A Ray of Hope

Shirley Du
Chapter #6

Choice

“We steer our own ship, but the wake we leave behind affects every boat around us. Kita mengemudikan kapal kita sendiri, namun arus yang kita tinggalkan mempengaruhi setiap kapal di sekitar kita.”

Itu adalah kalimat yang pernah diucapkan almarhum Opa beberapa tahun lalu kepadaku. Itu juga yang membuatku berusaha berhati-hati dalam bersikap. Seenggaknya aku harus jadi penyanyi yang profesional, jangan sampai adik-adikku atau bahkan Mama, menerima akibat dari kelakuan burukku. Bahkan, aku selalu menjaga nama baikku.

Aku sama sekali nggak memikirkan apa-apa, tetapi hatiku terasa sangat sakit. Aku benar-benar bingung. Jantungku yang berdebar kencang, napasku juga terasa sesak, dan hatiku terasa ngilu. Aku sama sekali nggak rindu Mama, aku juga belum mau ketemu adik-adik. Tetapi apa yang aku rassa membuatku mengeluarkan air mata.

“Kau kenapa, Ca? Apa aku salah?” tanya Vincent panik. “Tentang tadi malam… kau mau aku bagaimana?”

Aku menggeleng cepat-cepat, tetapi air mata tetap mengalir dan aku tetap menangis.

“Maaf, Bang. Aku juga nggak tahu kenapa rasanya sedih sekali. Ini nggak ada hubungannya dengan tadi malam, kok,” ucapku, “Sungguh.”

“Oke. Kamu pasti butuh udara segar,” ucapnya.

Tanpa banyak bicara, Vincent membawaku berjalan-jalan menyusuri pantai Bengkulu yang panjang. Aku nggak tahu apa yang mau dia bicarakan, tetapi tempat ini membuat perasaanku sedikit lebih tenang meski jalanan di hadapan kami gersang dan panas.

Pantai Panjang Bengkulu dan pasir putihnya memang cukup menarik. Pohon cemara yang berjejer di pinggir jalan, semilir angin yang menyibak daun-daun sekaligus mengacak-acak rambutku, aroma air laut yang segar meski lengket di kulit, semuanya terasa hangat sampai ke dalam hati.

Apakah ini yang membuatku menangis?

Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara dan angin pantai memenuhi rongga pernapasanku sekaligus, dan menutup mata. Rasanya aku hanya ingin menikmati suasana damai ini sepuas-puasnya. Saat itulah aku merasakan sentuhan lembut di bibirku, dan membuatku tertegun.

Aku menatap Vincent dalam-dalam dan bertanya perlahan, “Apa ini artinya kita pacaran?”

Pria di hadapanku itu hanya tersenyum, lalu membawaku duduk di salah satu “saung.”

“Kau keberatan? Apa kau sudah punya pacar?” tanyanya.

“Abang sendiri gimana? Aku nggak punya pacar, tetapi aku nggak bisa menjanjikan apa-apa,” ucapku.

“Kita jalani saja dulu. Aku juga nggak janji apa-apa,” ucapnya. “Pokoknya selama di sini, kamu nggak boleh selingkuh.”

Aku tertawa mendengarnya. Saat itu, drama Korea dan drama Taiwan nggak setenar sekarang. Aku hanya lucu mendengarnya, dan nggak pernah menyangka kalau kisah hidupku seperti di drama.

“Apa yang lucu?” tanyanya. “Jangan salah, aku juga pernah pacaran beberapa kali. Sayangnya, namaku di sini sudah dikenal orang. Jadi, nggak ada orang tua di sini yang setuju anaknya pacaran sama aku. Sekalinya aku pacaran sama orang sebrang, malah diselingkuhi.”

“Yang benar saja!” tukasku nggak percaya.

Namun, aku tetap tertawa mendengar caranya memperolok diri sendiri. Buat cewek baik-baik, mungkin pergaulan dan gaya hidup Vincent memang cukup memprihatinkan. Tetapi kalau cewek itu seperti aku yang punya masa lalu nggak bagus, pasti nggak punya alasan buat selingkuh.

Lihat selengkapnya