Katakan kepadaku apa artinya cinta
Dan kenapa kita harus memilikinya
Karena aku selalu menanti kapan waktu mati
Agar tak perlu berpikir bagaimana harus mengingat lagi
Kalau aku tak punya hati
Aku tak akan mengingini, tak akan memiliki
- Palembang, 1998
“Oh no, not I, I will survive… as long as I know how to love I know I'll stay alive
I've got all my life to live, I've got all my love to give. And I'll survive
I will survive… I will survive”
Suara gemuruh tepuk tangan terdengar saat aku sedikit membungkuk, mengakhiri bait terakhir lagu “I will survive” milik Cake yang dipopulerkan kembali dengan versi disco oleh Gloria Gaynor.
Itu adalah lagu terakhir yang aku nyanyikan di hari itu, tepat sebelum berkenalan dengan pria bernama Vincent, salah satu pengusaha yang cukup terkenal di kota Palembang. Pria berwajah tampan, dengan tinggi di atas rata-rata dan proposional itu memiliki kepribadian unik, ramah, blak-blakan, tetapi sopan.
Dia juga punya banyak teman, tetapi nggak sombong dan nggak lebay. Bagi para pengunjung klub, dia nggak pelit, bahkan cenderung boros. Yang lebih penting lagi, dia masih muda dan masih single.
Itu kesan pertamaku tentangnya, tentu saja sebelum aku tahu kalau selama 2 bulan aku di sini sesuai kontrak home singer, dia selalu dalam keadaan setengah mabuk akibat menggunakan narkoba.
Sesaat setelah aku selesai menyanyikan beberapa lagu disko yang membuat para pengunjung turun ke lantai dansa, seorang waiter menaruh sebuah amplop kecil berisi uang tips dan tulisan request lagu di Stand Partiture. Namun, saat aku membaca judul lagu yang diminta tamu itu, aku nggak bisa menahan senyum. Jadi aku beralasan kalau aku nggak bisa membawakan lagunya.
“Aku nggak bisa lagu ini. Ganti yang lain, ya?” tukasku kepada Bang Budi si pemain keyboard.
“Lagu 'Ayah'? Masa sih, nggak bisa? Mau diganti lagu 'Ayah'-nya Ebiet G. Ade, Rinto Harahap, atau Ada Band?” tanyanya lagi.
“Pokoknya aku nggak bisa nyanyi lagu dengan judul 'Ayah'. Lagian ini vibenya jauh banget sama lagu-lagu tadi. Bisa-bisa yang pada mabok langsung nge-drop nih!” protesku. “Siapa, sih, yang minta? Ngapain juga di tempat begini minta lagu 'Ayah'!”
Aku mengambil potongan kertas bertuliskan lagu “Ayah” dari keyboard dan mencari nomor meja pengirimnya.
“Pak Anwar, Bang. Katanya dia mau nyanyi,” ucapku.
Bang Budi tertawa mendengar ucapanku.
“Pasti itu kerjaan si Vincent. Panggil saja, Ca. Pasti seru!” tukas Bang Budi.
Aku menurut, dan memanggil nama Pak Anwar dengan senyum semanis mungkin, meski sama sekali nggak bisa melihat wajah para tamu di meja itu.