A Ray of Hope

Shirley Du
Chapter #9

FLYING

Pesawat kecil berkapasitas enam penumpang ini sebenarnya memiliki bentuk yang kurang meyakinkan. Atapnya terlalu rendah, jendela-jendela terbuka tanpa kaca, kursi penumpang tanpa sabuk pengaman dan sempitnya bukan main.

Kursi belakang tempat duduk terbuat dari besi atau plat ringan yang menyatu, jadi sebenarnya bisa diisi tiga orang. Tapi, menurut Greg si pilot, pesawat ini nggak akan kuat bila tambah satu orang lagi. Sisanya ada empat kursi, termasuk kursi pilot yang terpisah. Kursi penumpang ini terbuat dari plastik, kerasnya seperti kursi bioskop zaman dulu, atau kursi di halte bis kota, sama sekali nggak nyaman.

Awalnya aku sempat ragu, bagaimana mungkin pesawat yang terlihat seperti mainan ini bisa terbang tanpa standar keselamatan? Tapi apa boleh buat, mereka sudah siap berangkat. Rasanya nggak etis kalau membatalkan di detik-detik terakhir. Mau nggak mau aku harus menikmati perjalanan langka ini.

Urs duduk di sebelah pilot, sementara di Jason duduk di sampingku, menggantikan salah seorang teman Urs yang nggak jadi ikut. Mata Jason terus melihat berkeliling. Mungkin perasaannya juga nggak nyaman.

Selain kami berempat, dua orang teman Urs adalah perawat dan dokter. Pesawat seperti ini memang satu-satunya cara agar bisa mengunjungi beberapa kampung sekaligus. Karena untuk berkunjung ke desa lain, para penduduk asli masih berjalan kaki, atau mengandalkan perahu kecil dan kano. 

Langit cerah dengan angin sepoi-sepoi membuatku mengantuk. Tapi, bisingnya suara mesin dan para bule yang bercengkrama dengan gembira, berhasil membuatku tetap terjaga. Sebenarnya, Jason terlihat sedikit gelisah. Tapi, kehadirannya justru membuat perasaanku jadi aman. Akhir-akhir ini aku dan Jason memang jadi lebih dekat.

Aku tersenyum mengingat ucapan Vincent di telepon tadi malam saat memintaku langsung pulang setelah menyanyi.

 “Tadi malam kamu nongkrong sampai jam berapa, Ca?” Suara Jason memecah keheningan.

“Jam berapa ya? Aku tersenyum tipis. Gara-gara anak kitchen yang di Food and Beverage Department itu mengundangku barbeque night, tidurku jadi nggak bener!”

“Iya, mereka memang jagonya memanggang daging, ayam, sosis, udang, jagung, pokoknya semua yang mereka masak enak!” ujar Jason antusias. “Setiap hari Minggu mereka libur, kita juga libur. Jadi seperti tadi malam, kita bisa bersenang-senang, besoknya tinggal tidur seharian,” tambahnya. “6 bulan di sini berat kita naik 10 kg.”

Aku tertawa, lalu kembali menatap ke jendela, menikmati pemandangan yang terhampar di bawah sana. Gundukan bukit hijau yang lebat dengan pepohonan, terlihat misterius, indah sekaligus menyeramkan. Angin yang bertiup mulai terasa kencang sehingga rambutku yang tersibak sedikit mengganggu penglihatan.  

“Orang yang kamu telepon setiap hari itu pacar kamu, atau suami?” tanya Jason.

Tubuh Jason mendekat kepadaku, sehingga aku terpaksa merapat ke sisi badan pesawat, karena pria itu tidak mau duduk dekat jendela.

“Apa, ya...” jawabku tanpa mengalihkan tatapan dari pemandangan di bawah.

Pesawat semakin terasa sempit. Aku jadi nggak leluasa bergerak. Aku membayangkan para bule yang berbadan besar itu saling berdesakan juga.

“Wow! It's gonna be fun!” tiba-tiba salah seorang penumpang bule terlihat antusias.

Aku nggak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, tetapi sepertinya para bule itu sedang mempromosikan kehebatan pilot Greg yang membawa pesawat naik turun dalam keadaan cepat. Rasanya seperti sedang menaiki wahana roller coaster di Dufan.

Aku hanya tersenyum. Mau bagaimana lagi? Aku yang memutuskan untuk ikut, jadi aku hanya perlu menikmatinya. Sementara wajah Jason justru sedikit memucat, dia menggenggam tanganku erat-erat.

“Kenapa, Son, aku bukan balon gas yang harus dipegang erat-erat!” gerutuku.

“Sebenernya aku takut ketinggian, Ca. Mereka memang suruh kita persiapkan mental! Greg kalau lagi pamer begini bakal bawa pesawat seperti roller coaster. Aku sih nggak apa-apa, kamu takut nggak?” Suara Jason timbul tenggelam berbarengan dengan deru mesin pesawat.

“Aku nggak pernah takut apapun, Son! Pegangan saja kalau takut!” ujarku acuh tak acuh. Cowok apaan yang takut ketinggian? Trus kenapa dia mau ikut kalau takut? Bodoh!

Lihat selengkapnya