A Ray of Hope

Shirley Du
Chapter #10

10. ABOUT TOMORROW

“Kau nggak usah repot-repot tunggu aku, Ca. Kau masih muda, jalanmu masih panjang. Aku juga tahu di sekelilingmu banyak cowok baik-baik. Mungkin salah satu dari mereka jodohmu. Kau juga nggak perlu laporan sama aku kalau sudah punya cowok. Aku ingin kau menikmati hidupmu seperti aku menikmati hidupku. Setuju, kan?”

Begitu kata Vincent saat terakhir kali aku meneleponnya. Bisa dibilang, itulah yang membuatku kini seperti orang dungu. Saat melihat kisah cinta segitiga antara Lyra-Bejo-Heri, aku pikir aku nggak akan pernah sampai ke tahap itu. Kenyataannya, hubunganku dengan Vincent semakin jauh, sementara hubunganku dengan Urs dan Jason semakin dekat.

Bahkan, selama 5 bulan berikutnya, aku berpacaran dengan Roberts, salah satu teman Urs dari Australia. Dia adalah pria lajang yang tampan dan mapan, seorang atlit golf terkenal dari Tazmanian Golf Tournament.

Aku menikmati hari-hari terakhirku di Timika dengan bermain golf, membaca novel-novel klasik berbahasa Inggris milik Roberts, menikmati lagu-lagu di piringan hitam yang seleranya betul-betul mirip denganku, dan makan hampir semua masakan western kesukaanku yang harganya sudah pasti membuatku bangkrut kalau bayar sendiri.

Saat itu kami membuat pesta perpisahan kecil-kecilan. Roberts mentraktir seluruh anggota band Aijkwa makan di sebuah restoran bergaya koboy yang cukup ramai. Suasananya seperti di Texas, dengan dinding berwarna kayu dan lantai tanah. Kami minum bir, bermain game, bercanda dan tertawa bersama. Aku benar-benar merasa berada di Texas.

“What do you see for us in the future, Roberts? I want to know where this is going,” ucapku.

Aku bertanya kepadanya tentang bagaimana hubungan kami selanjutnya. Rasanya aku mulai menuyukai Roberts, meski aku nggak yakin apakah aku mencintainya atau nggak. Aku rasa, dengan adanya kebersamaan kami, lama-lama aku akan terbiasa. Jadi, aku anggap itu sebagai jatuh cinta. Aku nggak mau pulang ke Bandung dan menghadapi Mama lagi. Aku ingin di sini... menikah dan hidup baru di tempat asing yang jauh dari keluarga.

Roberts menggenggam tanganku lembut dan merangkulku agar bersandar di dadanya. Dia mengecup keningku lama, dan terdiam. “Look, honey. I just... I’m not the kind of guy who believes in marriage. I don’t see why we need a piece of paper to prove what we already have. You know how much I care about you, right?”

Robert berkata dengan lembut kalau dirinya nggak percaya pada pernikahan, meski di sisi lain aku tahu dia sangat perhatian. Dia memperlakukanku seakan-akan hanya aku satu-satunya perempuan di dunia ini.

“Roberts, It’s not about a piece of paper for me. It’s about commitment... building a future together, sharing everything. I’ve dreamed about getting married someday, and... I thought we were on the same page,” ucapku sedikit kecewa.

Bagiku pernikahan memang bukan tentang selembar kertas, tetapi tentang komitmen. Bagaimana membangun masa depan bersama, saling berbagi, dan segalanya. Aku memang ingin melarikan diri dari Mama, tetapi dengan cara yang benar. Aku nggak mau seperti Papa yang menghilang begitu saja.

Ya, bicara tentang Papa, aku memang nggak menemukannya di Papua. Aku sudah mencarinya lewat semua koneksi yang aku punya, termasuk teman-teman Ayah Jason dan teman-teman Urs. Namun, jejak Papa sama sekali nggak kelihatan.

Lagi-lagi aku hanya mendapat berita palsu. Jadi, keinginanku untuk menikah semakin menggebu-gebu. Apalagi kalau suamiku orang bule seperti Roberts yang jujur dan blak-blakan. Dia juga lembut dan perhatian, hal yang jarang aku temukan dari teman-teman priaku yang berdarah asli Indonesia.

Roberts menatapku sedih saat aku bersikukuh untuk membicarakan masalah pernikahan.

“I just don’t get why things have to change. I love what we have. We’re happy, aren’t we?” ucapnya. Dia nggak mau keadaan ini berubah meski dia yakin hubungan kami baik-baik saja dan aku bahagia bersamanya.

I thought we were happy too. But... I want more. I need to know that you see me as your future, not just... someone you're with right now. sometimes I wonder if this distance will break us. What if you find someone else?” ucapku.

Aku tahu hubungan kami baik-baik saja dan aku bahagia. Namun, rasanya aku ingin lebih. Aku harus yakin kalau aku ada dalam agenda masa depannya, bukan hanya hubungan saat ini saja. Aku juga sangsi apakah jarak akan menghancurkan hubungan ini. Bagaimana kalau dia menemukan orang lain?

“I don’t want to lose you, sweetheart... But I don’t know if I can be the man you want me to be,” ucapnya.

Bibirnya sedikit bergetar saat dia mengatakan nggak ingin kehilangan diriku, tetapi dia sendiri nggak yakin apakah dia bisa menjadi pria yang aku inginkan.  

 Lalu... bagaimana denganku?

Aku juga jadi nggak yakin dengan perasaanku sendiri. Saat seperti ini, aku kembali ingin menghubungi Vincent dan bertanya tentang pendapatnya. Meski jarak kami sudah sejauh ini, aku masih belum bisa melenyapkan keberadaannya. Apakah orang yang aku cintai sebenarnya Vincent?

Lihat selengkapnya