A Ray of Hope

Shirley Du
Chapter #5

LOVE IS A TWO-WAY STREET

Siapa sebenarnya Vincent? Apa pekerjaannya? Kenapa dia kenal hampir seluruh penduduk kota ini?

Bukan sekedar anak pengusaha, sebenarnya Vincent memang punya pribadi yang unik. Mau dibilang anak nakal, tetapi dia nggak jahat. Dibilang malas sekolah, tetapi dia juara kelas. Dia selalu ringan tangan, suka menolong teman-temannya, bahkan disukai oleh anak-anak sampai orang tua. Tetapi, dia juga suka mabuk dan keluyuran tengah malam. 

Sebetulnya, aku sedikit cemas waktu mendengar dia bilang mengetahui rahasia hampir seluruh penduduk kota. Bukankah itu artinya dia bisa merusak siapa saja yang ingin dia hancurkan?

Namun, saat aku ikut dan bertemu salah satu kenalannya, baru aku mengerti maksud pria itu. Saat itu dia mengantar temannya yang seorang bandar narkoba mengunjungi pelanggan. Aku dibawa ke rumah yang cukup besar, yang terlihat mewah baik dari luar maupun di dalam. Rumah itu menyimpan banyak barang berharga dan dilengkapi dengan pengawalan ketat.

Rumah itu juga ternyata menyimpan banyak rahasia. Mulai dari rahasia politik sampai hiburan. Ada banyak pejabat, bahkan artis terkenal yang menjadi anggota perkumpulan mereka. Di situ mereka bebas melakukan apa saja. Tanpa rasa malu ataupun takut. Semua yang terjadi di rumah itu benar-benar rahasia mereka.

Ada pasangan yang saling bertukar pasangan dengan yang lain atas persetujuan bersama, ada pasangan sejenis, pasangan penjudi, pasangan pengguna narkoba, dan macam-macam yang nggak ingin aku ketahui.

Seperti halnya Vincent yang terlihat tenang, aku juga duduk di antara para pemain judi dan pemakai narkoba yang nggak takut-takut mengeluarkan uang banyak untuk hiburannya sendiri.

Tentu saja, semua yang dilakukan di tempat itu bersifat rahasia dan nggak ada orang luar yang boleh tahu. Itu sebabnya aku bingung kenapa Vincent membawaku ke situ.

Ternyata, pria itu sengaja memperkenalkanku sebagai pacarnya kepada semua orang yang ada di tempat itu supaya mereka nggak menggangguku.

“Aku nggak pernah ganggu milik orang lain, jadi jangan ada yang ganggu milikku,” itu kata terakhirnya sebelum meninggalkan rumah itu.

Setelah itu, Vincent kembali menghilang. Aku menunggunya selama 3 hari di klub, tetapi dia nggak datang-datang. Bagaimana mungkin pria itu menghilang setelah memperkenalkanku sebagai pacar hampir ke semua orang?

“Kalau Abang kita sudah bicara begitu, kau pasti aman, Ca!” tukas wanita yang dipanggil “Mami” Nurul.

Wanita manis berkulit sawo matang dengan tubuh tinggi besar itu sangat baik kepadaku. Meski mengenalkanku kepada para tamu nggak memberi keuntungan apa-apa buatnya, tetapi Mami tetap melakukannya. Dia selalu bersikap ramah dan keibuan kepadaku, bahkan lebih keibuan dibandingkan Mama yang lagi-lagi menelepon meminta uang.

Saat itu dia bertanya kepadaku bagaimana sebenarnya hubunganku dengan Vincent. Tentu saja aku menjawab apa adanya, karena aku sendiri nggak tahu. Vincent nggak pernah menyatakan perasaannya kepadaku, tetapi hampir semua sikapnya di depan orang lain seakan-akan menunjukkan kalau aku ini kekasihnya.

Kalau kami pacaran, bagaimana mungkin aku nggak tahu apa-apa tentang dia?

Karena Mami Nurul sangat ramah, aku bisa mempercayainya. Ini juga kesempatanku bertanya tentang Papa. Jadi aku menunjukkan kepadanya foto terakhir Papa. Aku rasa, wajah orang dewasa nggak mudah berubah, nggak seperti wajah anak-anak yang berubah setelah dewasa.

“Ini ayahmu?” tanyanya.

“Iya. Ada yang bilang kalau Papa pernah ke sini. Sebetulnya, waktu kecil aku memang pernah tinggal sebentar di kota ini,” ucapku. “Jadi, aku pikir Papa pasti kenal kota ini.”

“Kenapa kau harus cari ayahmu? Kalau dia pergi meninggalkan kalian, berarti dia nggak mau dicari,” ucapnya lagi.

“Sebetulnya, dulu Mama yang kabur dari Papa. Mama kesal karena Papa punya banyak teman perempuan. Papa memang suka ‘jajan’ ke klub malam. Masalahnya, setelah aku SMA dan tinggal dengan Mama, malah aku yang selalu disuruh pergi dengan teman-temannya, atau kenalan teman-teman Mama. Pokoknya laki-laki yang punya banyak uang!”

Mami Nurul tertegun dan menatapku prihatin. “Sepertinya mamamu belum bisa membedakan profesi penyanyi dan PSK. Jelek-jelek begini, aku masih menghargai keinginan anak-anak. Bahkan, kalau ada tamu yang mau booking aku pasti tanya dulu apa mereka mau atau nggak.”

Aku tersenyum kecut. Bagaimana mungkin seorang germo bisa mengatakan hal ini terang-terangan?

Lihat selengkapnya