Mama betul-betul marah. Dia memutuskan untuk meninggalkanku yang sedang sakit dengan membawa serta semua adik-adikku, termasuk Ina. Tentu saja aku jadi kebingungan. Semua berubah sejak pertengkaran itu.
Aku teringat wajah Papa yang sangat bahagia saat melihatku dan Mama datang ke Madiun. Papa menangis, sementara istrinya, yang bernama Ani, wanita bertubuh kecil seperti Mama, hanya menatap kami dengan tatapan kosong.
Papa nggak bicara apa-apa. Dia nggak minta maaf karena telah meninggalkan kami, atau bicara tentang rindu kepadaku atau Mama. Jadi, nggak ada pertemuan yang mengharukan antara kami setelah terpisah bertahun-tahun lamanya. Semua berjalan seperti nggak pernah terjadi apa-apa.
Atau karena aku nggak tahu bagaimana perasaanku saat itu. Aku hanya terdiam kaku dan kikuk.
“Kakak sudah dewasa.” Hanya itu yang Papa ucapkan kepadaku.
Jadi, aku menatapnya tajam. Sepasang anak Bu Ani yang bermain gembira bersama kakeknya seakan nggak peduli akan kehadiranku. Hanya ada seorang anak kecil yang menatapku malu-malu dari balik kaki sang Kakek. Namanya Maryani alias Yani, putri Papa bersama Bu Ani.
“Kakak Ica?” tanyanya lembut. “Papa bilang Kakak Ica mau pinjam Papa. Jangan lama-lama, ya!” ucapnya.
Aku menatap gadis kecil itu dan menatap Papa bergantian dengan tatapan bingung. Saat itu, aku masih sering show ke luar kota, dan sesekali perform di beberapa kafe, night club, dan diskotik di kota Bandung. Jadi, aku nggak akan sering berada di rumah kalau pun Papa ikut denganku. Sementara di rumah ada Mama dan suami barunya. Apa nggak awkward namanya?
“Sebenarnya apa rencana Papa?” tanyaku.
“Papa minta maaf,” ucapnya. “Papa ingin ikut kalian. Anak Bu Ani itu seperti psikopat, dia bilang mau bunuh Papa karena Papa nggak bisa apa-apa, nggak punya kerjaan lagi, dan... ”
“Maksudnya?” potongku bingung. “Bukannya Papa selama ini bekerja?”
“Sekarang Papa sudah sakit-sakitan,” ucapnya pelan. “Papa sudah nggak berguna, jadi keluarga Bu Ani benci sama Papa.”
Tanganku terkepal dan rahangku mengeras. Ini memang nggak masuk akal. Setelah Papa meninggalkan kami dan jadi sapi perah di keluarga barunya, sampai Papa nggak bisa bekerja lagi, mereka justru ingin membuangnya.
“Kita bawa Papa pulang, Ca,” ucap Mama.
“Terus Papa tinggal di mana?” tanyaku bingung. “Mama sama Om kan di rumah juga. Masa kalian tinggal bertiga?”
“Papamu bisa tinggal dengan Vincent, kan?” ucap Mama. “Kalau pun nggak, pokoknya bawa aja dulu Papa keluar dari rumah ini. Nanti kita pikirkan lagi.”
Begitulah kenapa akhirnya Papa justru tinggal dengan Vincent, orang yang belum tentu direstui Mama tetapi sudah dimanfaatkan. Lalu setelah Mama dan adik-adikku pergi dari rumah kontrakanku yang isinya 3 kamar, aku jadi merasa sepi.
Pertengkaranku dengan Mama membuat hatiku hancur, tetapi nggak membuatku putus asa. Aku kan nggak bisa berbuat apa-apa atas keputusan Mama. Aku hanya bisa tetap berpikir ke depan dan meninggalkan di belakang semua yang menghambat langkahku. Jadi, aku memutuskan untuk mengajak Papa, Vincent, dan teman sekamarnya untuk tinggal bersama di rumahku.
Saat itulah Vincent sadar kalau dia sudah banyak terlibat dalam kehidupanku, bahkan dengan keluargaku. Jadi dia memutuskan untuk mengenalkanku kepada keluarganya. Aku rasa, itu adalah salah satu sikap ksatrianya. Dia jujur, nggak berusaha menyembunyikan apa-apa dariku, dan dia juga nggak mau menyembunyikan aku dari keluarganya. Meski aku sendiri belum yakin dengan perasaanku.
Jadi, setelah Vincent dan Papa merawatku sampai sembuh, dia membawaku ke kota kelahirannya.
Awalnya, aku begitu bingung, canggung, dan takut. Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana. Bagaimana cara bicara yang benar, bagaimana berinteraksi yang benar, bahkan rasanya aku jadi bingung bagaimana cara bernapas yang benar.
Aku tinggal di rumah keluarga Vincent, keluarga yang sangat bertolak belakang denganku. Keluarga Vincent nggak pernah mengukur dengan uang, sementara keluargaku menilai segala sesuatu dengan uang.
Aku nggak akan membandingkan keluarga kami, karena memang nggak sebanding. Keluarga yang terkenal karena dermawan selalu berbeda dengan keluarga yang dianggap sering memanfaatkan.
Aku nggak bangga karenanya. Jadi, aku juga sangsi dengan perasaanku sendiri. Apakah aku benar-benar mencintai Vincent? Atau hanya karena Vincent satu-satunya pria yang selalu ada di sisiku?
Apa yang sudah aku korbankan untuk menunjukkan perasaanku yang tulus kepadanya?
Mungkin aku nggak bisa berpikir karena aku masih marah dengan cara berpikir Mama yang menurutku aneh. Atau aku sendiri yang aneh? Jadinya aku selalu merasa nggak percaya diri saat harus berhadapan dengan keadaan yang serius seperti ini. Aku masih terus sangsi.