“Apa kabar hari ini?” tanya Vincent. “Babe sudah berangkat ke Singapura?”
“Yeah!” jawabku lesu.
Seperti biasa, aku menelepon Vincent sesaat setelah bangun tidur, hanya untuk menceritakan kabarku di klub atau di hotel setiap malam, dan memberitahukannya tentang perasaanku setelah bangun.
Namun, kali ini, aku ingin tahu tentang Vincent. Apa yang terjadi dengan dirinya?
“Abang bagaimana?” tanyaku. “Sudah sibuk di proyek lagi?”
“Tumben nanya!” serunya. “Proyekku sudah hampir selesai. Ini sedang cari-cari kerjaan baru. Sampai kapan kau di Batam?” tanyanya.
“Seharusnya sih sampai minggu depan. Memangnya kenapa, Bang?” tanyaku.
Vincent nggak menjawab. Dia terdiam cukup lama sampai aku jadi merasa canggung. Jadi, aku mulai bercerita lagi tentang pengalamanku saat menonton pagelaran fashion show waria di salah satu diskotik.
“Aku tahu,” ucap Vincent. “Kau pergi ke situ dengan adikmu dan temanmu, ya... apa cowok gondrong itu yang namanya Dodo?”
“Loh? Kok Abang bisa tahu, sih! Abang punya teman di sini?”
“Kan sudah aku bilang kalau temanku banyak. Bukan cuma di Palembang, Bengkulu, atau Jambi. Aku juga punya teman di situ.”
“Astaga! Jangan-jangan selama ini Abang mata-matain aku!”
“Kau takut? Memangnya selama ini apa yang sudah kau lakukan? Tanyanya.
Aku tertegun. “Apa, ya... belanja, ke salon, cari lagu-lagu baru... memangnya apa lagi yang sudah aku lakukan?”
Vincent tertawa. Aku sama sekali nggak merasa membuat kesalahan. Ups! Kenapa dia harus peduli? Kenapa juga aku harus merasa bersalah kepadanya? Bukankah di antara kami nggak ada ikatan apa-apa?
“Gimana tampang warianya? Cantik?” tanyanya lagi. “Itu kan ada juaranya, ya?”
“Oh iya!” seruku antusias. “Juara pertamanya jauh lebih cantik dari perempuan. Bahkan dibandingkan aku, dia lebih anggun, kulitnya mulus, make up nya nggak berlebihan, dagunya tirus, badannya langsing, pokoknya cantik banget! Juara kedua dan ketiganya juga seperti model-model Victoria Secret. Gaunnya cantik-cantik, tinggi, wangi, pokoknya cewek-cewek pada kalah!”
Vincent tertawa. “Kalau mau bandingkan sama kau ya jelas mereka lebih anggun. Mereka kan kerjanya memang dandan dan bersolek, nggak seperti kau yang sibuk dan rusuh. Haha...!”
“Memangnya aku se-rempong itu?” protesku.
“Enggak juga. Hanya sibuk aja, sih!” ucapnya ringan. “Enjoy your days, Ca. Jaga kesehatan,” ucapnya sebelum mematikan sambungan telepon.
Aku tertegun. Lagi-lagi aku gagal berkomunikasi secara dua arah. Seperti biasa aku terjebak dengan ceritaku, pengalamanku, hari-hariku, dan segalanya tentang aku. Aku memang egois, kurang memahami perasaannya.
Babe masih di Singapura dan Ina sudah pulang ke Bandung, sementara kedua karyawan Babe sudah berangkat kerja. Rumah ini jadi terasa sepi tanpa kehadiran mereka. Aku bisa membayangkan bagaimana kesepiannya Babe selama ini.
Saat aku duduk sendirian di meja makan panjang dengan menu prasmanan dalam porsi kecil tetapi banyak macam, semuanya menu mahal dari restoran yang membangkitkan selera. Sementara di rumah, Mama hanya akan membuat 2 jenis masakan dibarengi dengan sungut-sungut. Mama akan mengeluh mulai dari suhu udara, harga sayuran, kesehatan, sampai kegiatan tetangga.
Mungkin itu yang membuat Papa kabur. Toh aku juga nggak sanggup kalau setiap hari harus menghadapi orang yang terus-terusan mengeluh.
Minggu ini adalah minggu terakhir aku tampil di klub dan hotel milik Pak Tonghua. Jadi, mulai minggu depan, aku hanya perlu tampil di dua tempat saja sebelum akhirnya pulang ke Bandung.