Saat kontrak berakhir di bulan Mei 1998, aku pulang dengan hati hancur. Sepanjang jalan di kota Palembang, aku hanya melihat reruntuhan dan gedung-gedung yang habis terbakar. Begitu juga sepanjang jalan dari bandara menuju stasiun Gambir di Jakarta.
Aku sama sekali bukan keturunan Cina. Namun, wajah dan warna kulitku mengatakan sebaliknya. Kalau mereka bilang orang Sunda dan orang Manado memiliki kulit putih dan mata yang sedikit sipit, itulah aku.
Hidungku nggak mancung, bibirku juga nggak mungil seperti orang Cina. Namun, melihat warna kulit dan bentuk mataku saja, banyak yang bilang aku pasti keturunan Tionghoa. Kalau saja saat itu aku ada di jalanan, nasibku mungkin akan sama dengan teman-teman keturunan Tionghoa di Jakarta dan Palembang.
Dulu aku senang mendengar teman-teman meledekku Cina. Itu berarti aku punya tampang sedikit berbeda dari teman-teman berdarah asli Indonesia. Ya, aku memang senang menjadi orang berbeda! Tetapi, sejak kerusuhan itu, aku jadi takut. Namun, itu nggak bisa menghentikanku menyanyi ke luar kota. Aku sudah menghadapi pria-pria hidung belang, bencana kabut asap, bahkan bencana kerusuhan. Mana mungkin aku menyerah sekarang?
Dua bulan setelah kerusuhan, aku dikirim ke kepulauan Riau, dan menjadi penyanyi di sebuah klab berbahasa Cina di Pulau Batam. Karena Indonesia dan beberapa negara lain di Asia mengalami krisis moneter, tempat hiburan malam menjadi sedikit sepi. Namun, di Pulau Batam, khususnya di klub tempat aku menyanyi, hal itu tidak banyak berpengaruh.
Para pengusaha dari Singapura, Malaysia, dan Jakarta, justru berbondong-bondong menghabiskan uangnya di Pulau Batam. Mereka bisa menghabiskan uang dalam jumlah yang lebih sedikit dengan fasilitas dan akomodasi yang sama dengan yang biasa mereka keluarkan di tempat asal mereka. Lucunya, saat itulah aku mengenal arti sesungguhnya “teman makan teman” yang sering dikatakan Vincent.
Saat itu, salah satu pemilik klub adalah pria yang berasal dari Singapura. Dia memintaku menjadi “istri kontrak” untuk keperluan ijin usaha. Sebagai bayaran, dia akan memberiku rumah di Pulau Batam lengkap dengan isinya, mobil, serta memberiku tunjangan setiap bulan, yang jumlahnya 8 x gajiku sebagai penyanyi.
Dia juga mengijinkanku membuka usaha apa saja, termasuk usaha rumah makan, salon, atau butik, yang tengah menjamur di kota Batam.
Aku menceritakan semuanya kepada Tyas, salah seorang penyanyi dari 7 penyanyi Jakarta yang dikontrak Mr. Gho, nama pria itu. Tyas adalah penyanyi yang paling akrab denganku. Saat itu aku belum mengerti tentang peraturan pemerintah bagi warga negara asing yang ingin membuka usaha di Indonesia.
Aku yakin Mama pasti setuju bila aku menikah dengannya, meski hanya pura-pura karena sebenarnya pria itu sudah beristri. Bukankah selama ini Mama mendorongku untuk pergi dengan Duda atau pria-pria hidung belang yang siap membayarku?
Aku sudah membayangkan bagaimana hidup di Pulau Batam dengan harta yang akan aku miliki. Aku bisa membiayai keluarga tanpa harus capek-capek bekerja lagi. Apalagi kalau aku jadi membuka usaha. Mungkin, aku juga nggak perlu cari Papa lagi. Toh aku mau mencarinya hanya karena mengharapkan perlindungannya sebagai Ayah.
“Serius, Ca, Mr. Gho ngajak lo menikah kontrak? Tapi kan dia sudah tua, sudah punya istri, lagi!” kata Tyas.
“Serius sih, Ti. Tadi malam aja dia kasih gue uang 10 juta buat kirim ke Nyokap, mau suruh nyokap beli tiket dan nyusul ke sini,” ucapku. “Dia baik banget, Ti, kebapak-an. Sampe rasanya gue ingin jodohin sama Nyokap.”
Tyas tertawa renyah. “Dia kan maunya sama lo yang masih muda, bukan sama Nyokap lo. Jadi kesimpulannya lo mau kalau dia suruh berhenti nyanyi dan jadi istri kontrak yang kerjanya cuma layanin dia doang pas dia dateng ke Batam? Memangnya lo naksir dia?”
Aku mengangguk pasti. “Naksir sih nggak, Tyas. Tapi gue putuskan untuk berhenti nyanyi dan buka usaha di sini. Apa lagi coba yang mau dicari? Gue nggak pernah percaya cinta. Daripada gue habiskan waktu cari Papa yang nggak jelas di mana dan tetap nggak punya apa-apa, lebih baik gue jadi pengusaha kecil-kecilan dan kuliah, mumpung ada yang mau biayain!”
“Bukannya lo bilang ada cowok yang lagi lo taksir di Palembang?” tanya Tyas lagi.
“Ti, itu kan cinlok. Cinta lokasi. Mana bisa dijadikan pegangan hidup,” ucapku. “Coba saja, berapa banyak tempat yang sudah lo datangi buat nyanyi? Bahaya banget kalau lo bisa jatuh cinta segampang itu. Belum lagi cowoknya. Lo pikir dia bisa jatuh cinta pada pandangan pertama sama kita? Berapa banyak cewek yang sudah dia lihat dan tidurin sebelum kita?”
“Betul juga.” Tyas mengangguk setuju. Hal itu semakin menambah kepercayaan diriku. Tentu saja aku nggak langsung cerita hal ini ke teman-teman yang lain. Aku juga belum menceritakan hal ini kepada Mama.
Malam itu, Mr. Gho menjamu tamu-tamunya, para pengusaha dari Singapura. Dia juga mengajak para penyanyi untuk bersantai dan minum-minum setelah jam kerja.
Rupanya, saat itu Mr. Gho ingin memperkenalkanku sebagai calon istrinya di hadapan para tamu. Namun, tiba-tiba Tyas berdiri. Dengan gaya setengah mabuk, dia berkata, “Mr. Gho nggak benar-benar memilih Ica jadi istri, kan? Tau, nggak, kenapa Ica nggak suka diajak pergi-pergi sama tamu?”
Suasana yang ramai berubah hening. Aku sendiri terkejut dengan apa yang dilakukan Tyas. Dia sangat dekat denganku. Hampir semua tamu mengetahui keakraban kami. Begitu juga teman-teman penyanyi yang lain. Kami sudah seperti saudara di tempat ini. Jadi, aku bingung saat Tyas tiba-tiba bicara seperti itu tanpa memberitahuku apa-apa.