A Ray of Hope

Shirley Du
Chapter #14

Surprise!

1999 itu angka bagus. Maksudku aku suka angka 9. Saat di sekolah, nilai raporku memang nggak pernah lebih dari angka 9. Sementara 10 itu adalah angka 1 dan 0, artinya 0. Aku nggak suka angka 0.

Hidupku di tahun ini juga seperti roller coaster. Naik dengan susah payah, lalu turun dengan cepat untuk nanti naik lagi dengan susah payah.

Namun, harus aku akui. Mendapatkan Babeh dalam hidupku itu seperti menatap matahari terbit dari puncak gunung. Begitu cerah dan hangat, sehingga rasanya aku ingin waktu berhenti di sini saja.

Sayangnya, hari ini aku harus menghadapi Pak Pardi dan genk nya. Mungkin bukan genk kapak seperti dalam film Kungfu Hustle, mengingat pengunjung dan karyawan di klub ini hampir semuanya keturunan Tionghoa. Namun, rasanya tetap mendebarkan.

Aku melangkah perlahan memasuki ruangan dengan mata jelalatan, berharap menangkap satu saja gerakan aneh dan menjadikannya alasan untuk kabur.

Sayangnya semua terlihat baik-baik saja. Saat itulah aku menangkap pemandangan yang tidak biasa. Seluruh ruangan terlihat ramai dengan pejabat berpakaian preman. Ada Bareskrim, rombongan dari Polres, Polsek, sampai dari BNN juga ada. Astaga!

Pak Tonghua yang tengah duduk bersama Bareskrim mengedipkan mata dengan senyum penuh arti. Di sudut lain, terlihat rombongan Pak Pardi dan beberapa temannya yang tengah tertawa-tawa bersama teman-teman dari Dinas Pariwisata.

Aku jadi tersenyum sendiri. Ini adalah malam terakhirku menyanyi di tempat ini. Malam yang meriah!

Aku menyanyikan banyak lagu Indonesia dan lagu daerah untuk menghargai para polisi yang kebanyakan berasal dari Sumatera. Aku juga bernyanyi bersama kepala Bareskrim, dan para polisi dengan pangkat tinggi.

Aku benar-benar mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Tonghua yang sudah mempercayai dan melindungiku selama bekerja bersamanya. Ternyata malam itu aku lewati dengan aman dan damai, jauh dari bayanganku.

“Kamu pasti tahu, Ca. Enggak semua penyanyi bisa dipegang kata-katanya. Tetapi, sejak dulu saya percaya sama kamu,” ucapnya.

“Aku tahu,” ucapku. “Waktu minta Bapak kirim uang tiket supaya aku bisa berangkat ke Batam langsung dari Jambi nggak lewat agency, sebenarnya aku juga nekat. Kalau Pak Tonghua nggak percaya aku, mungkin akulah penyanyi yang terbunuh malam itu.”

Pak Tonghua terlihat menelan ludah. Dia tersenyum lembut dan berkata, “Kamu adalah salah satu artis andalan kami di Batam. Saya nggak akan pernah meragukan kamu. Kamu jenius, profesional, dan nggak macem-macem. Bukan saya yang bilang, loh. Para pengunjung yang nge-fans sama kamu. Pokoknya, kapan saja kamu mau nyanyi ke Batam, hubungi saya. Saya pasti bantu.”   

Xiexie, Pak. Sampai nanti! Aku masih satu minggu di sini karena masih ada kontrak di 2 tempat lagi,” ucapku.

Pak Tonghua mengangguk dan tersenyum. “Sukses ya, Ca!” serunya sambil menepuk pundakku pelan.

Aku melambaikan tangan ke arah para tamu dan Pak Tonghua. Aku juga berpamitan kepada para pelayan, seolah-olah ini adalah hari terakhirku di pulau Batam. Begitu juga yang aku lakukan di hotel dekat Teluk Jodoh. Entah kenapa rasanya aku akan merindukan tempat ini.

Saat aku bernyanyi di klub yang kedua, suasananya lebih aneh lagi. Selesai perform, manager klub yang bernama Anto, memanggilku dengan tampang serius.

“Ca, gua lupa bilang sama lo. Dua hari lalu ada cowok telepon, katanya mau bawa lo jalan ke luar. Terus gua jawab kalau lo bukan penyanyi seperti itu. Semua di sini juga sudah tahu kalau nggak ada yang bisa maksa lo pergi kalau lo nggak mau pergi. Lo juga nggak suka macam-macam, jadi siapa yang berani macam-macam harus berhadapan sama gua.”

Aku tersenyum lebar. “Terus kenapa baru sekarang kamu cerita?”

“Cuma mau mastiin kalau jawaban gue udah bener, kan?”

Aku tertawa mendengar ucapannya. Usia Anto memang nggak jauh dariku. Menurutku sih begitu. Yang jelas dia belum menikah dan lumayan manis.

“Ca, tamu dari Singapura yang kemarin kasih lo kalung dollar datang lagi!” tukasnya. “Gila lu, ya. Terima tantangan dia, lo rela begadang buat belajar lagu tua macam lagu Wang Cao Qin dan Xi Fung. Keren, sih, jerih payah lo terbayar pakai dolar! Pantas banyak yang julukin lo artis jenius. Cepat banget menghapal lagu.”

“Thanks, To. Sekarang bikinin gue minuman!” ucapku.

Aku segera masuk ke ruang ganti dan bersiap. Sesaat sebelum aku naik ke panggung, ponselku berbunyi. Aku mengangkatnya sedikit terburu-buru karena mengenali nomor telepon yang masuk.

“Kak, ada cowok datang ke rumah, ngakunya teman Kakak. Dia tanya Kakak di mana, ya aku bilang di Batam,” ucap Ina.

“Orangnya kayak gimana?” tanyaku.

“Ganteng, sih. Tinggi, rapi, cina,” ucapnya. “Kalau nggak salah namanya Vincent.”

“Hah?” Tubuhku menegang. “Yang bener aja, Na!”

“Serius, Kak. Dia cuma pulang pergi kemarin. Aku nggak sempat banyak tanya. Cuma waktu aku bilang Kakak di Batam dia manggut-manggut doang.”

Aku tertegun. Sampai hubungan telepon terputus, aku masih nggak tahu mau bersikap bagaimana. Benarkah itu Vincent? Mau apa pria itu ke Bandung?

Lihat selengkapnya