Rara mematikan semua lampu sebelum berangkat ke toko dan minum susu seadanya. Ia jarang bekal lagi setelah tokonya direnovasi dan pelanggan makin padat merayap. Menu ikan asin dan sambal bawang masih jadi sarapan favorit. Ia bersenandung kecil dan membuka pintu utama. Betapa kagetnya Rara ketika seseorang berdiri tepat di depan teras. Menatap dirinya dengan senyum hangat.
"Bu Erina?" Rara mengelus dadanya pelan mengetahui seseorang itu tidak berbahaya.
"Hei, kau? Mengapa sekaget itu melihatku? Apakah aku hantu?" ucapnya sembari memeluk Rara lama. Gadis itu membalas pelukan beliau.
"Apakah kau sudah ingin ke Toko Buku Pelangi?"
"Iya, Bu."
"Mari kita sarapan dulu, bagaimana? Aku ingin sekali makan nasi pecel yang kau beli di suatu tempat." Ia menggandeng pelan tangan Rara.
"Nasi pecel? Tapi ibu nggak papa makan nasi pinggir jalan?"
"Ah, kau ini. Kata siapa aku pantang makan di pinggir jalan? Pasti Ilalang berkata yang tidak-tidak kepadamu untuk menjelekkan diriku." Ia nampak murung dan melepas genggamannya terhadap Rara. Gadis itu sontak mengapit kembali tangan Bu Erina cepat.
"Bukan begitu, Ibuku. Aka tidak berkata seperti itu tentangmu." Rara merajuk untuk mengembalikan kepercayaan dirinya.
"Apa tadi katamu?"
"Aka tidak berkata seperti itu tentangmu," ujarnya pelan.
"Bukan-bukan. Sebelum itu."
"Ibuku?"
"Ah, iya. Kau memanggilku 'ibuku'? Senang sekali rasanya. Terus panggil aku ibumu ya, Ra." Ia berjalan cepat sembari mendekap pundak Rara.
Gadis itu hanya meringis dan tetap melanjutkan perjalanan sampai ke warung pecel tidak jauh dari tokonya berada. Di sana, Rara memesan dua porsi nasi pecel seperti yang ia pesan sebelumnya. Bu Erina mengacungkan jempol dan sempat berteriak, "Wah! Ini nasi pecel terenak yang aku pesan! Wahai ibu-ibu di belakang sana! Tolong bungkuskan satu porsi untuk suamiku!" Beliau mengunyah makanannya sesuap demi sesuap.
Rara tertawa terbahak-bahak dengan ulah beliau yang sama persis seperti Aka. Tidak ada bedanya. Lalu setelah mereka hening beberapa saat, tepat ketika makanan telah habis tak bersisa, barulah Rara bersuara. "Mengapa Bu Erina sangat baik kepadaku?" tanyanya tiba-tiba.
Sebelum menjawab, beliau mengusap bibir dengan tisu.
"Hm... ada sesuatu hal yang istimewa dari dirimu. Aku sendiri tidak bisa menjelaskan." Bu Erina tersenyum manis.
"Saya tidak merasa bahwa saya seistimewa itu, Bu. Baik untuk ibu dan juga Aka. Saya sangat jauh sekali dengan Aka. Saya jauh di bawah kalian." Pernyataan menohok yang hanya bisa ia simpulkan sendiri tanpa melibatkan perasaan.
"Tidak-tidak. Bukan itu penilaianku terhadapmu. Kamu istimewa di mata Tuhan, Ra. Toko Buku Pelangi adalah saksi bisu pertemuanmu dengan Aka dan pertemuanmu denganku bersama Alexander." Ia berhenti sebentar untuk menyemprotkan kedua tangannya dengan antiseptik.
"Kami memang berniat menjodohkan Aka dengan perempuan lain. Tapi semua berubah ketika kami menemuimu. Kau ingat ketika kunjungan keduaku di tokomu? Ketika aku kehujanan dan menggigil, di sana aku baru mengerti jika Aka selalu mampir dan berniat mendekatimu. Di hari itu juga kami mulai membuntutinya." Erina nampak menggenggam kedua tangan Rara.
"Jadi, ibu tau tentang renovasi toko saya?" Mendadak dia jadi terbebani dengan pertanyaannya sendiri.
"Sudah pasti tau. Diam-diam Ilalang mengambil beberapa furnitur untuk dipasang ke tokomu kan?" Beliau balik bertanya. Di situ, Rara malu bukan main dan tersenyum enggan.
"Bu, saya minta maaf. Saya nggak menyuruh Aka buat renovasi toko itu, tapi dia..."
"Ah, sudahlah. Aku dan Alexander sangat setuju dengan keputusan Ilalang. Ya, meski caranya salah, dia sudah kuhukum."
"Hukum?" Rara jadi tambah merasa bersalah.
"Iya. Hukumannya akan menikah denganmu."
