A Rainbow Missing One Color

Melia
Chapter #14

Kebenaran Terkuak

Sudah tiga hari Rara bolos kuliah dan tiga hari itu juga ia riwa-riwi ke makam. Tentunya setelah mendapat persetujuan Bu Erina jika mentalnya baik-baik saja. Tidak jauh dari nisan ayah bunda, seorang wanita dengan bocah lelakinya nampak menaburkan bunga di atas gundukan. Dia tidak pernah terlihat sebelumnya, namun Rara meyakini bahwa orang di kuburan itu baru saja meninggal tiga atau empat hari lalu. Rara berlalu melewati mereka dan melirik sejenak nama yang tertera di nisan. Rudi Adiyaksa. Mungkin yang tiada adalah suaminya. Rara tidak bisa membayangkan jika ia di posisi wanita itu setelah dulu pernah kehilangan orang tuanya. Mungkin Rara bisa gila. Namun, bayangannya malah memunculkan siluet Aka. Rara buru-buru mengusirnya dari otak gila yang ia pikirkan sekarang.

Rara sengaja datang ke Toko Buku Pelangi yang sudah rata dengan tanah. Tempat itu gersang, tiga outlet sekaligus menghilang dalam waktu hanya sehari. Entah siapa yang akan membeli tanah itu, jika Rara, bahkan dompetnya tidak mengantongi uang sebanyak itu. Ia memosisikan badan di depan Toko Buku Pelangi, menganggap bahwa outlet tersebut masih ada lantas berpura-pura mengacak tasnya untuk mencari kunci, mencocokkan lubang dan menggeser pintunya. Rara juga membalikkan papan akrilik dari closed menjadi open. Namun semua itu semu, ia menangis sendirian di tengah-tengah keramaian. Semua kenangan itu terjeda selamanya. Bahkan sisa buku yang bisa diselamatkan hanya ada seperempat ruangan.

           Panas mentari sekarang langsung mengenai fisiknya, padahal dulu merupakan tempat paling teduh, nyaman dan membuat betah banyak orang. Rara juga takkan bisa melihat pelangi dari depan toko. Ia menangis lagi dan kali ini cukup keras sampai kedua tangannya menutupi wajah. Ia terguncang atas kenyataan tersebut. Setelah ia merasa tenang barulah Rara melihat kehadiran Aka dari jauh, di samping traffic light yang keduanya dibatasi kendaraan berlalu-lalang. Lelaki itu menyeberang jalan dan memeluk raga gadisnya. Sekarang Aka menemukan kekuatannya yang hancur berkeping-keping.

"Tenang sayang. Tenanglah..."

Aka mengusap pelan punggung Rara beberapa kali.

Lelaki itu mengantar Rara pulang dan memasakkan makanan baru untuknya. Aka telah merencanakan cuti seminggu sebelumnya dan sengaja menemani Rara di sela-sela hari libur.

"Nanti malam mau kuantar pergi ke kampus?" Aka bertanya dengan nada lembut saat Rara mulai mengunyah masakan lelaki itu.

Rara menggeleng pelan.

"Ya sudah, kalau kamu sudah siap mau kuliah, kabari aku ya." Pintanya tulus.

 Tak sadar, Rara menitikkan air mata yang langsung diusapnya. Entah anugerah dan rasa syukur yang bagaimana lagi yang harus ia ucapkan pada Tuhan telah menghadirkan Aka di sisinya.

"Aku akan menginap di sini untuk menemanimu."

Rara tidak menjawab, ia bingung harus berkata apa meski hatinya menyetujui pernyataan barusan. Jadi, Rara mengangguk sekali.

Malam tiba, ponsel lelaki itu berdering. Ternyata sang mama mencarinya ke mana-mana. Aka berkata akan menginap di rumah Rara satu hari dan Erina ternyata tidak setuju karena keduanya belum terikat jalinan sah. Jadi, beliau akan menggantikan Aka untuk menemani Rara. Kebetulan sekali Aka sangat ingin menemui seseorang. Jadi, ketika Erina datang dan hampir menampar pipi putranya, Aka menghindar dan berkata, "Aku ada urusan sebentar, Ma. Kalau ingin makan, sudah kusiapkan di meja makan. Setelah urusanku selesai aku akan datang ke sini lagi." Mereka berkomunikasi di depan pintu utama.

"Ke sini lagi? Untuk apa? Aku yang akan tidur di sisi Rara. Sedangkan kau? Jangan berani-beraninya menggendongku untuk memindahkanku ke sofa!" Suaranya hampir meninggi jika Aka tidak meletakkan telunjuk di bibir.

