“Mana papamu?” tanya Mama.
Aku menarik napas lega. Akhirnya Mama datang juga menjenguk Papa. Papa memang sering berbohong dan pintar bermain drama, jadi kami nggak bisa bedakan mana yang sedang acting untuk mencari perhatian, dan mana yang betulan sakit.
“Kok bisa masuk Rumas Sakit lagi?” tanya Mama. “Waktu itu bukannya sudah di operasi?”
“Waktu itu operasi batu empedu, sekarang operasi hernia. Kayaknya Papa juga kena serangan stroke kedua,” ucapku. “Soalnya sudah beberapa kali Papa lagi duduk makan tiba-tiba jatuh. Bilangnya sih, ngantuk. Tapi lemes begitu.”
Papa memang belum lama ini kembali masuk Rumah Sakit. Kali itu karena ada batu di empedunya, jadi harus di operasi. Sejak itu, Mama yang awalnya masih kesal setiap melihat Papa, perlahan-lahan mulai berubah. Sikap Mama sudah lebih tenang dan nggak marah-marah. Mungkin karena melihat kondisi Papa yang terlihat nggak berdaya.
Waktu Papa selesai operasi, Mama mengajak teman masa muda Papa yang bernama Om Petrus untuk menjenguk. Saat itu Papa langsung mengenali Om Petrus dan terlihat sangat senang. Mama dan Om Petrus bernostalgia, bercerita tentang masa lalu. Papa juga merespon dengan antusias. Lalu, mereka mulai menceritakan kenangan-kenangan masa kecil Mama dan masa muda Papa.
Papa adalah cinta pertama Mama, dan mereka adalah teman sepermainan sejak Mama masih kecil. Aku jadi ingat perkataan Babe tentang Mama. Pantas saja Mama membenci Papa, karena dulunya Mama terlalu mencintai Papa. Sayangnya, Papa suka selingkuh. Hal ini membuat mereka jadi sering bertengkar dan Mama selalu membalas perlakuan Papa.
Mereka jadi seperti bensin dan api. Mama yang keras selalu menantang Papa sehingga Papa hilang kendali dan menggunakan kekerasan. Jadinya, mereka saling membakar sehingga menghanguskan semua yang ada di sekelilingnya... kami, anak-anaknya.
Ah! Sudahlah! Semua sudah berlalu. Yang penting kami bertiga kini baik-baik saja.
Aku senang karena rumah Om Petrus ternyata dekat dengan rumahku. Jadi, Om Petrus bisa sering datang menjenguk Papa. Sejak bertemu Om Petrus, Papa terlihat lebih senang dan cepat sembuh. Papa mulai bisa berjalan perlahan tanpa tongkat, dan naik turun tangga karena kamar Papa ada di lantai 3.
Papa mengingat segala sesuatu tentang Mama, tetapi lupa kalau pernah menikah dengan Bu Ani dan memiliki anak bernama Yani. Aku baru tahu kalau ternyata stroke bisa juga membuat pasien jadi demensia.
“Coba kalau Mbak Nur masih kerja ... Kamu pasti nggak kerepotan seperti sekarang. Memang saudara-saudaranya yang lain nggak ada yang mau bantu jaga, ya?” tanya Mama.
Aku menggeleng pelan. “Ada keponakan Papa yang pernah datang satu kali, lalu nggak pernah datang-datang lagi.”
“Kalau Istri dan anaknya yang nama Yani itu sudah kamu kasih tau?” tanya Mama. “Mereka nggak mau datang juga?”
Aku mengangguk lemah. Sebetulnya menurutku itu lebih baik. Aku sudah memberitahu Yani lewat aplikasi Instagram karena nomor teleponnya berubah, tetapi dia nggak merespon. Malah saat menikah, dia bilang ke mertuanya kalau Papa sudah meninggal dunia. Jadi, bagiku lebih baik dia nggak usah datang sekalian. Toh Papa juga nggak ingat.
“Kemarin-kemarin bagaimana kamu jaga Papa?” tanya Mama. “Bukannya Papa sudah bisa jalan, bisa mandi dan buang air besar sendiri?”
“Itu sebelum operasi, Ma. Setelah operasi, Papa harus jalan pakai tongkat lagi. Jadinya, Papa nggak bisa turun ke lantai 1. Tapi waktu itu Papa masih bisa ke kamar mandi. Aku cuma siram-siram Papa pakai air hangat dan kasih sabun badannya. Kalau bagian bawahnya Papa bisa cebok sendiri. Tangan Papa kan masih bisa bergerak.”
“Waktu itu kan papamu nggak pakai pempers. Kalau sekarang dia harus pakai kateter dan pempers kamu bisa pakaikan?” tanya Mama lagi.
Aku terdiam. “Aku akan belajar, Ma. Papa kan sekarang sudah kurus, jadi nggak begitu berat lagi. Waktu itu Papa pernah jatuh di kamar mandi sampai tidur gitu karena nggak bisa bangun, untung aku lihat. Aku yang angkat Papa sendirian. Soalnya waktu itu tengah malam, yang lain lagi tidur.”
“Kok bisa?” tanya Mama.
“Rupanya waktu itu Papa sakit perut, terus dia kan jalannya harus pakai walker standar kaki 4 yang kalau melangkah harus diangkat gitu, jadi jalannya lambat. Belum sampai kamar mandi, pupnya sudah keluar, berceceran di jalan. Terus Papa berusaha bersihin sendiri. Akhirnya malah semakin kotor di mana-mana,” ucapku pelan.
Tiba-tiba saja kenangan itu membuat hatiku sakit. Dalam ketidak berdayaannya, Papa berusaha nggak mau menyusahkan aku. Hal itulah yang membuatku memaafkan kesalahan Papa yang dilakukannya bertahun-tahun saat masih sehat.
Mama terdiam mendengar ceritaku. Raut wajah Mama juga terlihat sedih.
“Kamu hebat, bisa sampai segitunya mengurus Papa. Mama harap rejekimu juga berlimpah. Kamu pasti habis-habisan keluar uang untuk biaya Papa, ya.”