Dalam keluarga besarku, aku belum pernah menghadiri pesta pernikahan semewah pesta pernikahanku sendiri. Semua terasa sempurna, membuatku seperti bermimpi.
Meski pernikahanku diadakan di kota kecil, tetapi pesta pernikahannya sendiri nggak bisa dibilang kecil. Pesta yang dimulai sejak matahari belum terbit sampai matahari sudah tenggelam itu benar-benar berkesan.
Tamu-tamu yang datang cukup berkelas meski nggak semua aku kenal. Pakaian yang cantik-cantik dan menu makanan yang cukup mewah juga tersedia, meski nggak semua sempat aku makan saking gugupnya. Penyanyi dan pemain musik yang indah dan menghibur, semuanya nggak mudah terlupakan.
Mulai dari pakaian pengantinnya, gedung pernikahannya, katering dan akomodasinya, dokumentasi dan hiasannya, semua sempurna. Belum lagi susunan acara dengan adat Tionghoa dimulai dari upacara penjempuatan yang dilakukan oleh pengantin pria, upacara pemberkatan, upacara tuang teh, penanda tanganan dokumen pernikahan, sampai acara resepsi yang luar biasa megah.
Bahkan, Babe mengirimkan “angpao” yang lumayan besar untuk pernikahanku, meski Babe nggak bisa datang karena pernikahanku di kota Bengkulu.
Satu hal yang nggak pernah bisa aku lupa adalah malam sebelum pernikahanku. Malam itu, leherku terasa tegang dan kepalaku sedikit sakit. Mungkin aku nervous karena besoknya harus menikah.
Tiba-tiba aku ketakutan dan sangsi dengan keputusanku sendiri. Apakah langkahku sudah benar? Apakah keputusanku untuk menikah dengan Vincent sudah tepat? Apakah aku benar-benar siap menikah?
Aku takut, tetapi nggak tahu harus bicara kepada siapa. Aku juga nggak tahu harus bertanya ke mana. Malam itu, tiba-tiba Mama memijat kakiku, dan menghhiburku dengan kata-kata yangh menyenangkan. Itulah saat-saat di mana aku merasa jadi seorang anak. Aku tahu, ternyata Babe benar. Mama menyayangiku meski nggak sebanyak adik-adikku yang lain.
“Waktu kecil, ubun-ubunmu lembut sekali, sampai umur 2 tahun masih berdenyut-denyut. Mama jadi takut,” cerita Mama. “Kamu itu cengeng, sakit-sakitan, kurus, dan mudah sakit. Tetapi kamu penurut.”
Aku tersenyum. Ternyata ada juga hal yang Mama ingat tentang aku. Hal ini membuat tubuhku jauh lebih rileks dan ketegangan di leherku jauh berkurang.
“Kamu senang sekali menyanyi, sampai-sampai kamu bisa menghapal banyak lagu, termasuk dialog dari kaset cerita anak-anak. Kamu juga nggak pernah menolak kalau disuruh menyanyi.”
“Bukannya waktu aku kecil Mama dan Papa sering bertengkar dan Mama sering kabur, lalu aku ditinggal,” ucapku. “Tapi ternyata Mama ingat juga hal-hal kecil tentang aku.”
“Mama masih kecil waktu menikah dengan Papamu. Jadi, Mama nggak ngerti apa-apa. Mama masih ingin main, ingin sekolah, tetapi sudah harus di rumah urus anak. Jadi, Mama frustrasi dan melampiaskan semua ke kamu,” ucap Mama pelan.
Aku rasa, itu adalah waktu di mana sebenarnya Mama sedang meminta maaf, tetapi gengsi mengakuinya. Walau bagaimana pun, bagiku itu saja sudah cukup. Aku senang karena di malam sebelum pernikahanku, Mama memberiku perhatian yang sangat aku butuhkan.
Sepanjang acara, aku hanya berharap semua lancar dan nggak ada hambatan, karena dengan begitu aku yakin kalau aku akhirnya menikah. Ya, hubungan cinta kami yang sedikit canggung karena dimulai dengan doa bersama, akhirnya sampai juga ke tahap pernikahan.
Apakah aku bahagia?
Saat itu aku hanya berpikir... bagaimana selanjutnya? Apakah ini yang aku inginkan dan impikan?
Setelah upacara pernikahan, barulah aku menyadari apa yang selama ini dialami Mama dan Papa. Ternyata... dalam sebuah pernikahan, cinta saja nggak cukup.
Vincent bukan pria romantis, bukan pria penyayang yang berusaha untuk menyenangkan hati orang lain dan menunjukkan rasa sayangnya. Dia sama canggungnya dengan aku dalam menjalankan hubungan, dan hanya melakukan apa saja yang ingin dia lakukan sesuai suasana hati.
Kalau sebelumnya aku hanya sibuk dengan diriku sendiri, setelah menikah aku harus mulai membangun rumah tanggaku sendiri. Kalau sebelumnya aku selalu bertanya kepada Vincent dan bercerita kepadanya, kali ini... dialah sumber ceritaku, dan aku nggak tahu harus bercerita kepada siapa.
Aku sama sekali nggak yakin apakah cintaku bisa disebut cinta sejati.
Kehadiran Papa dalam hidupku ternyata nggak membawa perubahan apa-apa. Mama masih dalam prinsipnya untuk “nggak akan menginjakkan kaki ke rumahku selama ada Papa.” Sementara Papa begitu asyik dengan dunianya sendiri.
Saat pernikahanku dan Vincent, Mama dan Papa memang akhirnya duduk bersama, meski saling bertolak belakang. Sepanjang perjalanan dari Bandung ke Bengkulu dan sebaliknya, Mama terus marah-marah sampai seluruh keluarga yang ikut dalam mobil mendengar pertengkaran mereka.
Begitu juga ketika mereka datang ke Bengkulu dan memenuhi undangan dari mertuaku. Baik setiap sarapan, makan siang, dan makan malam. Bahkan saat mereka mengunjungi beberapa tempat wisata selama ada di kota Bengkulu. Mama terus marah-marah.
Ternyata, Papa nggak sesakit yang aku kira. Papa makan banyak, dan bisa melakukan aktivitas apapun. Setelah kembali ke Bandung, Papa memang membantu Vincent bekerja, tetapi keuntungannya untuk diri sendiri. Kadang-kadang dia juga berbohong dan mengambil keuntungan dariku dan Vincent, dan menyimpannya untuk diri sendiri. Atau untuk mengirimkannya kepada Yani.