A Ray of Hope

Shirley Du
Chapter #18

WHEN THE GOING GETS TOUGH

Hari-hari selama aku nggak berdaya adalah hari terburuk sepanjang hidup. Kebayang, kan, aku yang biasanya selalu aktif mencari uang sejak SMA, nggak pernah takut terhadap apa pun dan siapa pun selama aku bisa mencari uang sendiri, tiba-tiba harus terbaring lemah di rumah sakit dengan jahitan di sepanjang perut.

Bukan itu saja, berbagai selang juga “tertancap” di tubuhku. Mulai dari selang kateter, selang infusan dan antibiotik, selang oksigen, selang nasobiliary drain yaitu selang yang dimasukkan melalui hidung hingga mencapai empedu melewati kerongkongan dalam prosedur nasobiliary drainage (NBD). Selang ini mengeluarkan cairan empedu dari kantung empedu yang berwarna hijau.

Rasanya sangat risih, karena selalu mengalir saat aku membalikkan badan.

Ada satu lagi selang yang dipasang dari dalam perut ke luar lewat luka jahitan, yang digunakan untuk mengeluarkan kotoran sisa dari jaringan yang mengalami nekrosis, yaitu kematian jaringan atau borok. Bentuk jaringan mati itu seperti “daging cincang” saat keluar melalui selang atau drainase dari dalam tubuhku.

Meski selang oksigen dan selang nasobiliary sudah dicopot, aku belum boleh makan nasi. Vincent, Mama, dan Oma, bergantian menjaga. Aku benar-benar merasa nggak berguna dan menyusahkan. Saat inilah aku tahu bagaimana menyiksanya rasa sedih dan nggak berdaya, sehingga aku selalu ingin menangis. Sampai saat bertemu dokter, aku baru menyadari bagaimana rapuhnya perasaanku.

“Ibu Marissa, siapa yang menindas Anda di rumah?” tanya Dokter.

Aku terdiam, lalu menggeleng. Bukan karena aku segan menjawab, tetapi sebenarnya aku sendiri nggak tahu siapa yang sudah membuatku merasa tertekan.

“Jangan takut. Ibu bisa bicara supaya kami bantu. Apakah suami Ibu suka menggunakan kekerasan? Ini termasuk kekerasan dalam perkataan loh, ya,” ucap Dokter lembut.

Aku menggeleng lagi. Vincent bukan pria yang lembut, tetapi semua yang dia lakukan selalu masuk akal dan bertanggung jawab. Dia bukan pria yang berusaha terlihat sempurna, tetapi dia selalu berusaha untuk sempurna. Dia bicara sopan, hanya saja sebagai orang Sumatera, nada suaranya sedikit lebih keras dari pria asal Jawa.

Bahkan, sebagai anak orang berada yang pernah bekerja di proyek dan terbiasa berfoya-foya, dia sudah menunjukkan ketulusannya dengan rela menunggu muatan di Pasar Induk Caringin. Dia menggunakan mobil pickup pemberian orang tuanya untuk mengambil muatan dari pasar, ke tempat para penjual dari berbagai kota di pulau Jawa.

Selain mencari uang, sesekali dia juga mengajak bermain anak-anak, terutama si kecil. Saat ini kami tinggal di rumah Oma, rumah tua peninggalan Belanda yang mungil dan mesti dirawat, serta harus sering diperbaiki karena bangunannya sedikit lapuk dan bocor. Sekarang ini, dia harus merawat kedua anak kami, Amara dan Benedict, serta merawat Oma. Jadi, seharusnya Vincent yang merasa lebih tertindas dibandingkan aku.

“Bagaimana kalau mertua dan Ipar?” tanya Dokter lagi.

Aku menatap dokter itu lekat-lekat dan tersenyum. “Sebetulnya, Dokter ini Spesialis Bedah atau Psikiater?” tanyaku.

Dokter senior itu tertawa. Rambutnya yang memutih dan bola matanya yang cokelat itu terlihat hangat dan ramah.

“Begini, setelah cairan di dalam perut Ibu kami periksa, ternyata Ibu Marissa menderita penyakit TBC Abdomen. Penyakit ini termasuk penyakit langka dan bisa mengakibatkan kematian.”

“Kok bisa, Dok? Memang penyebabnya karena tekanan batin gitu, ya?” tanyaku polos.

“Sebenarnya ada banyak faktor. Bisa karena penyebaran bakteri dari paru-paru ke organ lain melalui aliran darah atau sistem limfatik, tertelannya bakteri, makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri, kondisi sanitasi yang buruk, malnutrisi, dan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Biasanya pasien TBC Abdomen itu dimulai dari infeksi di bagian tubuh yang lain, tetapi untuk kasus Ibu, justru bagian tubuh lainnya itu normal,” jawabnya.

“Jadi, itu sebabnya Dokter tanya apa ada yang menyakiti saya di rumah?” tanyaku lagi. “Suami saya baik-baik saja. Begitu juga mertua dan ipar saya. Mereka semua sangat baik. Mungkin yang lebih sering menyakiti saya adalah keluarga saya sendiri. Tetapi seharusnya nggak sampai bikin saya sakit. Sepertinya, bukan mereka masalahnya, tetapi saya sendiri yang overthinking."

“Kalau itu masalahnya, mulai sekarang Ibu Marissa harus bisa berpikir positif dan menjaga kesehatan,” ucap Dokter. “Ibu harus minum obat setiap hari dan jangan pernah sampai terlewat 1 hari pun. Obat ini keras. Salah satu efek sampingnya bisa bikin Ibu lapar terus. Jadi Ibu akan sering makan. Bagusnya bisa bikin gemuk.”

Aku tersenyum. Badanku memang sangat kurus. Untuk tinggi 155 Cm, beratku hanya 40 Kg. Bahkan, saat akan melahirkan beratku hanya naik 4 kg saja.

Vincent muncul tak berapa lama setelah Dokter pergi. Melihat pria itu tersenyum di hadapanku, hatiku justru terasa sakit. Apa yang sudah aku lakukan di tempat ini? Bukankah aku hanya menambah beban saja?

Aku ingin menangis, tetapi lagi-lagi air mataku nggak keluar. Apalagi saat mendengar ucapan Vincent yang malah membuatku ingin segera keluar dari Rumah Sakit.

“Bene demam. Dia nggak mau makan apa-apa, nggak mau minum susu juga. Jadinya setiap hari cuma minum air putih. Tetapi, sesekali mau juga disuapi biskuit bayi pakai susu formula,” ucapnya.

“Kasihan. “Kapan aku bisa pulang?” tanyaku.

“Memangnya kau sudah bisa duduk?” tanya Vincent.

“Aku ingin duduk, tapi sakit sekali,” ucapku.

Lihat selengkapnya