“Kau tahu, orang-orang nakal seperti kami ini lebih setia kawan dibandingkan orang-orang baik yang biasa kau temui di siang hari,” ucap Vincent.
Aku tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala seperti boneka hula-hula di dasbor mobil. Kali ini, Vincent mengajakku ke pesta ulang tahun Beben. Penampilannya terlihat cukup rapi, dengan kaus berkerah dan celana dasar, sehingga aku mengira pesta ulang tahunnya betul-betul seperti pesta yang pernah aku datangi.
Ternyata nggak. Mereka justru mengajakku ke klenteng di sebuah pulau. Mungkin ini yang dilakukan anak-anak kaya di kota ini. Enggak ada pita atau balon warna-warni, bahkan bukan pesta dengan makanan mewah. Vincent dan teman-temannya justru menyewa getek alias perahu kecil dari jembatan Ampera menuju sebuah pulau di muara sungai Musi. Letaknya di daerah industri, di antara pabrik pupuk Sriwijaya dan Pertamina.
“Karena cuma ‘teman yang bisa makan teman’,” lanjutnya.
Aku masih tersenyum dan mengangguk-angguk. Bukan karena mendengar cerita Vincent, tetapi karena musik lembut yang mengalun dari ponsel Beben yang di pasang di tengah-tengah kami. Di antara angin yang bertiup menyegarkan, aku bisa menangkap keseriusan di wajah Vincent yang bersemangat memberi wejangan.
“Kau pasti lagi bahas kelakuan si Faizal!” tukas Fadli, salah seorang teman Vincent yang berdarah asli Palembang.
Mereka tertawa serempak, lalu menceritakan kelakuan salah satu teman mereka yang bernama Faizal, seorang polisi yang selalu melaporkan Umar, teman mereka yang terkenal sebagai bandar narkoba, untuk meminta uang dari teman-temannya yang lain.
Mereka berdua membuat skenario seolah-olah Faizal menangkap Umar, lalu teman-temannya yang lain harus membayar Faizal untuk membebaskan Umar. Jika tidak, Umar akan melaporkan siapa saja nama temannya yang menggunakan narkoba. Itu berarti Umar akan melaporkan Vincent, Beben, dan teman-temannya yang kali ini sedang bersamaku. Untung saja aku tidak mengajak Ayu dan Sinta untuk ikut.
Awalnya, aku mengira tempat ini hanyalah pulau biasa. Ternyata, pulau ini cukup unik. Ada sebuah klenteng yang dikenal dengan nama Klenteng Hok Tjing Bio, atau lebih dikenal dengan nama Klenteng Kwan Im. Katanya, klenteng ini ada sejak tahun 1962.
Hal itu terbukti dengan makam Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri) yang berdampingan di depan klenteng. Ternyata, kisah cinta mereka berdua yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
“Di sini ada satu pohon yang disebut Pohon Cinta. Pohon itu jadi lambang cinta sejati antara dua bangsa dan dua budaya. Jadi, ceritanya pulau ini terbentuk karena kisah cinta Siti Fatimah yang seorang Putri Kerajaan Sriwijaya dengan Tan Bun An, Pangeran dari Negeri Tiongkok,” ucap Fadli.
“Di sini paling ramai kalau ada acara Cap Gomeh,” ucap Aso, teman Vincent yang berdarah Batak.
“Iya, hari ke-15 setelah perayaan tahun baru Cina, biasanya ada atraksi, jadi warga Palembang dan Tionghoa kumpul di sini,” ucap Fadli lagi.
“Pulau ini dikenal dengan sebutan Pulau Kemaro, artinya kemarau. Karena, pulau ini nggak pernah tenggelam dan nggak pernah banjir walau sungai Musi pasang,” tambah Beben. “Pulau ini yang ditempati Panglima Cheng Ho waktu menumpas perompak laut asal Tiongkok.”
Aroma sungai Musi yang khas, hamparan air yang luas, dan pepohonan yang berdiri kokoh, di antara kedai-kedai makanan di pulau ini, membuat jantungku berdebar hangat.
Kalau saja setiap aku menyanyi dapat jatah libur seperti ini, mungkin aku akan berusaha mengunjungi semua tempat wisata di setiap kota yang aku datangi di seluruh Indonesia.
Vincent kembali menuangkan minuman di gelasku. Dia masih bicara tentang pengalamannya yang pernah “dimakan teman” sementara aku teringat akan Dian, temanku di Pekanbaru yang “menjual” ku ke seorang pengusaha, dan berakhir menjadi sponsorku saat pulang ke Jakarta.
Dian memang menerima sejumlah uang dari pengusaha itu agar aku mau diajak tripping, sehingga mereka bisa membawaku ke mana saja. Nyatanya, aku nggak mudah mabuk. Saat mereka sudah asyik menari mengikuti musik, aku malah sibuk menelepon Mama dan mengabari kalau aku nggak bisa pulang karena kabut asap di Pekanbaru yang kian parah.
Setidaknya, pengusaha itulah yang menolongku pulang. Saat kontrak menyanyiku selesai, suasana di Pekanbaru tiba-tiba menjadi gelap dan mencekam akibat Krisis Kabut Asap 1997. Itu adalah bencana lingkungan terbesar di Asia Tenggara, akibat pembakaran hutan untuk membuka lahan, terutama untuk perkebunan sawit dan pertanian. Sampai di Palembang sini, asap itu masih ada, meski nggak separah di Pekanbaru seperti waktu itu.
Saat itu benar-benar kacau. Bandara ditutup dan nggak ada penerbangan entah untuk berapa lama. Jalanan diselimuti kabut asap, dan jarak pandang nggak sampai 50 meter. Akibatnya aku terpaksa pulang ke Bandung menggunakan mobil pribadi.
Apa itu bisa disebut “makan teman”?
“Kontrak kau kapan habisnya?” tanya Vincent.
Lamunanku buyar seketika. Vincent memang punya suara yang cukup keras dan logatnya benar-benar seperti orang Palembang asli, meski sebenarnya dia tidak ada darah Palembang sama sekali. Apalagi katanya orang tua Vincent bukan tinggal di kota ini.
“Sepertinya sampai akhir tahun,” jawabku. “Memangnya kenapa?”