, Ma.”
Begitu jawabnya. Malam itu, orang tua Aka baru saja sampai di Indonesia setelah melakukan perjalanan udara dalam keadaan lemah, letih, lunglai dan lemas, kata sang mama. Aka tidak terlalu memercayai ucapan beliau. Namun, karena mansion itu belum berpindah nama. Jadilah, ia segera pulang dengan mengebut.
“Liburlah besok. Bilang kepada atasanmu bahwa kau cuti karena ada urusan mendadak,” perintah wanita tua berusia sekitar lima puluh tahunan.
“Hari ini saja aku sudah meliburkan diri. Kalau ditambah besok, mungkin aku akan dipecat.” Mereka duduk bersebelahan, Alexander masuk sambil menenteng beberapa kertas di tangan.
“Siapa yang berani memecat putraku, hei! Kau ini lulusan terbaik dari Jerman! Akan kudatangi mereka-mereka yang tidak tau diuntung mempekerjakan anakku dengan seenaknya!” Beliau marah dan berdiri sambil memegang syal di leher.
“Apa-apaan ini, Ilalang! Kau mengambil furnitur segini banyaknya untuk apa? Kau letakkan di mana furnitur itu?” Alexander melempar seluruh faktur di meja. Aka hanya memejamkan mata, tak ingin melawan.
“Aku hanya ingin membantu seseorang,” ucapnya pasrah.
“Membantu? Siapa yang kau bantu? Seorang gadis atau lelaki?” Desak Erina kencang.
“Bisa keduanya.”
Aka mulai berdiri dan meninggalkan orang tuanya.
“Minggu besok kita hadiri perjodohan selanjutnya. Pukul empat sore di Restoran Fishcake.” Erina menghampiri putra semata wayangnya itu.
“Kau pasti familiar dengan nama restoran itu bukan?” tebaknya.
“Mama atur saja sendiri. Besok adalah terakhir kalinya aku akan mengikuti perjodohan tidak jelas itu.” Aka berjalan begitu saja sembari melepas jas di tangan.
“Lihatlah anakmu, Pa! Akibat dari kau manjakan itu! Sampai berani mengambil furnitur di tempat kita! Kira-kira untuk apa si Ilalang membutuhkannya?” Teriaknya mengudara, mungkin bisa didengar oleh putranya.
“Akhiri sandiwaramu itu. Kau pun tau untuk siapa Ilalang memberi furnitur itu…” Alexander memutuskan keluar dari percakapan tak berfaedah yang dibuat sang istri.
“Untung saja aku bersabar selama ini.” Tangan Erina terkibas-kibas, seakan ada benda pendingin di sana.
Di sore yang terang itu, tepatnya di bawah langit Jakarta. Dua orang yang sangat kenal dipaksa asing oleh keadaan orang tua Aka. Lelaki itu memperkenalkan diri sekali lagi dan Rara pun menjabatnya. Mereka kikuk sebentar sebelum Erina berhasil mencairkan suasana. Menu-menu yang dipesannya memang sesuai lidah. Jadi, Rara tidak kebingungan akan makan apa.
“Oh, ya Ra. Ngomong-ngomong tentang tokomu itu. Siapa gerangan yang merenovasinya? Dari penuturanmu kemarin, katanya kau suka dengannya.” Erina nampak menggebu-gebu.
“Ah, ya-ya. Aku sempat mendengarnya dari istriku. Berani sekali lelaki itu, nyalinya besar juga ya.” Timpal Alexander.
Untungnya, Rara tidak tersedak. Ia meminum air putih sampai habis dan tersenyum kemudian.
“Apakah dia tidak ada rencana merenovasi rumahmu?” tebak Erina telak.
Aka langsung tersedak dan Rara melotot kepadanya.
Apakah rencana yang kamu kemukakan kemarin sudah diketahui Bu Erina?
Tidak. Aku belum bilang apa-apa. Justru aku kaget mereka mengetahui itu. Aku dijebak, Ra! Aku dijebak! Jangan marah padaku!