"Ma, aku akan tidur di kamar satunya. Aku takkan mengganggu tidurmu dan Rara. Jadi, kunci rumah ini akan kubawa. Oke?" Aka memberi arahan pasti.

"Hmm... oke-oke."

"Ya sudah, kau hati-hati," imbuh beliau.

 Aka memesan ojek online menuju apartemen di pusat kota. Apartemen yang menyuguhkan rasa sesal saat dua tahun lalu ia berada di sana. Namun, ketika ia hendak memasuki lokasi, sebuah pesan muncul di notifikasi. Mengaku dari kepolisian dan berucap jika dua komplotan yang tertangkap CCTV telah berhasil diringkus. Saat itu juga, Aka membalasnya dengan menuliskan alamat apartemen Alamanda lengkap termasuk lantai dan nomor kamar. Entah bagaimana ia berpikir, dalang sesungguhnya berada di apartemen itu.

Ketika lift terbuka, Aka bergegas menuju apartemen Alamanda yang entah kini dipakai siapa. Ia hendak mengetuk namun Aka masih mengingat kata sandinya, otomatis pintu terbuka lebar. Aka menemukan banyak sekali botol bir yang berhamburan di sana. Selain itu, obat-obatan terlarang berpencar di sana-sini. Laptop terbuka dan menampilkan email sembarangan. Reza sedang karaoke dengan bebasnya, menggoyakan badan sebab mabuk. Diam-diam, Aka mengendap-endap untuk mengambil laptop yang ia ketahui adalah laptop Alamanda saat kuliah. Sebelum dibawanya, Aka sempat menekan tombol kotak terkirim untuk mencari riwayat anonim itu. Benar, Reza adalah pengirim anonim itu. Ia yang meneror email manajer ARTV, Pak Bagas.

"Wah, ada tikus nakal yang diam-diam mengambil keju! Hahaha."

Aka ketahuan. Ia langsung menyembunyikan laptop di belakang punggungnya. Meski di bawah pengaruh alkohol dan obat-obatan, Reza masih bisa mengontrol emosinya. Ia tak limbung seperti orang mabuk kebanyakan.

"Sedang apa kau dengan laptopku?" Reza mengayun-ayunkan botol bir kosong ke arah Aka.

"Laptopmu? Ini laptop Alamanda," ralat Aka.

"Ya, ya, ya terserah. Tapi mau kau bawa ke mana benda itu, HAH?" Teriaknya.

Aka masih diam saja dengan menekan tombol darurat yang langsung tersambung ke kepolisian. Nomor telepon polisi yang tadi menghubunginya. Dia sengaja tidak me-loudspeaker agar Reza tidak mendengar ucapan pihak berwajib. Jadi, Aka hanya memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan kecil.

"Kau dalang dari pembakaran itu kan?" tanya Aka geram.

Reza awalnya terdiam lalu tertawa kemudian.

"Toko mana yang harusnya kau bakar?" Aka berusaha mendesaknya lagi.

"Targetku yang awalnya satu malah terkena imbas. Kenapa aku mempekerjakan dua orang bodoh seperti mereka untuk membakar toko keparat itu!" Reza maju selangkah ke arah Aka.

"Kenapa gadis itu tidak mati saja! Biar kau ikut merasakan sakitnya aku ketika Alamanda mati!" Reza terdorong keras di lantai ketika Aka memukulnya telak.

"Siapa gadis yang kau maksud, bodoh?" Aka maju lagi untuk membuang botol bir kosong di tangan Reza.

"Hahahaha. Siapa lagi kalau bukan Rara? Seleramu masih sama, Aka! Dia hanya gadis goblok yang kau peralat untuk menggantikan Alamanda, bukan?" Reza kini berdiri lagi meski sambil terhuyung-huyung. Satu pukulan mendarat telat di pipi Reza, lelaki itu jatuh sedikit jauh dari posisi Aka.

"Bangsat kau! Harusnya kau dan Rara kumasukkan ke toko itu dan kubakar kau sampai hangus!" Reza tidak meminta ampun, dia malah tertawa lagi sembari mengelap darah di bibir.

"Jadi benar kau yang membakar Toko Buku Pelangi?" tanyanya sedetil mungkin.

"YA! Aku yang membakarnya! Andai aku punya mesin waktu, akan kubunuh gadis itu dan kukuburkan di samping nisan Alamanda. Biar kita sama-sama merenungi nasib di depan gundukan mereka!"