Rara mengedip beberapa kali, menjadi salah tingkah sesaat. Bu Erina lalu menyudahi obrolan dan berpisah di Toko Buku Pelangi. Tepat ketika Rara hendak menyeberang dan Bu Erina telah masuk ke mobil, ponsel Rara berdenting sekali. Ada pesan baru dari nomor yang sudah ia simpan.
Ra? Malam ini ada waktu? Aku punya distributor khusus untuk pembelian buku bekas yang lebih murah lagi. Cocok banget kalau mau ambil untung banyak.
Keningnya berkerut. Itu adalah pesan dari Reza untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan mereka bertukar nomor telepon.
...
Di tempat lain, Aka masih setia dengan bacaan rubrik dan artikel yang menggunung di meja. Sepeninggal Bang Rudi, banyak kerjaan beliau yang harus Aka handle. Untung saja ia sudah sering mengambil alih pekerjaan Bang Rudi sebelumnya. Tentu saja dengan sepengetahuannya. Sejak pagi hingga sore, Rara sama sekali tidak menghubungi. Padahal ia baru berkuliah di malam hari. Maka dari itu, sepulang bekerja ia langsung ke Toko Buku Pelangi tanpa mampir ke tempat mana pun.
Aka sudah terbiasa datang ke toko Rara dalam keadaan sepi. Selalu begitu selama beberapa bulan saat Rara mengambil kuliah malam. Gadis itu akan pulang di depan penyeberangan yang langsung menghadap toko. Jadi, ia takkan mungkin melewatkan sosok Rara. Terlebih Aka belum meminta maaf atas kejadian kemarin saat dirinya mabuk terang-terangan. Namun sampai jam sembilan pun gadis itu belum berada di sisinya. Aka masih tetap menunggu dan terus berada di Toko Buku Pelangi sampai jam sebelas.
Sepasang sepatu keluar dari mobil berwarna silver dan terlihat menunduk dari jendela untuk memberi salam perpisahan. Dari balik kaca toko, Aka disapa oleh Reza dan melambai sejenak. Lelaki itu tidak membalasnya lantas keluar menemui Rara, menarik tangannya hingga ia hampir limbung. Mobil itu sudah meluncur pergi dari keheningan malam. Cuplikan yang hanya sepotong barusan membuat Aka marah hingga menyeret Rara masuk ke toko buku dan membalikkan papan akrilik menjadi closed.
"Kamu kok bisa pergi sama orang gila itu??" Matanya melotot, memarahi Rara yang lelah dari ujian sekaligus menemui distributor buku bekas yang dimaksud Reza.
"Dia yang menjemputku di kampus tadi. Aku tidak bisa menolaknya." Ada secercah rasa bersalah. Namun Aka tidak melihat itu sebagai perasaan bersalah atau permintaan minta maaf.
"Apa yang membuatmu mau dijemput dengan lelaki brengsek itu, Ra?" Suara Aka mulai meninggi, ia menunjuk pintu utama dengan otot-otot tangan yang mulai menonjol.
"Aku akan jelaskan. Tapi kita harus duduk dulu. Ya?" Pintanya pelan.
"Aku sudah lama duduk di kursi itu. Kamu saja. Bukannya kamu juga sudah duduk berlama-lama di dalam mobil?" Sindirnya telak.
Rara mengambil napas panjang sambil memegang kepala.
"Pusing kan kamu? Kamu nggak sadar kalau otakmu sudah dicuci oleh brengsek itu?" Aka memilih berdiri dan berkacak pinggang.
Rara masih belum bicara, ia ingin meredam emosi Aka sampai lelaki itu kembali mencair seperti sedia kala.
"Jadi apa penjelasanmu?"
"Tadi pagi. Tadi pagi dia mengirimiku pesan. Tadi pagi juga Bu Erina mengunjungiku, menjemputku ke rumah untuk sarapan bersama." Ada jeda sebentar.
"Terus?" Aka nampak tak sabar.
"Malam harinya, Reza mengajakku pergi ke distributor gede khusus buku bekas. Di mana aku bisa ambil keuntungan lebih jika beli di sana. Jadi, aku tidak bisa menolaknya dengan alasan apa pun. Dia nggak tau jika aku kekasihmu kok," terangnya.
"Persetan dia tau aku kekasihmu atau nggak! Aku nggak suka dia dekat-dekat denganmu! Jauhi dia demi apa pun!" Aka bersikeras melarang Rara untuk berteman dengan Reza.
"Jika dia punya masalah denganmu, bukan berarti dia nggak boleh main denganku kan?" ucapnya santai.
"Aku tau bagaimana Reza, Ra! Ketika dia mengincar seseorang, dia akan menjelajahi sampai akar-akarnya. Mustahil jika dia nggak tau kamu pasanganku!" Aka menarik Rara keluar toko dan mulai mengunci pintunya.
Rara yang kesal dengan tindakan kasar tersebut membuang tangan Aka ke segala arah.