Setiap orang punya mimpi
Setiap mimpi punya rasa
Setiap rasa punya jiwa
Setiap jiwa butuh kenyataan
Mimpi itu butuh jiwa untuk menjadi nyata
Tepat satu bulan setelah pertemuanku dengan Vincent, aku mendengar kabar kalau Papa berada di kota Timika, Papua. Jadi, aku minta Teh Cinta mengirimku ke kota Timika meski harus bergabung dengan sebuah group band. Saat itu aku bergabung dengan band Aijkwa, nama grup musik yang diambil dari salah satu nama sungai di Papua, dan menanda tangani kontrak menjadi vokalis selama 6 bulan.
Pokoknya, ini membuatku lebih bersemangat dibandingkan tinggal di rumah bersama Mama. Bahkan, saking bersemangatnya, aku sama sekali nggak merasa jetlag meski harus mengadakan perjalanan selama 6 jam menggunakan pesawat Airbus menuju Timika dari Jakarta, dengan tambahan 2 jam perbedaan waktu.
Aku masih sering menghubungi Vincent dan sedikit bercerita tentang pengalamanku. Meski aku nggak bisa mengatakan kalau kami berpacaran sungguhan karena aku nggak tahu apa yang akan terjadi dengan kami beberapa tahun ke depan. Tetapi, aku cukup puas memiliki seseorang yang mau mendengarkan cerita-ceritaku.
Rasanya, aku seperti memiliki seorang sahabat sekaligus psikolog pribadi, karena pria itu bisa membuatku lebih tenang, dan rasa takutku terhadap Mama jadi berkurang. Bahkan, bukan hanya terhadap Mama. Aku juga jadi lebih berani menghadapi pria-pria hidung belang di sekitarku.
“Jadi, kamu sudah punya pacar?” tanya Lyra, vokalis band Aijkwa yang tidur sekamar denganku.
Selain aku dan Lyra, ada 4 cowok di band kami yang bertugas sebagai pemain musik. Ada Heri pada gitar bass, Bejo pada drum, Abe pada piano, dan Rama pada melodi sekaligus satu-satunya vokalis cowok. Semuanya baru aku kenal selama dua minggu.
Aku mencoba tersenyum, meski tahu hasilnya pasti jadi terlihat aneh. Tetapi aku menghargai usaha Lyra mendekatiku. Jadi aku rasa senyumku terlihat tulus.
“Memangnya kenapa?” tanyaku sambil menarik napas dan menghembusnya ke arah poni yang turun ke dahi.
“Berarti aku bisa tenang,” ucap Lyra sambil tersenyum kecut. “Aku naksir Heri, pemain bass kita. Tetapi sepertinya Heri naksir kamu. Kalau kalian pacaran selama 6 bulan ke depan, rasanya aku bakal mual lihatnya!”
“Oh ya?” aku tertawa, lalu mengeluarkan pakaian santai dari koper dan bersiap mandi. Setidaknya, aku jadi tahu siapa cowok yang harus aku hindari agar nggak ada pertumpahan darah antara kami.
“Sebenarnya aku baru putus dari Bejo,” gumamnya lagi.
Aku tertegun dan menatap gadis itu bingung. “Bejo pemain drum, kan? Kenapa? Bukannya Bejo dan Heri bersahabat?” tanyaku.
“Bejo itu sudah punya istri. Aku nggak tenang jadi selingkuhan,” ucapnya enteng. “Lagian, kalau aku pacaran sama Heri, berarti aku masih bisa dekat-dekat dengan Bejo juga tanpa dicurigai istrinya.”
“Astaga!” Aku nggak bisa menyembunyikan keherananku. “Jadi kamu pikir dengan pacaran sama sahabatnya, istri Bejo nggak akan curiga kalau kamu naksir suaminya?”
Lyra mengangguk, sementara aku menarik napas dalam-dalam dan berbalik menuju kamar mandi. Aku nggak pernah memikirkan konsep pacaran seperti Lyra, dan nggak pernah menganggap ada cowok yang cukup qualified untuk dikasih penghormatan seperti itu. Maksudku, nggak ada cowok beristri yang pantas dicintai oleh perempuan lain selain oleh istrinya sendiri.
Kalau Lyra dan Heri menikah, bagaimana coba, perasaan Bejo setiap lihat mantannya bermesraan sama sahabatnya sendiri? Atau apa jadinya Heri saat tahu kalau yang Lyra taksir sebenarnya Bejo, bukan dirinya?