Setelah Reza berhasil menyelesaikan kalimatnya, Aka tak tahan untuk memukul badan dan wajahnya berkali-kali sampai babak belur. Dirasa Reza terkapar dan bersimbah darah, Aka mengambil lagi laptop yang sempat ia sisihkan di sofa. Namun ketika hendak membuka pintu, dari kaca yang ada di depan Aka, nampak Reza mengejarnya dengan terpincang-pincang dan ingin menikam Aka. Beruntung Aka bisa membalikkan badan dengan tepat dan menghadang pisau itu dengan laptopnya. Entah dari mana tenaga Reza tiba-tiba menjadi kuat, Aka kewalahan hingga laptopnya terjatuh ke lantai. Reza masih setia untuk menghunuskan pisau ke wajah Aka. Sekarang posisi keduanya saling bertindihan di lantai, jika Aka di posisi bawah maka Reza di atas, mencoba untuk membunuh Aka secara sadis.

Beruntung, polisi datang tepat waktu setelah merusak pintu beberapa kali. Ketika polisi menembakkan pistol ke kaki Reza, tangannya refleks terarah ke pipi Aka yang langsung mengucur darah segar. Aka berhasil menghindar dan mengambil ulang laptop di keramik.

“Mohon maaf, Pak. Kami datang terlambat,” ucap komandan polisi dengan sikap hormat.

“Tidak papa, Pak. Selain bukti bahwa dia yang membakar toko-toko di sana, saya juga memiliki bukti tambahan agar waktu dia di penjara semakin lama.” Aka merogoh ponsel di saku. Reza yang meringis kesakitan hanya meliriknya tajam.

“Saat ini bisa kita lanjutkan di kantor polisi saja, Pak? Untuk luka anda, bisa kami bawakan dokter terbaik yang sedang bertugas saat ini.” Tawaran beliau membuat Aka setuju.

Akhirnya mereka sampai juga di kantor polisi yang keadaannya tidaklah sepi. Ternyata jam-jam malam adalah jadwal padat mereka. Reza berhasil ditahan untuk masa percobaan sedang Aka menunjukkan bukti rekaman saat beberapa bulan lalu bertemu Reza di Restoran Fishcake dan mengaku sebagai Alamanda. Rekaman itu berisikan pengakuan Reza yang benar-benar memplagiasi lukisannya dengan menambah logo atas karya yang dibuat Aka secara orisinal. Aka memindahkan semua bukti ke dalam folder kepolisian dan meninggalkan kantor dengan lega.

Esoknya, Rara melepas plester di pipi Aka dengan hati-hati. Setelah mendapat omelan dari sang mama, Aka berharap Rara tidak mengomelinya untuk yang kedua. Katanya, apa yang ia lakukan sungguh berbahaya dan nekat. Rara belum tau persis apa yang terjadi, namun ia bisa bertahan karena Erina nampak marah besar. Jadi, demi melangsungkan kehidupan yang tentram dan cemara, Aka menelepon supir untuk menjemput Erina pulang ke rumah. Kehadiran beliau sungguh membuat Aka makin runyam.

“Jadi, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Rara setelah mengantar Erina ke depan pintu.

“Ada kesalahpahaman tentang tragedi kebakaran kemarin,” ujar Aka.

“Bukannya kepolisian bilang kalau gas LPG dari Restoran Fishcake mengalami kebocoran?” Rara masih tak mengerti.

“Iya, memang.”

“Ternyata ada karyawan Restoran Fishcake yang frustasi dan berusaha bunuh diri dengan meledakkan diri ke gas LPG.” Ia terpaksa berbohong, Aka tak mau menyeret Rara ke dalam masalah pribadinya.

“Oh ya? Wah, gila sih! Dia nggak tau kalau perbuatannya itu membuat rugi orang? Apa dia mati?”

“Nggak. Dia lagi dirawat di rumah sakit. Kondisinya kritis.” Aka meringis kesakitan ketika tangan Rara mengenai luka dalamnya.

“Ada-ada saja.”

Rara membereskan peralatan P3K ke dalam kotak. Ia akan menyimpannya ke laci khusus.

“Reza berada di penjara.” Aka buka suara tentang kejadian semalam.

Rara berhenti melangkah, ia membalikkan badan.

“Hah? Gimana? Penjara? Kasus apa?” Gadis itu tak menyangka lalu kembali duduk di sisi Aka.

Lihat selengkapnya