Begitulah komunikasi keduanya melalui telepati. Rara cukup lega meski hanya pemikirannya yang menjawab pertanyaan semu itu. Kedua orang tua Aka nampak memandangi gadis dan lelaki yang sekarang duduk bersisian, secara bergantian. Raut wajah gelisah dan gugup nampak terlihat dari gerak-gerik mereka. Erina tersenyum manis melihat momen itu. Jadi, dia memotret Rara dan Aka yang ada di hadapannya melalui ponsel pribadi.
“Mama…” Aka mengusap mulut dengan tisu dan berharap dia tidak mengambil gambar tanpa izin terlebih dahulu. Erina justru tak menggubris gerutuan putranya.
“Ra, dengarkan aku. Pemuda yang berniat merenovasi tokomu itu memang baik sekali. Nah, tapi kalau putraku ini tidak akan merenovasi tokomu saja. Ilalang akan merenovasi rumah dan hidupmu. Aku yang menjaminnya langsung jika ia berani macam-macam di belakangmu. Jadi, apakah kau setuju dengan perjodohan ini?” Erina nampak tak sabar melihat Rara diam tanpa ekspresi.
“Ini terlalu cepat bagi kita berdua. Hm… beri kita kesempatan untuk mengenal lebih jauh dulu,” bela Aka, seakan meminta bala bantuan terhadap ayahnya.
“Aku tidak bertanya kepadamu, Ilalang. Sejak dulu mana ada kau menyetujui jodoh-jodoh yang kusodorkan kepadamu? Kali ini kau pasti tak mau juga kan bersanding dengan Rara?” ucapnya tajam.
Aka memanggil pelayan dengan menyajikan segelas air putih lagi untuk dirinya sendiri. Namun, ketika ia melihat gelas Rara kosong, ia meralatnya menjadi dua gelas. “Tapi, saya rasa memang benar kata Aka. Oh, maksud saya Mas Aka.”
“Aku tidak menolaknya, Ma. Kali ini aku mau berpacaran dengan Rara. Kita bisa menikah lusa jika itu yang kalian inginkan. Tapi kita juga harus dengarkan pendapat Rara.” Aka jadi keceplosan dan salah tingkah.
“Gimana, Ra? Anakku menyetujuinya untuk berjodoh denganmu. Apakah kau mau?” desak Erina sembari menggenggam tangan Rara. Tapi itu sungguh membuatnya tak berdaya dan pasrah. “Sabar, my dear. Kau justru membuatnya takut,” bisik Alexander.
Erina manggut-manggut, perlahan ia melepas tangan yang penuh kehangatan itu. Namun dengan gerakan cepat, diambilnya tangan keriput Erina.
“Saya mau, Bu.”
Erina melotot tak menyangka, Alexander berdeham dan Aka memalingkan muka. Lelaki itu menatap ke jendela, hujan telah menerpa bumi lagi. Seperti kala itu, saat ia makan berdua dengan Rara di malam hari.
“Jangan diterima kalau hatimu berkata bukan. Jangan menjalani hubungan dengan keterpaksaan,” jelas Aka di sela-sela momen haru yang diciptakan orang tuanya sendiri.
“Nggak. Aku nggak terpaksa. Tepatnya aku ingin mencobanya. Denganmu, Aka.” Tatapannya beralih pada Aka. Bola mata hitam itu meniliknya dekat-dekat. Ketulusan benar-benar terpancar di sana.
“Jadi, Aka. Kapan rencananya kau akan merenovasi rumah Rara?” tanya Erina santai pada putranya kali ini.
Baik Rara mau pun Aka hanya tersenyum datar. Tidak ada jawaban adalah jawaban bagi keduanya.
