Kota Batam terletak di Pulau Batam, yaitu sebuah pulau di provinsi Kepulauan Riau. Pulau yang sangat dekat dengan Singapura, Malaysia dan Pulau Bintan. Pulau ini juga merupakan kawasan perdagangan bebas yang disebut FTZ, singkatan dari Free Trade Zone kawasan Sijori, yaitu Singapura, Johor, dan Malaysia. Itu sebabnya banyak pengusaha dari 3 wilayah itu yang berkumpul di Pulau Batam.
Kembali ke Pulau Batam membuatku teringat kepada Mr. Gho. Saat aku meminta jadwal menyanyi kepada Pak Tonghua, Manager di klub milik Mr Gho, aku kira aku akan kembali bertemu pria itu karena menyanyi di klubnya. Ternyata aku salah. Mr. Gho sudah pindah dan klubnya sudah pindah kepemilikan meski tempatnya masih di kawasan Jodoh.
Selain di klub Jodoh, Pak Tonghua juga memberiku jadwal show di hotel baru yang letaknya di dekat pantai, sekitar 15 menit berkendara dari Teluk Jodoh. Dari situ, aku bisa melihat gedung-gedung negara Singapura yang megah. Saking dekatnya, kita hanya butuh 45 menit sampai 1 jam saja menuju ke Singapura dengan menggunakan feri. Baik dari pelabuhan Sekupang, Batam Center, dan Harbour Bay.
Seorang pemain piano paling jenius di Pulau Batam saat itu bernama Dodo, pria berdarah Tionghoa yang ramah dan lucu. Aku akui, meski Pulau Batam adalah salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Riau, tetapi mayoritas penduduknya adalah keturunan Tionghoa. Setidaknya aku bekerja di antara mereka karena uang tipsnya juga jauh lebih banyak. Untuk itulah aku menyanyikan lagu-lagu Cina dan mulai mempelajari bahasanya.
Para tamu sangat menyukai nyanyianku, begitu juga Dodo. Dodo memperkenalkan aku dengan salah seorang konglomerat asal Batam, pemilik real estate terbesar di Batam. Kami memanggilnya Babeh. Dia adalah seorang pria keturunan Cina, salah satu pemilik saham terbesar di Bank top Indonesia. Bayangkan saja, setiap dia mau menabung, bukannya datang ke bank, tetapi orang bank yang datang ke rumahnya.
Dodo dan Babeh menjulukiku “artis show jenius.” Aku menjadi bangga dibuatnya. Apalagi karena Babeh sangat menyayangiku, seperti menyayangi anak perempuannya sendiri. Dia menyuruhku tinggal di rumahnya selama tinggal di Batam, dan bebas menggunakan salah satu mobil, lengkap dengan sopirnya.
Karena Dodo, aku mendapat jadwal lain setelah show 1 minggu di 2 tempat. Aku dikontak oleh manager dari sebuah klub lain dan manager dari hotel yang lainnya lagi. Jadi, dalam 1 hari saja, aku berpindah-pindah antara dua hotel dan dua klub. Sementara pada hari Minggu, ada sebuah restoran juga yang mengontakku untuk tampil di siang hari. Jadi, setiap hari Minggu, aku tampil di 5 tempat. Wow!
Semua karena campur tangan Dodo. Dodo juga yang menjadi sopir pribadiku selama aku tinggal di Pulau Batam dan tinggal di rumah Babeh.
“Lu sudah punya cowok ya, Ca?” tanya Babeh.
Pria berusia lebih dari 60 tahun itu bicara dengan santai. Dia menggunakan bahasa campuran dengan dialek Hokkian, “Lu” dan “Gua” untuk saya dan kamu. Gaya bicaranya seperti anak muda, tetapi kata-katanya terdengar bijak dan kebapak-an. Berbeda dengan Mr. Gho, aku benar-benar menganggap Babeh seperti ayahku sendiri. Bahkan, setelah memiliki Babeh, rasanya aku nggak membutuhkan Papa lagi.
“Memangnya kenapa, Be? Mau cariin aku jodoh, ya?” candaku.
Babe tertawa, lalu mengangguk. “Lu mau dijodohin? Emangnya lu nggak laku?”
“Enak aja! Laku dong, Be!” protesku. “Ada, sih, cowok yang aku suka. Tapi dia di universe yang berbeda. Kita cuma bisa saling tanya kabar dan cerita aja tiap hari,” ucapku.
“Kenapa kalian nggak jadian aja? Friendzone, ya?” goda Babe. “Emangnya lu tahu perasaan dia? Lu tahu umurnya, pekerjaannya, keluarganya, terus ngapain aja dia selama ini?”
Aku tertegun. Babe benar. Selama ini aku hanya bercerita tentang diriku kepada Vincent tanpa mendengarkan kisahnya. Bagaimana mungkin aku tahu perasaannya kalau selama ini dia hanya mendengarkanku?
“Cowok lu tahu nggak kalau lu tinggal di sini? Lu sudah cerita ke Emak lu tentang dia?” tanya Babeh lagi. “Eh, sorry, nanya terus. Kebiasaan interview karyawan,” ucapnya.
Aku tertawa. “Jawab yang mana dulu, ya... Kalau Vincent, dia tahu tentang Babeh. Aku selalu cerita ke dia apa saja yang aku kerjain setiap hari. Jadi aku ceritain tentang Babeh, Dodo, dan teman-teman Babeh semua. Tapi, aku nggak tahu apa-apa tentang Vincent. Soalnya aku nggak pernah tanya apa-apa tentang dia. Kalau Mama....”
Aku menggeleng lemah. “Mama nggak pernah mau tahu apa aja yang aku kerjakan, apa keinginanku, atau siapa orang yang aku suka, Beh. Mama itu... lebih suka kalau aku cari uang sebanyak-banyaknya buat keluarga. Dia sama sekali nggak sayang sama aku.”
“Enggak mungkin lah, Ca. Setiap orang tua pasti sayang sama anaknya, tapi nggak semua orang tua bisa nunjukin rasa sayangnya. Ada orang tua yang ngomongnya kasar, tetapi sebenarnya dia nggak bermaksud seperti itu,” kata Babeh. “Kalau tentang Vincent, lu harus mulai tanya-tanya tentang dia. Kalau lu suka sama dia, lu juga harus bisa kasih perhatian.”
Aku kembali tersenyum mendengar nasihatnya.
“Siap, Beh. Aku bakal belajar banyak dari Babeh.”
Pria itu tertawa renyah. Walau bagaimana pun, aku bersyukur bisa mengenal Babeh.
“Kalau tentang Mama, kayaknya nggak begitu, Beh. Dari kecil Mama sudah benci aku karena aku mirip Papa. Papa itu suka KDRT dan tukang selingkuh. Itu sebabnya Mama benci sekali sama Papa dan aku.”
“Lu jangan lupa kalau mereka pernah menikah, Ca. Emak lu bisa benci Bapak lu juga karena dulunya benar-benar cinta,” ucap Babeh. “Lu harus bisa memaafkan Emak lu. Bukan demi dia, tapi demi diri lu sendiri. Ca, orang yang menyimpan dendam atau kesalahan orang lain itu kayak nyimpen sampah di dalam diri sendiri. Di mana-mana, sampah itu bakal membusuk dan berbau. Yang rusak ya diri lu sendiri.”