“Anak-anak, Papa mau ajak Mama healing ke Bali. Kalian bisa tinggal bertiga di rumah untuk beberapa hari, kan?” ucap Vincent kepada anak-anak.
Amara, Benedict, dan Cecilia menatap takjub. Ama dan Bene bahkan langsung menjawab “Tentu!”
Mereka memang sudah remaja, seharusnya sudah bisa diandalkan. Aku hanya sedikit cemas untuk Cecil yang masih duduk di bangku SD. Namun, inilah salah satu keuntungannya sekolah online. Anak-anak nggak perlu ke luar rumah, mereka hanya perlu bangun sesuai jam sekolah dan menghadap komputer selama jam pelajaran.
“Tapi, siapa yang bangunin anak-anak sekolah nanti?” tanyaku.
Selama ini memang aku yang membangunkan mereka sekolah. Sebetulnya, aku bisa meminta adikku, Rina atau Lina tinggal di rumah sementara untuk mengurus anak-anak. Tetapi, mereka juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Vincent sengaja mengajakku liburan di hari kerja supaya nggak terlalu ramai. Tetapi, ini justru membuatku merasa bersalah karena itu berarti anak-anak harus tetap melakukan kegiatan dan aku malah enak-enakan liburan.
“Jangan khawatir, Bu. Anak-anak kan ada saya,” ucap Mbak Nur.
Mbak Nur adalah perawat Papa yang tinggal di rumahku sejak Papa stroke. Sebetulnya wanita itu nggak memiliki background sebagai perawat atau petugas kesehatan. Namun, dia bekerja di homecare sepupuku dan sudah terbiasa mengurus pasien di rumah dengan kondisi stroke seperti yang terjadi pada Papa.
Mbak Nur pernah bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga dan pengasuh anak. Jadi, selama dia menjaga Papa, Mbak Nur juga senang melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga saat aku sibuk dengan pekerjaan di toko. Jadi, aku sengaja membayar upahnya lebih banyak agar dia nggak merasa dirugikan.
“Mbak Nur nggak apa-apa kalau saya titipin anak-anak juga?” tanyaku. “Nanti Opa bagaimana?”
“Opa kan nggak ke mana-mana, Bu. Opa juga masih pakai kateter karena operasi hernia kemarin, jadi biarpun sudah bisa jalan sedikit-sedikit pakai tongkat, Opa nggak akan sedikit-sedikit ke kamar mandi. Biasanya juga Opa cuma duduk-duduk di ruang tengah sambil nonton tivi,” ucap Mbak Nur.
Aku kembali menatap wajah ketiga anakku yang terlihat berseri-seri.
“Kami sudah besar,” ucap Amara. “Mama dan Papa selama ini juga capek dan banyak pikiran. Apalagi Mama. Kalian berdua juga butuh waktu healing berduaan.”
Aku tersenyum mendengar perkataan Amara. Dia memang sudah menjelang dewasa, dan aku hampir melewatkan perkembangannya karena sibukl menata perasaanku sendiri.
“Ayolah, Ma. Kami malah senang kok, sekali-kali ditinggal bertiga. Kan ada Mbak Nur juga!” ucap Bene.
“Mama sering-sering telepon, ya!” kata Cecil. “Takut Cecil ada peer.”
“Hush! Cecil kan bisa tanya Cici sama Koko!” protes Amara. “Kami lebih pintar dari Mama, loh!”
Aku tertawa mendengar pembicaraan mereka.
“Kau harus belajar untuk nggak egois dan terlalu memikirkan diri sendiri, Ca,” ucap Vincent. “Selama ini kau lebih fokus pada diri sendiri. Aku tahu, kau sering merasa sedih, nggak berdaya, dan mungkin merasa bersalah. Kau harus melihat sekeliling, Ca. Kau masih punya kami.”
Egois? Apa benar selama ini aku sibuk fokus ke diri sendiri dan melupakan orang-orang di sekelilingku?
“Setiap pagi kan aku harus bangunin anak-anak, siapkan sarapan, siapkan air mandi dan pakaian, antar ke sekolah waktu sekolah, siapkan makanan di rumah, membereskan rumah, sampai mengurus Opa juga,” protesku kepada Vincent. “Bahkan aku masih sering mengurus toko juga kalau Abang istirahat atau ke luar kota.”
Vincent tersenyum dan menggenggam tanganku lembut. “Justru itu. Kau selalu berusaha menyibukkan diri sampai nggak sadar dengan perasaan orang-orang di sekelilingmu. Hasil lab sudah keluar, kan? Ingat kata dokter.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Selama pandemi, tiba-tiba saja berat badanku turun 14 kg. Rasanya sangat aneh karena nafsu makanku sama sekali nggak terganggu, bahkan berlebihan. Namun, yang sebenarnya menggangguku adalah detak jantung yang sering tiba-tiba jadi cepat meski aku sedang duduk dan nggak ada masalah atau sesuatu yang membuatku terkejut.
Aku memang sering gelisah dan cemas, tetapi aku rasa karena aku memang selalu seperti itu sejak dulu. Tanganku sering gemetar dan selalu kepanasan sehingga selalu berkeringat meski nggak melakukan kegiatan apa-apa. Ototku terasa lemah dan kaku, dan aku merasa kelelahan tanpa sebab. Napasku memburu, seakan telah berlari jauh meski sebenarnya hanya naik tangga 1 lantai saja.
Namun, yang membuatku akhirnya menemui dokter adalah karena ada sedikit benjolan yang terlihat di leherku serta bola mataku yang sedikit menonjol ke luar. Saat itu dokter menyarankan aku menjalankan pemeriksaan tiroid dan hasilnya aku memang mengalami keadaan hipertiroid, yaitu keadaan di mana metabolisme tubuh meningkat terlalu cepat.
Lucunya, dokter hanya berkata, “Ibu nggak boleh stres.”