A Ray of Hope

Shirley Du
Chapter #2

CERITAKU

 “Ica! Bangun!”

Suara Ayu yang cempreng terdengar dari balik pintu yang digedor-gedor. “Tadi malam lo nggak pulang, ya? Kok gue nggak dikasih kabar?”

Mataku masih berat, kepalaku juga masih berputar-putar. Aku hanya bangun sebentar untuk memutar kunci kamar, lalu kembali tengkurap di ranjang. Namun, Ayu langsung menyerobot masuk dan menggoncang-goncang tubuhku sambil menginterogasi.

“Semalam lo “ngamer”, ya?” tanyanya di telingaku.

Aku terperanjat. “Woy! Pagi-pagi udah bikin gosip. Ganggu orang tidur aja!” gerutuku jengkel.

“Lagian nggak cerita! Ini jam 1 siang, Yuk, mana bisa disebut pagi lagi. Lo semalam ngapain aja, sih?” tanyanya lagi.

Kali ini dia memanggilku Ayuk, yang dalam bahasa Palembang bisa diartikan sebagai Kakak. Tentu saja karena usiaku yang lebih tua sedikit dari Ayu. Namun, dia melakukan itu hanya saat sedang merayuku.

“Kalau yang pergi itu gue, atau Sinta, kita semua maklum, itu sudah biasa. Tapi kalau lo yang pergi, apalagi sama Vincent, itu beda cerita!”

“Memangnya Vincent kenapa? Bukan cowok asli?” tanyaku masih jengkel karena nggak bisa tidur lagi. “Terus kalau gue yang pergi, masalahnya apa?”

“Masa tadi malam nggak lo pastikan dia cowok beneran atau cowok jadi-jadian,” ucapnya sedikit pelan, dan berhasil aku hentikan dengan lemparan bantal sampai kepalanya nyaris membentur dinding.

“Aduh! Gila, lo, kasar amat!” serunya sambil tertawa terpingkal-pingkal.

“Tadi malam gue cuma ke karaoke, nungguin dia nyanyi sampe pagi, terus sarapan nasi goreng di hotel. Karena kalau gue pulang ke 'mes' kalian belum pada bangun, jadi gue dibukain kamar hotel sama dia.”

“Dia bisa nyanyi? Lagu apaan? Terus… dia ikutan tidur, kan?” tanya Ayu nggak sabar. “Dia mau sama cewek nggak, sih? Maksudnya… dia tergoda sama lo, nggak? Setahu gue dia itu ke semua orang sama saja baiknya, nggak ada yang spesial. Sudah banyak cewek yang coba deketin dia, tapi tanggepannya B aja.”

“Ya mana gue tahu, lah! Gua kan tidur!” protesku. “Eh, suaranya bagus, loh. Cuma ya itu, senengnya lagu-lagu tua Indonesia kayak nyokap gue. Tapi asli, suaranya bagus!”

“Edaaaan!” serunya. “Oh iya, nyokap lo gimana? Katanya kemaren dia nelepon ke bar... Emang sama lo nggak diterima?”

“Malas! Paling cuma minta dikirimin uang,” jawabku acuh tak acuh. “Gue baru mau kirim siang ini.”

Ayu sudah membuat kantukku benar-benar hilang. Apalagi kalau bawa-bawa Mama. Meski hanya mengangkat teleponnya, jantungku akan berdebar kencang dan kakiku lemas. Suara Mama bisa membuatku sangat ketakutan dan gelisah, tetapi nggak bisa berbuat apa-apa. Aku sendiri nggak mengerti kenapa dan sejak kapan aku merasa tersiksa setiap berurusan dengan Mama.

Setelah Ayu keluar dari kamar, aku langsung berganti pakaian dan menggosok gigi. Pokoknya, selama aku belum mengirim uang, Mama akan terus-terusan menelepon. Baik pagi, siang, sore, malam, pokoknya setiap saat setiap waktu.

Aku nggak mau konsentrasiku terganggu dengan berita apa pun tentang rumah, adik-adik, pokoknya apa pun yang disampaikan Mama.

Aku memang sayang Mama, tetapi orang yang paling membuatku ketakutan juga Mama. Terkadang aku ingin sembunyi atau lari sejauh mungkin, tetapi nggak pernah bisa. Siapa yang akan membiayai Mama dan adik-adik kalau aku juga menghilang seperti Papa? Bukankah aku kembali tinggal dengan Mama karena aku ingin menolongnya?

Itu bukan karena aku sangat peduli dengan keluargaku, tetapi karena sudah seharusnya, bukan?

Ya, aku memang sulit mengungkapkan perasaan. Sebetulnya, aku hanya nggak bisa menempatkan perasaanku. Kapan seharusnya aku merasa sedih, atau kapan seharusnya merasa senang. Aku nggak mudah tersentuh dengan kesedihan orang lain, bahkan aku nggak bisa merasa sedih karena nggak dicintai keluarga. Dokter pernah mencurigai aku mengidap alexithymia. Tetapi Mama selalu berkata itu hanya karena aku anak yang nggak punya inisiatif saja. 

Intinya, Mama selalu bilang kalau aku nggak bisa mengungkapkan perasaan hanya karena aku lamban. Soalnya, sejak kecil aku tinggal dengan Oma dan Opa, lalu tinggal dengan keluarga Om dan Tante bergantian. Aku tinggal bersama Mama dan Papa hanya saat kelas 4 dan 5 SD. Sisanya, aku seperti cicak yang dilempar ke sana-ke mari, tinggal di rumah siapa saja yang mau menampung.

Sampai saat Papa akhirnya pergi dengan wanita penghibur dan Mama menikah lagi, aku malah diangkat anak oleh Tanteku. Namun, setelah aku duduk di bangku SMA, Mama memintaku kembali tinggal bersama. Sejak itulah aku bekerja untuk membiayai keluarga.

Suara alarm mobil di teras membuatku terkejut. Ayu dan Sinta yang tengah asyik bergosip ikut terdiam. Keduanya berlarian ke pintu depan dengan ramai. Hanya aku yang tetap tenang mematut diri di kaca.

Aku memang jarang menerima tamu di mes. Biasanya aku selalu berusaha bersikap profesional. Aku akan bersikap ramah di kafe dan panggung selama tamu itu menghargaiku, dan aku juga bisa bersikap jutek saat mereka mulai mengorek-ngorek urusan pribadiku.

“Icaaaa…!”

Teriakan Sinta membuat tubuhku menegang. Tamu untukku? 

Aku bergegas keluar rumah dan tertegun.

“Bang Vincent?” tanyaku bingung.

Aku kira tadi malam adalah terakhir kalinya dia berteman denganku. Seperti yang sudah aku bilang, aku bisa jutek saat bertemu dengan tamu di luar jam kerja. Mungkin Vincent adalah salah satu-satunya tamu yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar tadi malam. Tetapi, saat dia mulai bertanya macam-macam, aku memilih tidur, dan membiarkannya sibuk sendiri dengan sabu-sabu atau apa pun yang sudah membuatnya mabuk.

Lihat selengkapnya