...So kiss me and smile for me... tell me that you’ll wait for me
Hold me like you’ll never let me go
‘Cause I’m leaving on a jet plane, I don’t know when I’ll be back again
Oh Babe, I hate to go... ‘Cause I’m leaving on a jet plane... leaving on a jet plane....
Lagu itu jadi lagu wajib yang sering aku nyanyikan ke manapun aku pergi. Entah keajaiban apa yang membuatku tiba-tiba merasa rindu. Ya, rindu betulan kepada Vincent.
Aku sendiri bingung, entah dari mana rasa rindu itu tiba-tiba muncul. Aku nggak kangen sama Roberts, mantanku yang selalu bersikap manis dan romantis, tetapi perasaanku justru menggebu-gebu ingin ketemu Vincent, pria yang nggak pernah bersikap manis kepadaku.
Aku tahu Vincent nggak mencintaiku, karena dia nggak pernah mengatakan tertarik kepadaku atau ingin berjumpa lagi denganku. Dia nggak pernah janji apa-apa, atau memastikan perasaannya kepadaku. Justru dia selalu bilang lihat saja nanti.
Aku sudah berusaha menyibukkan diri untuk menenangkan perasaanku sendiri. Di Semarang, aku tampil dalam beberapa acara televisi lokal. Sementara di Solo, aku rela menambah jam show hanya demi memuaskan hasratku bernyanyi. Belum lagi saat di Yogyakarta dan di Surabaya.
Sejak menjadi artis show, bayaranku memang naik 10 sampai 20x lipat dalam sekali tampil. Selain biaya hotel dan makan 3x sehari yang ditanggung, aku juga mendapat tiket pulang pergi untuk 2 orang.
Kalau biasanya aku kontrak untuk 1-3 bulan, sebagai artis show aku hanya teken kontrak 1 sampai 2 minggu saja. Itulah sebabnya kebanyakan artis show memiliki asisten pribadi, minimal seorang teman yang membantu mengurusi keperluannya setiap pindah kota dan perform. Jadi, aku mengajak Rin, kenalanku yang pekerjaan sehari-harinya menyobek karcis bioskop di Studio 21.
Gadis itu juga mencari uang dengan menemani pria-pria berkantong tebal. Jadi, dia sangat senang saat aku mengajaknya ikut ke kota-kota besar di Jawa, sampai ke Surabaya. Biasanya, saat ada tamu yang macam-macam, Rin akan dengan senang hati menawarkan dirinya menggantikanku.
“Pokoknya, tugas lo cuma nyanyi, Ca. Urusan lainnya serahkan aja ke gue. Mulai dari kostum, make up, makanan, vitamin, obat-obatan, sampe ngurusin om-om girang. Lo nggak usah bayar gue, cukup tanggung tiket, penginapan, sama makan aja,” ucapnya.
“Memangnya kerjaan lo gimana, Rin? Bisa cuti?” tanyaku.
“Aman atuh, Ca! Gue mah flexibel. Bisa kerja, bisa nggak. Suka-suka gue. Selama ada yang mau sama gue, pasti gue terima,” ucapnya. “Gue juga sama kayak lo, harus punya uang buat pengobatan Mama, biaya sekolah adik, dan ngurusin Papa. Tapi gue nggak bisa nyanyi, nggak punya keahlian apa-apa, dan nggak sekolah tinggi. Jadi, gue cuma bisa seperti ini.”
“Gue sih gimana lo aja, Rin. Selama lo mau ikut gue dan ada jatahnya, ya hayuk aja!”
Rin senang ikut jalan-jalan bersamaku. Dia bisa mengunjungi banyak kota di Jawa, dan mampir ke tempat-tempat wisata. Dia juga bisa bertemu dengan banyak orang sepertiku.
Di Surabaya, aku bernyanyi dalam salah satu acara pagelaran busana karya perancang terkenal Indonesia, yang dihadiri juga oleh beberapa artis dan penyanyi terkenal. Di Semarang dan Solo, aku juga beberapa kali berkolaborasi dengan penyanyi-penyanyi senior yang bahkan lupa lirik lagunya sendiri. Begitu juga di Yogyakarta. Rin juga menikmatinya.
Meski ada beberapa yang menawariku untuk menjadi artis rekaman, aku belum mau menerimanya. Aku cukup puas hanya menjadi artis show dan nggak berminat menjadi artis rekaman.
Aku ingin bebas melakukan apa saja yang aku mau. Bahkan, aku juga masih sering menelepon Vincent untuk menceritakan hari-hari yang aku lewati. Aku rasa, sejak dulu Vincent sudah pasrah menjadi diariku. Dia selalu mendengar cerita-ceritaku dengan penuh perhatian.
Saat jadwal Vincent ke Bandung diundur, aku justru senang karena kesempatanku untuk bertemu dengannya semakin besar. Aku ingin bertemu dengannya setelah kontrak-kontrakku selesai.
“Memangnya Vincent itu seperti apa, sih?” tanya Rin saat itu. “Lo yakin dia nggak pernah selingkuh? Bisa aja, kan, dia terima telepon lo sambil di sebelahnya ada cewek?”
Aku tertawa mendengar ucapan Rin. “Menurut gue sih dia ganteng, tinggi, dan perhatian. Tapi gue nggak yakin dia itu naksir atau nggak sama gue. Kelihatannya selama ini dia cuma anggap gue sebagai adik aja. Soalnya, dia nggak pernah ngomong suka sama gue.”
“Ada juga cowok kayak gitu, ya. Kirain gue cuma di lagu aja,” ucapnya.
“Harusnya kan kalau iya, bilang saja iya. Kalau nggak, bilang nggak!”
Mau nggak mau, ucapannya membuatku tersenyum. Mungkin memang belum waktunya kami mengenal perasaan masing-masing. Aku sendiri sebetulnya nggak yakin apakah aku menyukainya, atau hanya menganggapnya sebagai Kakak.