“Jadi, banyak sekali kemarahan yang lu pendam sampai sekarang ini ya, Kak!” tukas Nindy. Gadis itu mengusap punggungku lembut dan berkata lagi, “Lu kuat dan hebat, Kak. Gua salut.”
Aku tersenyum. Nindy adalah sahabatku, seorang sarjana psikologi dari Jakarta yang memilih menjadi ibu rumah tangga demi mengurus keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Putri pertama Nindy sekelas dengan Bene, sementara putra bungsunya sekelas dengan Cecil, putri bungsuku yang kini sudah duduk di bangku Sekolah Dasar.
Itulah sebabnya kami sering menghabiskan waktu bersama. Setelah mengantar anak-anak sekolah, biasanya aku dan Nindy akan berbelanja di tukang sayur yang mangkal di depan sekolah, sarapan, lalu berjalan kaki sebentar mengelilingi komplek sekolah dan kembali ke rumah masing-masing untuk mengurus keluarga.
Sudah 11 tahun berlalu sejak Papa tinggal bersamaku, dan Mama sudah bersikap biasa lagi. Meski masih sering menyindir-nyindir, seenggaknya Mama sudah mau kembali datang ke rumahku. Jadi, aku nggak larut dalam rasa serba salah terus-terusan.
“Terus, setelah itu, berapa lama lu diam-diaman sama Mama?” tanya Nindy lagi.
Aku menarik napas dalam-dalam, menghitung kapan pertama kali aku datang ke rumah Mama bersama anak-anak. Saat itu, Vincent sibuk di toko, jadi hanya aku yang datang menemui Mama untuk merayakan hari ulang tahunnya.
“Sepertinya waktu Cecil berumur 2 tahun,” ucapku. “Itulah pertama kalinya kami bicara lagi.”
“Sebenarnya lu masih enak sih, Kak. Lu masih punya Mama, nggak kayak gue. Mama meninggal waktu gue SMA. Jadi, waktu gue married, cuma Papa sendirian yang duduk di depan,” ucapnya.
“Iya juga, sih. Biar sering nyakitin, memang ada satu dua momen Mama baik. Contohnya waktu aku nikah sama waktu aku sakit parah,” ucapku. “Terus gimana Papamu, Nin? Masih suka lupa-lupa gitu?”
“Namanya juga demensia, Kak. Mau gimana lagi? Semua serba salah. Kadang dia inget gue, kadang nggak. Kadang dia ngumpetin makanan, tapi nggak dimakan-makan, kadang rebutan makanan sama anak-anak gue, pokoknya sering aneh-aneh deh!” tukasnya.
“Sabar ya, Nin. Aku bukannya mau ngebandingin, Papaku nggak demensia, tetapi suka lupa juga kalau dia tinggal di rumahku. Dia suka seenaknya ke karyawan, suka cari perkara sampe ribut sama pelanggan, kadang-kadang juga ngantongin uang pelanggan yang belanja, dan ingatnya cuma sama anaknya Yani, anak Papa sama Ibu Ani. Dia mana pernah nganggap anak-anakku cucunya!”
“Kayaknya emak-emak angkatan kita pada punya kepahitan masa kecil semua, ya!” tukas Nindy.
Aku tertawa, lalu melangkah lebih cepat menyusuri jalanan sepi di perumahan sekitar sekolah. Komplek dengan jalan aspal yang cukup untuk dua mobil ini memang cocok untuk berjalan pagi. Apalagi pemandangan rumah-rumah indah di kiri dan kanan jalan yang dinaungi pepohonan rindang dan bunga-bunga cantik.
Sesekali terdengar gonggongan anjing yang sok akrab saat melihat kami melintas, memecah kebisuan dan lamunan.
“Waktu cepat berlalu ya, Kak,” gumam Nindy.
“Betul,” ucapku sambil melihat jam. “Sudah 40 menit kita jalan. Kita pulang, ya!”
“Yup! Jadi kita nggak akan ke dokter gigi barengan?” tanyanya.
“Lain kali aja, Nin. Aku masih nggak enak ninggalin Vincent jaga toko sendirian. Kalau mau paling nanti malam baru aku nyusul ke dokter gigi.”
“Yang benar saja, Kak! Memangnya gue mau nunggu di dokter sampai malam!” tukasnya.
Aku tertawa. Nindy selalu ceplas ceplos kalau bicara. Matanya yang bulat akan mendelik sewot dengan kelopak yang mengerjap lucu. Mulutnya maju beberapa cm dan ocehannya bisa melantur ke mana-mana.
“Cecil masih terapi di Jakarta?” tanyanya. “Lumayan lama juga, ya. Sampai kapan sih, Kak?”
“Aku juga nggak tahu. Pokoknya sampai kata Dokter Cecil sudah sembuh dan nggak perlu terapi lagi, ya berarti sudah selesai,” ucapku.
“Mbak yang ngurusin Cecil masih ada, kan?”
“Masih, sih. Tetatpi katanya mau berhenti kerja, dia mau pulang terus nikah,” jawabku.
“Bukannya penyakit asma anak itu lama-lama bisa hilang sendiri, ya?” tanyanya lagi.
“Aku pikir juga begitu. Tapi siapa yang tega lihat anak dikit-dikit sesak. Dulu, kalau dia lagi batuk, aku sama suami bisa nggak tidur semalaman, takut pas kita tidur dia sesak. Mana kalau lagi batuk gitu dia ga bisa makan, bisa muntah-muntah terus sampai 3 hari. Jadi mau nggak mau sekarang aku terapi ke dokter.”
“Betul juga,” ucap Nindy. “Pantas sekarang Cecil kelihatan sehat, tinggi besar, lagi. Kayak kakak-kakaknya. Turunan Abang semua, ya!”
Aku bersyukur bisa mengenal Nindy. Mungkin karena sudah terbiasa mempelajari ilmu psikologi, dia bisa memahamiku. Dia selalu ada saat aku butuh seseorang yang mau mendengarkan. Baik saat aku berurusan dengan Mama dan Papa, bahkan saat aku cemas karena Cecil yang menderita penyakit asma dan sering kambuh.