…
Keesokan harinya, dini hari pukul empat pagi. Rara menyebar bunga mawar di nisan ayah bunda. Sekaligus meminta restu jika sewaktu-waktu putri kecilnya itu akan menikah. Tidak ada yang kebetulan di dunia dan Rara masih bercakap-cakap sendirian sambil memotong rumput dengan pisau. Juru kunci yang sudah menemaninya hampir setengah jam tidak lagi di tempat. Biasanya mereka akan bercerita satu sama lain untuk memecah keheningan. Lagi pula sejak kapan pemakaman ramai? Ada-ada saja, pikirnya kala itu. Yang ia dengar, juru kunci sedang menyiapkan lubang baru untuk seseorang yang berpulang. Jadi, segera keluar dari areal pemakaman adalah keputusan terbaik. Namun, Rara sempat salah fokus terhadap seseorang.
Nisan Alamanda telah didatangi lelaki. Dan dia bukan Aka. Dari posturnya yang berjongkok dan meletakkan bunga, dia sangat berbeda dari pria yang Rara kenal. Tapi, ia tersenyum melihat bunga amarilis di atas gundukan. Jadi, siapa pria itu? Rara sempat menabrak juru kunci jika keningnya tidak dihadang oleh tangan beliau.
“Kau ini lihat apa? Ke mana konsentrasimu? Aku tak mau ada yang kesurupan di sini.” Juru kunci itu mengomeli Rara habis-habisan sedang gadis itu menunjuk pria yang sempat dilihatnya.
“Oh, biarkan saja. Dia selalu menyuruhku membersihkan makam itu. Mungkin kekasihnya yang dulu ditinggalkan.”
Rara dibiarkan lagi sendiri oleh juru kunci yang sibuk mencangkul. Ralat, dengan ditemani seseorang yang tadi menatap nisan Alamanda. Sejenak, keduanya saling bertatap ketika pria itu mulai berdiri. Buru-buru Rara meninggalkan makam yang dari radius sekitar 20 meter mulai terdengar orang-orang berjalan beriringan menggotong keranda. Namun, ketika ditolehnya, pria itu masih setia berbicara sendirian. Untung saja, dia tidak mengekori langkahnya, batin Rara.
Rara mengambil ponsel, menghubungi seseorang untuk bertanya sesuatu yang mungkin penting untuknya. Sekali, dua kali, panggilannya tidak diangkat. “Wajar sih kalau jam segini belum bangun. Masih jam setengah lima pagi.”
Gadis itu membeli sayur mayur untuk dia masak di rumah. Kali ini Rara ingin membuat capcay. Jadi bahan-bahan yang dibutuhkan ada pentol ayam, sawi, wortel, kembang kol, jamur kuping dan bumbu penyedapnya. Barulah ia sibuk di dapur dan menakar seberapa banyak untuk ia makan sebagai sarapan termasuk dibawanya sebagai bekal makan siang. Ketika ia selesai beres-beres dari segala urusan rumah tangga tanpa suami, dua jam kemudian ia keluar dari rumah. Dari depan teras ia telah ditemani kucing-kucing liar yang mengeong lembut di sela kakinya.
Rara menghirup aroma tanah selepas hujan yang sangat disukainya. Tiba-tiba ia tersenyum karena teringat seseorang. Rara mengambil handphone di tas dan menghubungi Aka. Ada yang harus ia ceritakan perihal pertemuan singkat di pemakaman tadi. Tepatnya mengonfirmasi kebenaran yang pernah ia beritahukan. Apakah pria itu kekasih Alamanda? Atau jangan-jangan malah dia yang telanjang bersama Alamanda? Rara cepat-cepat mengusir ilusi yang merajalela di pikiran. Belum sempat ponselnya tertempel di telinga, sebuah tangan mengejutkan pundak Rara.
“Hai?” sapa seorang lelaki. Ternyata dia membuntuti Rara. Padahal gang rumahnya berlawanan arah dengan jalan pemakaman. Bahkan sudah separuh perjalanan ia hendak mencapai Toko Buku Pelangi.
“Oh, hai. Siapa ya?” tanya Rara menjauhkan ponselnya.
“Gue yang tadi ada di pemakaman.”
“Oh, oke.” Gadis itu menutupi rasa gugupnya dengan tawa kecil.