A Rainbow Missing One Color

Melia
Chapter #12

Konflik Baru

Waktu telah berjalan selama enam bulan dan Aka serta Rara sudah resmi menjadi sepasang kekasih atas persetujuan Erina dan Alexander. Tentang kejadian lampau telah terlupakan dengan baik karena Reza tidak lagi muncul secara intens di muka keduanya. Bahkan Aka mulai melanjutkan hobi dan kesenangannya yaitu melukis. Profesinya sebagai presenter juga mendapat pujian dan acungan jempol beberapa kali dari Bang Rudi.

Kuliah Rara yang rutin setiap malam dari Senin hingga Kamis membuat raganya sedikit kelelahan. Aka sempat menawari untuk antar jemput supir namun gadis itu menolak. "Kamu dan keluargamu sudah berbuat banyak padaku. Aku belum membalasnya satu pun mulai dari renovasi toko hingga rumah," ucap Rara ketika Aka bersikeras menyuruh Rara menggunakan supirnya.

Tentang renovasi rumah Rara di dalam gang, kali ini atas persetujuan Erina dan Alexander, orang tua Aka terlampau sangat baik padanya. Di awal ia sempat menolak, namun karena progres pembangunannya di handle langsung oleh Alexander, Rara jadi segan menolak. Jadilah, selama dua Minggu penuh ia tidur di kos. Erina sempat menawarkan untuk tinggal di rumahnya. Namun berkali-kali beliau memintanya, berkali-kali juga Rara menolak. Hanya karena tak ingin bertemu Aka. Canggung menjadi sebab utamanya. Setiap Rara datang melihat bagaimana rumahnya dibongkar, dicat dan juga ditambah furnitur baru, ia selalu menangis. Antara kenangannya hilang juga terharu karena ayah bunda akan senang.

Kehidupan kuliahnya selama enam bulan ini berjalan baik, bertemu teman baru dan saling mengenalkan pacar satu sama lain. Sungguh menggemaskan melihat situasi tersebut. Hanya Rara yang tidak pernah membawa Aka ke tempat di mana semua temannya dijemput kekasih. Ia tak ingin merepotkan Aka, apalagi ketika ia pulang, jam-jam yang diterbitkan kampus adalah waktu terbaik lelaki itu untuk tidur panjang. Namun, semenjak kunci Toko Buku Pelangi diduplikat dan Aka ikut memilikinya, Rara selalu mendapati lelaki itu tertidur pulas dengan lampu terang dan papan akrilik bertuliskan 'closed'.

Pelan-pelan Rara memutar kuncinya dan menggeser pintu. Ia menghampiri Aka yang tertidur pulas dengan pizza hanya tersisakan tiga potong. Ia tersenyum dan mengamati makanan tersebut. Pizza yang sama ketika Alexander membelikannya di kala hujan. Jadi, makanan favorit itu adalah kesukaan Aka. Kursi kayu memanjang yang hampir semeter dulu belum ada mejanya. Namun, lelaki di sampingnya itu membelikan meja kayu. Katanya, agar sepaket. Sekarang, Rara mulai tau alasan Aka sebenarnya, agar dia bisa tidur menyandarkan kepala ke meja itu.

Rara memakan potongan pizza pertamanya dengan lahap dan mengambil yang kedua sebelum tangan Aka menahan jari Rara. Gadis itu terkesiap, hendak berteriak. Namun, Aka justru ganti meletakkan kepala ke pundak Rara. Ia mengigau, "Boleh aku tidur di rumahmu?" ucapnya dengan mata terpejam.

Rara tertawa kecil dan tidak menjawabnya, ia mengambil potongan pizza yang sempat tertunda. "Ra? Kamu mendengarku kan?"

"Dengar."

"Boleh?"

"Nggak. Kamu nggak boleh tidur di rumahku."

Tubuhnya mendadak tegap, ia menoleh pada Rara yang mengunyah santai.

"Kenapa emangnya?" Aka merajuk bak anak kecil.

"Ya kamu pikir sendiri," jawabnya menahan senyum.

"Ya sudah aku pulang." Aka mulai berdiri, membungkus pizza-nya ulang.

"Jangan dulu."

Aka duduk kembali dan menatap Rara serius. Dia sangat menyukai momen ketika Rara menahannya pulang.

"Pizza-nya jangan dibawa pulang juga. Kamu aja yang pulang." Rara merampas kardus bulat di tangan Aka.

Lelaki itu mengedip-ngedipkan mata, tak habis pikir. Jadi ia merengek seperti ini, "Kamu mengusirku?"

