A Ray of Hope

Shirley Du
Chapter #15

CATCH ME!

Aku nggak tahu bagaimana cara menilai hati seseorang. Vincent adalah satu-satunya cowok yang nggak pernah membuatku kecewa. Maksudku bukan hanya karena dia punya wajah ganteng dan postur tubuh yang sesuai menurut versi tipe idamanku, tetapi juga punya otak yang brilian dan pandai bicara.

Aku akui kalau salah satu kriteria cowokku adalah dia harus lebih pintar dariku. Bukannya mau menyombongkan diri, tetapi aku pernah berpura-pura bodoh demi seorang cowok, lalu aku dibodoh-bodohi. Ceritanya waktu SMA, aku pernah naksir kakak kelas yang menurutku cukup ganteng, putih, dan tinggi.

Dia keturunan Belanda. Jadi, aku selalu berpura-pura kurang mengerti bahasa Inggris. Padahal, Opa selalu bicara dengan bahasa campuran denganku karena dia keturunan Portugis. Kadang-kadang, aku juga sering bertanya hal-hal yang sebenarnya sudah aku ketahui. Sampai-sampai, Pamanku pernah menegurku: “Kamu ini betulan nggak tahu atau sedang ngetest aja?”

Aku pikir, dengan terlihat bodoh di matanya bisa membuatnya jadi cowok yang superior dan selalu di sisiku untuk menjaga. Aku sudah kehilangan figur Papa sejak kecil. Jadi, setelah Opa meninggal dunia, aku ingin mencari sosok yang mau melindungi dan menyayangiku.

Ternyata aku keliru. Dia terlalu narsis dan terlalu terkenal di sekolah untuk menjadi seseorang yang mencintaiku apa adanya. Saat dia menganggap aku bodoh karena nggak bisa berbahasa Inggris, dia menemui seorang gadis dari sekolah bahasa asing di Bandung. Jurusan bahasa Inggris.

Dia mulai menghitung kelemahan-kelemahanku, termasuk menghakimi keluargaku yang dianggapnya menyusahkan. Dia membiayai kuliahku dan segala hal tentang dirikui, tetapi nggak mau tahu dengan kebutuhan keluargaku.

Aku benci harus mengakui kalau dia benar. Tetapi pada saat itu, Mama memang mendikte semua yang aku lakukan dan kerjakan, menjebakku dalam keadaan yang membuat aku harus mencari uang untuk keluarga. Dan dia menyerah untuk mencintaiku. Dia berselingkuh dengan membiayai perempuan dari sekolah bahasa itu dan tinggal bersamanya layaknya suami istri.

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu.

Aku terguncang, nggak menangis tapi kecewa, sakit hati, dan rasanya ingin mati. Aku menyalahkan keadaan keluargaku, aku menyalahkan pria itu, dan aku menyalahkan hatiku karena mudah jatuh cinta.

Lalu, aku mulai tenggelam dalam pekerjaan, berusaha selalu memenuhi keperluan Mama dan adik-adik, sampai aku terjebak dalam identitasku sebagai penyanyi Night Club dan bertemu Vincent. Saat itulah aku memutuskan jadi diriku sendiri di depan pria itu.

Vincent punya aura seperti Opa. Dia menjagaku, menasihati, melindungi, dan pengertian. Meski aku labil dan sulit mengambil keputusan, bahkan sulit mengetahui perasaanku sendiri, Vincent lebih memahamiku dibanding diriku sendiri.

Itu terbukti dengan berbagai macam peristiwa yang aku hadapi, dan kami hadapi bersama. Dia menjagaku dari gerakan 1998, menjagaku dari para mafia di kota Bengkulu, sampai diam-diam mengirimkan teman-teman premannya untuk melindungiku di Pulau Batam.

Ya, ternyata Pak Pardi nggak bisa berkutik bukan hanya karena para polisi yang mengelilingiku, tetapi juga para preman Palembang yang sudah diancam oleh Vincent dan teman-temannya untuk nggak menggangguku.

“Sebetulnya, apa rencana Abang sampai menyusul ke Bandung dan Batam?” tanyaku.

“Aku ingin memulai sesuatu yang baru. Aku mau keluar dari zona nyaman dan memulai hidup yang baru dan benar,” ucapnya. “Aku mau berhenti bergaul dengan anak-anak yang nggak beres dan mulai serius memikirkan masa depan.”

Aku menatap takjub. “Masa depan?” ulangku. “Dengan datang ke Bandung dan ke Batam untuk bertemu aku?”

“Ya. Kalau kau nggak keberatan, aku ingin memulai masa depanku dengan kau.”

Aku terperangah. Mulutku membuka dan mataku membelalak tanpa bisa aku kendalikan.

Sementara Papa meninggalkan Mama, aku, dan adik-adik demi entah apa pun itu, Kakak kelasku yang memilih perempuan lain karena menganggap hidupnya akan hancur kalau bersamaku, dan Roberts yang meninggalkanku demi menggapai mimpinya, Vincent justru datang menemuiku sebagaiu langkah awal masa depannya.

Apa dia sudah gila? Atau dia benar-benar mencintaiku? Bukankah dia sendiri yang bilang kalau aku harus mencari cowok lain yang lebih pantas untuk aku cintai?

Vincent si “anak-mami” yang selalu hidup nyaman di bawah nama dan harta orang tua. Pria yang dengan popularitasnya bisa bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat di kotanya, bahkan di kota-kota lain di sekitarnya, justru memilihku sebgai salah satu langkah menuju masa depan.

Apakah ini waktu yang tepat buatku merasa terharu, atau justru seharusnya aku takut karena nasib seseorang ada di tanganku, atau aku sedih karena mungkin ini adalah awal dari hilangnya kebebasanku?

  Ah! Entahlah!

Lihat selengkapnya