"Nggak," sangkal Rara cepat-cepat.

"Jadi, biar aku saja yang pulang." Rara mencomot pizza terakhir di kardus dan berlari keluar toko. Aka ikut berlari mengejar Rara dan meninggalkan Toko Buku Pelangi dalam keadaan tidak terkunci. Mereka tertawa satu sama lain menuju rumah baru Rara yang selesai direnovasi kemarin.

Dari kejauhan, seorang pria dengan siluet hitam memasuki toko tersebut tanpa rasa sungkan.

...

"Dari mana saja kau ini baru pulang..." Erina melirik tajam putranya yang melepas jas. Beliau sedang mengevaluasi majalah furnitur milik perusahaan untuk diberikan pada pelanggan tetap.

 "Dari toko Rara, Ma." Ia berdiri di hadapan Erina sejenak.

"Toko Buku Pelangi maksudmu? Jadi kau selalu pulang malam karena ada di sana?" Erina mulai marah dan membuang majalah-majalahnya.

"Ke mana lagi selain ke sana, Ma? Kalau nggak ada liputan ya mampir sebentar." Aka mulai mengambil majalah di lantai dengan halaman terbuka di sana-sini.

"Kenapa mama tidak diajak juga, Ilalang?" Ia mulai merengek dan memeluk badan putranya. Dari tangga atas, Alexander menggeleng-geleng. Menyadari bahwa hanya dirinya yang waras. "Ternyata anak dan ibu sama saja," ucapnya berbalik badan, kembali tidur ke kamar.

"Ya kapan-kapan aku ajak Rara ke sini ya."

"Besok?" tawarnya.

"Rara masih kuliah, Ma."

"Ya sudah kalian berdua cepat menikah saja," ucapnya ketus.

Aka yang saat itu menguap, tiba-tiba batal, merapatkan bibirnya. Ia jadi salah tingkah akan permintaan itu. Sudah sejak lama Erina menginginkan putranya menikah. Kini setelah ada calon yang sesuai dengan kriterianya maupun Aka sendiri, untuk apa berlama-lama. Ia ingin Aka memiliki pengganti yang cocok untuknya. Ditambah kepribadian Rara sudah cukup baik dijadikan pendamping anaknya.

Di kamar, Aka membaca pesan yang dikirim seniornya empat jam lalu. Ada kabar bahwa esok ia harus meliput perceraian seorang aktris cantik dengan pesepak bola tim nasional. Aka diharuskan siap-siap berangkat pukul lima pagi dengan mobil kantor setelah menjemput Bang Rudi. Aka menjawab, jika Bang Rudi bisa langsung ke lokasi tanpa ke rumahnya lebih dulu. Ia akan menggunakan supir seperti biasa.

Malam itu, ia mempelajari profil antar kedua mempelai yang setelah ini akan resmi bercerai. Semudah itu menikah dan semudah itu berpisah. Atau bisa saja semudah itu meninggalkan dunia secara bersamaan. Ia mendadak teringat dengan kisah tragis orang tua Rara yang tewas karena sengatan listrik. Gadis itu sudah melalui banyak kesulitan tanpa ia ketahui. Jadi, apa pun yang dilalui dan dirasakan Rara sekarang, Aka ingin menemani gadis itu selamanya. Mendadak, Aka lupa belum mengabari Rara jika ia telah di rumah sejak tadi. Cepat-cepat mengirimkan pesan pendek yang dijamin takkan dibalas karena sang pemilik ponsel telah tertidur pulas. Buktinya, ketika Rara mengantar Aka ke depan rumah, hampir 20x gadis itu menguap jika dihitung manual.

Jendela di ujung kamar bersinar sebab cahaya bulan telah menghilang tergantikan terbitnya mentari. Meski tidur tengah malam, Aka bisa bangun sesuai jam yang ditentukan Bang Rudi. Siap-siap mengambil kemeja warna hitam dan celana kain untuk liputan nanti. Ketukan di pintu bersamaan dengan deringnya ponsel mengudara jadi satu.

"Iya, sebentar!" Teriak Aka memilih mengambil ponselnya lebih dulu. Nama 'Bang Rudi ARTV' tertera di layar. Ia mengapitnya ke telinga sembari membawa tas pribadi keluar menuju lantai bawah.

"Halo, Bang? Ya? Kenapa?"

Sarapan yang sudah disajikan asisten rumah tangga telah ada di meja makan. Whole-Wheat Bread berwarna coklat dengan teh hangat membuat perutnya keroncongan. Selain itu ada bubur putih dengan taburan daging ayam dan kacang tanah.

Lihat selengkapnya